JAKARTA- Pertahanan udara sangat membutuhkan kekuatan radar yang dapat memantau dan menjaga pergerakan pesawat yang menerobos secara ilegal batas-batas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu kelemahan radar yang dipakai oleh TNI Angkatan Udara (AU) adalah radar impor yang password nya diketahui oleh negara asal produsen radar. Sehingga selain TNI AU, negara lain juga dapat mengakses radar yang dipasang di Indonesia. Hal ini ditegaskan oleh Pengamat Militer dan Intelejen, Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati pada Bergelora.com di Jakarta, Senin (6/11).
“Kita gak punya pilihan lain, selain membangun industri radar nasional sendiri. Kalau tidak percuma punya radar tapi bukan hanya kita yang bisa akses tetapi produsen luar negeri juga bisa. Kalau Indonesia dapat membangun industri radarnya sendiri maka negara lain tidak akan bisa mengakses radar kita karena password sandiyudha menjadi rahasia TNI- AU,” ujarnya
Menurutnya juga sebaran radar pertahanan milik TNI AU sangat terbatas. Karenanya, jumlah 20 radar perlu diperbanyak demi menjaga wilayah udara NKRI. Belum lagi banyak radar yang berusia cukup tua sehingga perlu diremajakan.
Dari hasil analisis pertahanan menurutnya juga, banyak ruang kosong yang tidak terkover radar militer. Hal itu tentu riskan kalau dibiarkan terus berlanjut. Pasalnya, bisa saja sebuah benda asing lewat begitu saja tanpa terdeteksi ketika melewati wilayah udara NKRI.
“Pengadaan radar harus diperbanyak mengingat sistem pertahanan udara kita rawan intervensi asing. Luasnya wilayah NKRI memang membutuhkan komitmen kuat dari pemerintah untuk memperkuat alutsista TNI AU. Hanya saja, Kemenhan menghadapi kendala lantaran tidak disokong anggaran besar.
Ia meminta agar Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) diberi wawasan nusantara demi mendukung peremajaan alutsista. Dengan cara itu, menurutnya, pemenuhan radar militer baru yang canggih dapat direalisasi.
“Betul anggaran alutsista kita terbatas. Bappenas harusnya juga memiliki visi pertahanan.”
Selain itu Susaningtyas juga mengingatkan bahwa hukum kedirgantaraan Indonesia masih sangat lemah.
“Masak pesawat asing jelas-jelas masuk wilayah kita hukumnya cuma denda USD 6.000. Kalau dihitung ternyata biaya Sukhoy melakukan intersep jauh lebih mahal dari pada dendanya,” katanya.
Menurutnya TNI AU memerlukan pesawat tempur sergap untuk bisa di gelar di paling tidak 7 pangkalan udara lagi yaitu Medan, Natuna, Tarakan, Biak, Timika, Kupang, Jakarta.
“Kalau kita bisa menempatkan paling tidak satu pesawat tempur disitu setiap saat ditambah melengkapi kekurangan radar yang ada dan peluru kendali jarak sedang. Saya yakin posisi tawar kita akan naik dan benar-benar akan menjadi macan asia yang betul-betul disegani,” jelasnya.
Menurutnya, agar dapat disegani maka Indonesia perlu terus meningkatkan postur TNI AU yang meliputi kemampuan, kekuatan dan gelar dengan tidak meninggalkan peningkatan profesionalisme SDM dan mengadopsi kemajuan teknologi yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
“TNI-AU adalah angkatan yang padat material dan berbobot tehnologi. Disatu sisi memang pesawat kita masih kurang, tapi juga kita harus membangun sistem radar sendiri. Keduanya penting!” ujarnya. (Web Warouw)