Oleh: Edy Haryadi *
“MAS, kalau sampeyan punya kasus, tapi sampeyan tahu bahwa sampeyan akan kalah, apakah sampeyan teruskan kasusnya atau tidak?,” tanya saya pada ojek online (ojol) yang membawa saya sebagai penumpang dari kantor Walikota Jakarta Selatan ke rumah saya di Jakarta Timur.
Tukang ojol itu melihat ke samping dan menjawab, “Ya jelas tidak pak. Kalau saya tahu kasusnya akan kalah, lebih baik saya tidak lanjutkan. Buang waktu dan tenaga saja. Lebih baik saya kerjakan hal lain.”
Itulah jawaban serupa ketiga yang saya dapat dari tiga orang yang saya tanyai dan saya ajak musyawarah sejam terakhir, termasuk salah satunya adalah pengacara. Ya, dengan berat hati, namun ikhlas saya menyatakan tidak akan meneruskan soal hak anak saya Raka Arung Aksara untuk soal “sejumlah uang yang besarnya sama dengan uang pesangon.”
Pasalnya, dalam pertemuan Tripartit di kantor Suku Dinas Ketenagakerjaan Jakarta Selatan pagi ini, bu Eza Rezi Oliyanti, SH, MH, pelaksana tugas Kepala Seksi Hubungan Industrial dan Kesejahteraan Pekerja, menyatakan intepretasi saya atas pasal 57 Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 2021, keliru.
Kutipan lengkap dari pasal 57 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja:
”Pemutusan Hubungan Kerja karena Pekerja/Buruh meninggal dunia maka kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang perhitungan sama dengan: a. Uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan pasal 40 ayat (2); b. Uang penghargaan masa kerja selama 1 (satu) kali ketentuan pasal 40 ayat (3); dan c. Uang penggantian hak sesuai pasal 40 ayat (4).”

Dalam percakapan empat mata itu, saya sudah menyanggah bu Eza sekaligus mengeluarkan fotokopi PP No 35/2021 dan UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pembicaraan empat mata itu di luar PT Valdo International yang diminta bu Eza untuk keluar sebentar,
Berkali-kali saya menyanggah pendapat bu Eza yang mewakili negara. Tapi sebagai wakil negara bu Eza berkali-kali menyatakan pendapat saya keliru. Karena pasal 57 PP No 35 Tahun 2021 itu mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau karyawan tetap, bukan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau karyawan kontrak. Bak dosen yang handal, dia membolak-balik halaman demi halaman undang-undang dan peraturan itu dan mengajari saya memahami sebuah teks peraturan.
Tapi saya tidak puas. Saya minta bu Eza langsung mengeluarkan anjuran supaya bisa saya langsung gugat di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Tapi Bu Eza bilang ini pertemuan klarifikasi. Kalau salah satu pihak tidak setuju, akan ditunjuk mediator Tripartit yang mempertemukan saya dan PT Valdo International yang mewakili Bank HSBC Indonesia.
Dalam pertemuan itu saya terus terang tidak puas, sebab saya tidak diberikan waktu dan kesempatan untuk menjelaskan bahwa penempatan Arung sebagai karyawan PKWT melanggar aturan ketenagakerjaan. Terutama karena jenis pekerjaan Arung adalah pekerjaan tetap, bukan pekerjaan musiman yang bisa selesai sekali waktu.

Karena saya meyakini kasus Arung adalah puncak gunung es dari ribuan kasus ketenagakerjaan akibat struktur outsourcing atau alih daya di bawah permukaaan dunia perbankan. Maka pada 4 Oktober 2025, iseng-iseng saya bertanya pada kecerdasan buatan alias Akal Imitasi (AI) Google: PT Valdo International bekerja sama dengan bank apa saja di Indonesia? Jawaban AI Google mengejutkan:
“PT Valdo International bekerjasama dengan berbagai bank, baik bank asing maupun bank nasional, termasuk Citibank, HSBC, Standard Chartered, Permata Bank, Maybank, Bank Mandiri, dan OCBC NISP. Klien-klien ini merupakan sebagian dari daftar klien terkemuka yang dilayani oleh Valdo Inc. sebagai perusahaan penyedia jasa alih daya dan infrastruktur di sektor perbankan.”
Apalagi belakangan saya dapati Arung tergabung dalam WhatsApp Grup bernama “HSBC WTC 3 X VALDO” yang beranggotakan 62 orang. Grup ini juga jadi tempat mengirim absensi bagi puluhan karyawan yang direkrut Bank HSBC Indonesia tapi kemudian bukan dikontrak HSBC, tetapi oleh perusahaan outsourcing PT Valdo International. Ini tentu merupakan sebuah skandal ketenagakerjaan besar bagi Bank HSBC Indonesia.
Kebetulan selama 26 tahun bekerja sebagai jurnalis, saya pernah belajar dan mempraktikkan jurnalisme investigasi. Dan saya ingat doktrin yang saya dapat dari buku teori dan hasil praktik lapangan: jangan pernah meremehkan kasus kecil! Karena kasus kecil bisa jadi merupakan pintu masuk dari sebuah skandal besar yang mengungkap borok kondisi struktural praktik lancung outsourcing yang dilakukan bank asing bahkan bank BUMN, dalam merekrut karyawan. Terutama setelah UU Cipta Kerja dibuat dan disahkan Jokowi, sebelum akhirnya kluster UU Ketenagakerjaan belum lama ini –bulan Oktober 2024– dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK) dari UU Cipta Kerja, dan MK memerintahkan pemerintah dan DPR segera membuat UU Ketenagakerjaan baru dalam tempo dua tahun, dan kini UU Ketenagakerjaan baru tengah dibahas.
