Jumat, 4 Juli 2025

Berkawan Dengan Seorang Jihadis

Para Wijayanto, ditangkap beberapa waktu lalu. (Ist)

Presiden Joko Widodo barusan menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No.7 Tahun 2021 Tentang Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan. Pro dan Kontra mulai menyeruak. Hasan Aoni dari Omah Dongeng Marwah di Kudus menceritakan kepada pembaca Bergelora.com,–pengalamannya yang pernah dekat dengan salah seorang figur Jamaah Islamiah. Sejak tahun 1996 bibit terorisme rupanya telah disemai dari kampus di Semarang ke sebuah perusahaan di Kudus, dalam berbagai diskusi pemikiran yang berujung pada aksi terorisme. (Redaksi)

Oleh: Hasan Aoni

“With education and false prosperity, you can raise terrorists and terrorism”

SAYA bukan ahli terorisme dan hanya mengerti sedikit gerakan radikalisme. Pun sebatas memahami pemikiran kelompok skripturalis, karena dulu pernah melakukan riset kelompok ini di Indonesia. Maka, ketika seorang teman yang berhubungan dengan lembaga anti-terorisme meminta saya menjadi nara sumber untuk webinar terorisme, dengan santun saya menolak. Saya merasa tak menguasai dan masih banyak orang yang ahli di bidang itu.

Rupanya bukan soal keahlian itu saya dihubungi. Ia meminta saya menceritakan sebagian masa lalu saya yang pernah berinteraksi erat dengan seorang jihadis paling berbahaya di Indonesia Para Wijayanto. Ia pemimpin Jamaah Islamiyah Indonesia, al-Qaida Asia Tenggara, dan sahabat teroris Noordin M Top, yang tewas ditembus peluru pada 2009.

Saya semula ragu. Bukan saja ini akan membuka kenangan lama saya dengan jihadis itu serta beberapa kawan yang hampir menjebak saya masuk dalam kelompok ini. Tetapi, karena terlalu banyak memori yang harus saya ingat.

Kenangan itu sudah hampir 21 tahun lalu, dan tujuh tahun dari kurun itu, antara 1996 hingga 2003, saya berinteraksi dengan Para sebagai salah satu anak buahnya di perusahaan multinasional di Kudus. Ia sering mengajak diskusi soal agama di sela-sela waktu kerja.

Ia General Manager HRD dan TDC (Technic Development Center) di bawah direktur yang juga anak pemilik perusahaan itu. Ia ahli ibadah, dicirikan dengan tanda atsarus sujud pada jidatnya. Sebagai mahasiswa yang tengah studi di perguruan tinggi Islam waktu itu, saya relatif memahami kegairahan sarjana-sarjana non-agama terhadap isu-isu Islam. Ia lulusan Teknik Sipil Undip Semarang tahun 1989 dan konon aktif mengadakan pengajian di kampusnya. Diskusi yang paling diminatinya tema-tema tauhid atau teologi.

Di rumahnya setiap minggu pagi, ia teruskan tradisi itu. Jamaahnya sebagian besar anak buahnya di perusahaan. Melalui orang kepercayaannya, saya pernah didekati untuk ikut aktif di pengajian itu. Entah mengapa dia tidak pernah mengajak saya langsung padahal kami sering bertemu. Dan sampai datang peristiwa yang menggemparkan tahun 2003, saya tidak pernah mengetahui alasan itu. Mungkin ia membaca gestur ketidaktertarikan saya.

Sampai akhirnya pada 12 Juli 2003 Densus 88 (dulu masih Brimob) menyergap rumahnya, baru saya tahu bahwa orang yang santun berbicara, cerdas, teliti, murah senyum, dan menyala-nyala setiap diskusi agama, itu ternyata terlibat terorisme. Saya terhenyak dan hampir tidak percaya. Sejauh saya tahu, dia orang yang tidak berani berbeda pendapat dengan pimpinannya. Bahkan saya menangkap kesan ia takut kehilangan pekerjaan. Ia lebih memilih berkompromi daripada berhadap-hadapan meskipun dalam soal yang menurut saya sangat prinsip. Sebagai mantan demonstran, saya merasa kurang respek terhadap sikapnya.

Fakta-fakta itu mengagetkan saya. Bagaimana mungkin seorang yang menurut saya penakut dan selalu mengambil posisi aman ikut terlibat kegiatan terorisme dan menduduki posisi penting di kelompok itu? Pada penyergapan yang menggegerkan Indonesia tahun 2003 itu ia lolos dan baru pada 28 Juni 2019 Densus 88 berhasil menangkapnya di Bekasi.

