JAKARTA- Pro Kontra Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law masih terus berlangsung. Siti Fadilah Supari, Menkes RI 2004-2009 menyatakan mendukung RUU Kesehatan tersebut namun wanti-wanti pada oligarki pembonceng pada RUU tersebut.
“Saya mendukung RUU Kesehatan ini. Tapi awas ada boncengannya. Dan anda tidak akan bisa merubahnya kalau sistim di negara ini tidak berubah,” tegas Siti Fadilah dalam forum publik yang disiarkan Geloratv, Rabu (5/7) dikutip Bergelora.com di Jakarta, Kamis (6/7)
Ia menjelaskan bahwa dalam sistim liberal berdasarkan UUD amandemen 2002 RUU Kesehatan ini adalah konsekwensi logis yang tidak bisa ditolak.
“Dokter asing dan rumah sakit asing tidak boleh masuk kesini? Koq anda bisa ngomong begitu? Dasarnya apa? Wong undang undang dasar kita membolehkan koq. UUD kita sudah berubah pada tahun 2002 dari UUD 45 menjadi UUD Amandemen yang dilakukan pak Amien Rais. Yang tadinya berkedaulatan rakyat menjadi berkedaulatan Nekolim. You mau apa sekarang? You diem aja waktu UUD’ 45 dirubah. Mestinya kalian berontak waktu itu,” tegas Siti Fadilah.
“Kemudian pada waktu UU BPJS disahkan anda diam saja. Itu undang-undang neolib banget. Isinya memastikan pemerintah memungut bayaran pada rakyatnya yang sedang sakit. Padahal rakyat sudah bayar pajak. Seharusnya dari pajak itu untuk bayarin kesehatan rakyat. Kenapa BPJS anda belain. Saya dulu sendirian sampai ke Mahkamah Konstitusi,” lanjut Siti Fadilah.
Siti Fadilah juga menyoroti carut marut sistim pendidikan kedokteran yang sampai saat ini dibawah menteri pendidikan.
“Saya pernah protes pada pak SBY. Kalau ahli agama dibawah menteri agama. Kalau mau jadu tentara ada AKABRI dibawah TNI sekarang. Kalau jadi ada AKPOL dibawah Polri sekarang. Mau jadi pegawai negara camat lurah ada IPDN di bawah mendagri. koq sampai sekarang pendidikan dokter masih di bawah mendiknas? Pak SBY cuma senyum-senyum. Itu berat bu katanya,” kisah Siti Fadilah.
Menkes yang menutup laboratorium Amerika Serikat, Namru-2 ini menjelaskan perbedaan paradigma dalam bidang kesehatan.
“Kalau dalam Pancasila dan UUD’45, kesehatan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus disediakan secara cuma-cuma oleh negara dan pemerintah. Kalau bagi kapitalis kesehatan adalah komoditi yang bisa diperjual belikan,” ujarnya.
Pada masa Bung Karno dari 1945 sampai 1966, menurut Siti Fadilah UUD’45 masih kuat, tidak berhutang dan tidak takut dengan negara adidaya manapun.
“Namun oleh Nekolim setelah kejatuhan Bung Karno, Pancasila dan UUD 45 mulai diselingkuhin mulai dikhianati walaupun masih dalam bingkai Pancasila dan UUD’45. Ini selama pak Harto. Setelah huru-hara 1998, pada tahun 1999 UUD’45 dirubah sehingga Pancasila dan UUD’45 sudah tak terlihat lagi,” ujarnya.
“Reformasi yang sebutulnya kita harapkan perubahan lebih baik tapi sekarang setelah reformasi kita lebih terpuruk. Karena kita selalu merujuk UUD 2002. You mau menolak sistim kesehatan seperti ini Gak akan bisa. Karena dibawah UUD amandemen kita dikuasi rezim-rezim oligarki. Sama sekali sudah gak ada UUD 45 yang asli, gak ada Pancasila. Yang ada kapitalisme global dan pasar bebas. You menolak dokter asing dan rumah sakit asing akan dilawan oleh oligarki yang menguasai negara.
Oleh karena itu Siti Fadilah menegaskan bahwa UU Kesehatan Omnibus Law secara prinsip mengembalikan peran negara yang sempat dihilangkan sebelumnya.
“Jadi RUU Kesehatan yang sekarang ni ingin mengembalikan kewenangan pemerintah yang saat ini juga masih dikuasai oleh oligarki,” tegasnya. (Web Warouw)