Dan terbukti, hanya dengan sedikit bantuan AI Google saya bisa mendapat jawaban bahwa kasus yang menimpa Arung tidak hanya terjadi di HSBC tetapi di dunia perbankan nasional secara umumnya.
Contoh, kita kembali ke kasus Raka Arung. Dia bekerja selama 1 tahun 7 bulan terakhir sebagai Sustainability Officer PT Bank HSBC Indonesia. Jenis pekerjaan Arung merupakan jenis pekerjaan tetap dan tidak bisa di-outsourcing atau dialihdayakan. Sebab, menurut atasan Arung, bu Nuni Setyoko, Head of Corporate Sustainability Bank HSBC Indonesia, dalam percakapan dengan saya saat dia datang melayat ke rumah saya, asisten terakhirnya bekerja selama 10 tahun lebih sebelum pindah kerja dan posisinya diganti Arung. Karena itu pekerjaan Arung merupakan pekerjaan tetap dan bukan jenis pekerjaan kontrak berdasar Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang bisa selesai dalam masa 5 tahun –durasi waktu paling lama pekerjaan PKWT– yang diperbolehkan pasal 6 dan pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2021 tentang PKWT dan Alih Daya.
Menurut peraturan itu dan Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan: “Pekerja dengan status PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dapat dilakukan untuk jenis pekerjaan yang sifatnya sementara atau musiman, yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu tertentu atau sekali selesai. Jenis pekerjaan yang tidak dapat menggunakan PKWT adalah pekerjaan yang bersifat tetap.”
Jadi inilah pelanggaran terbesar yang dilakukan Bank HSBC Indonesia dengan mengalihdayakan pekerjaan Arung yang bersifat tetap menjadi pekerja PKWT di bawah perusahaan outsourcing PT Valdo International.
Nah, menurut AI Google, klien PT Valdo International adalah bank-bank terkemuka seperti telah disebut di atas termasuk juga Bank Mandiri, salah satu BUMN kita. Jadi begitu masifnya pelanggaran dan skandal ketenagakerjaan outsourcing di dunia perbankan sekarang. Dan praktik lancung ini sudah terjadi bertahun-tahun lamanya. Dan media arus utama jelas lalai karena melihat bahwa kasus Arung cuma kasus individual dengan jumlah nominal kecil.
Nah, kesempatan menjelaskan ini tidak ada. Ini yang membuat saya tidak puas dengan pertemuan Tripartit tadi. Okelah saya keliru mengintepretasikan pasal 57. Tapi ini artinya hak pekerja PKWT yang dijamin UU itu hanya “kompensasi.” Sungguh tragis. Saya memerlukan mediasi untuk mengungkapkan uneg-uneg ini karena ini adalah fakta dan kebenaran. Bahwa jenis pekerjaan Arung merupakan jenis pekerjaan tetap bukan pekerjaan PKWT
Okelah bisa jadi negara tidak netral seperti skripsi saya tentang teori Negara Vladimir Ilyich Lenin. Tapi pada praktiknya, pada masalah ketenagakerjaan, negara memang terbukti tidak netral dan berpihak pada pengusaha. Buktinya aturan yang dibuat menguntungkan pengusaha. Tapi apakah saya akan melanjutkan kasus Arung sampai Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara dengan menggugat pula Presiden Prabowo dan Menaker, saya rasa tidak.
Jawaban tukang ojol yang saya kutip di muka sudah jelas. Kalau kita melihat potensi kalah buat apa kita maju. Saya yakin sikap negara dan hakim juga sama dan sebangun dengan bu Eza. Dan saya rasa mamanya Arung yakni Yuni Tanjung akan mengerti bahwa saya sudah melawan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya. Inilah ujung puncak perjuangan saya. Kalau saya teruskan perjuangan saya, saya khawatir akan mubazir dan sia-sia. Karena yang saya lawan tembok tebal: ketidaknetralan negara.
Ya biarlah perjuangan ini diteruskan oleh serikat-serikat buruh, media massa, aktivis buruh, dan lain-lain. Apalagi UU Ketenagakerjaan yang baru –seperti perintah Mahkamah Konstitusi– kini tengah dibahas.
Inilah saatnya saya menepi untuk mengurus hal lain. Terutama ibadah saya pribadi bersama Yuni dan Arung.
Ya saya mau beribadah haji. Panggilan untuk berhaji ini makin bertalu-talu menusuk batin saya di hari Arung wafat. Saya berencana naik haji furodal bulan Mei 2026. Bersamaan dengan itu saya mau mem-Badal Haji-kan almarhumah istri saya Yuni Tanjung dan almarhum anak tunggal Raka Arung Aksara agar Rukun Islam keluarga kami lengkap, bukan sempurna. Karena kesempurnaan hanya milik Allah.
Jadi saya mau fokus di sini setelah hiruk-pikuk kasus Arung selesai.. Siapa tahu Tuhan membukakan pintu rezeki buat saya sehingga tahun depan saya ternyata bisa naik haji furodal yang biayanya Rp 400 juta tapi bisa berangkat tahun depan tanpa menunggu, dan membayar biaya Badal Haji sebesar Rp 25 juta per orang untuk Yuni dan Arung.
Yah, siapa yang tahu apa yang terjadi di depan? Setelah saya renungkan, mungkin ini cara Allah agar saya lebih ikhlas. Tak berharap pada apa pun, termasuk pujian manusia. Dan hanya berharap pada ridha Allah semata.
———
*Penulis Edy Haryadi, jurnalis freelance senior