Berita penyergapan 2003 itu telah membuat saya menjadi orang yang paling sibuk melayani media. Di luar media, hampir setiap waktu saya dihubungi Densus 88. Waktu kejadian, saya sudah menjadi Manager Personnel dan General Affair juga Manager Public Relation. Saya panggil lebih dari 10 orang karyawan dari berbagai level yang berhubungan erat dengannya. Salah satunya ternyata pemuda yang setiap bulan mengirim majalah “Hidayatullah” dan kadang mengajak saya diskusi tauhid. Ia tak pernah menceritakan identitasnya sebagai karyawan maupun anak buah Para Wijayanto. Mereka saya wawancara dan saya rekam dalam mesin recorder berkaset pita.

Ada hampir 100 halaman hasil transkrip wawancara itu kami dokumentasikan. Saat Densus 88 datang di kantor kami dan meminta saya memanggil mereka, saya tunjukkan transkrip itu. Mereka membaca dengan seksama halaman demi halaman dan memutuskan tidak jadi memanggil. Rupanya cukup dengan bekal transkrip itu mereka mendapatkan data. File transkrip itu masih saya simpan dalam laptop, yang karena trouble belum bisa dibuka.

Kecuali Departemen Public Relation, kursi Personnel dan General Affair yang saya jabat waktu itu pernah diduduki jihadis itu sebelum mengambil cuti belajar selama empat bulan di luar negeri. Belakangan sumber Densus 88 menyebut, selama tiga bulan ia belajar perakitan bom di Moro, Filipina, pada 2000.

Sepulang dari studi di luar negeri, ruangan saya yang pertama dikunjungi. Kami mengobrol cukup lama. Ia tanya soal perkembangan karyawan, kegiatan saya, juga diskusi isu agama, dan sebaliknya saya bertanya tentang studinya di luar negeri. Tidak ada yang tahu studi apa yang dia pelajari di luar negeri, bahkan saya duga direkturnya sekalipun, yang memberinya ijin, tidak mengetahui. Kepada saya ia mengatakan usai studi pengembangan ilmu teknik permesinan di Malaysia.

Sambil membangun memori 21 tahun lalu, saya mencoba membuka kembali berita-berita penyergapan dan penangkapan jihadis ini di lini media. Berita-berita itu cukup membantu kembali daya ingat saya. Di masa awal kemunculan gerakan ekstrimis di Indonesia waktu itu, tempat strategis untuk menyemai ideologi radikalisme tersebar bukan saja di pondok pesantren macam Al-Mukmin di Ngruki, Solo, juga di tempat yang orang tak pernah menduga sama sekali.

Di perusahaan tempat kami bekerja, ia menemukan rumah yang sangat damai: memiliki kedudukan penting, bergelut di departemen yang berbasis riset dan teknologi, menerima gaji cukup besar, mendapatkan sokongan penuh dari direktur, dan sejumlah anak buahnya yang loyal.

Dalam pencarian itu, saya menemukan kalimat menarik guru cantik asal Pakistan peraih Nobel Perdamaian (2014) Malalah Yusafzi: “With gun, you can kill terrorists. With education, you can kill terrorism”. (Dengan senjata, Anda bisa membunuh para teroris. Dengan pendidikan, Anda bisa membunuh paham terorisme).

Para Wijayanto dan para jihadis meyakini jargon yang sama bahkan lebih dahsyat: “With education and false prosperity, you can raise terrorists and terrorism”. (Melalui pendidikan dan kesejahteraan, Anda dapat membangkitkan teroris dan paham terorisme). Ia mentransformasikan ideologi radikalisme melalui pengajian sambil menyusupkan delusi prosperity.

Para melakukan antitesa melalui pendekatan yang selama ini menjadi solusi pengikisan paham terorisme: pendidikan dan kesejahteraan. Terkuaknya sumber usaha JI (Jamaah Islamiah) dari perkebunan sawit di Kalimantan dan Sumatera menunjukkan hal itu. Mereka menggaji karyawan bahkan sampai 15 juta perbulan.

Di level internasional, terlepas kemunculan al-Qaeda dan ISIS adalah produk proxi war Amrik, mereka berkembang karena adanya support sekaligus cita-cita kesejahteraan gerakan ini. Penilaian saya tentang pribadinya yang penakut mulai berubah. Sikap itu jangan-jangan strategi bertahan untuk menanti waktu yang tepat mengambil keputusan. Dan penyergapan pada 12 Juli 2003 itu telah menghentikan penantiannya.

Lalu apa pentingnya kehadiran saya di webinar ini? Teman saya meyakinkan bahwa kesaksian saya penting supaya orang bisa mengambil hikmah dari pola pergaulan, baik di masyarakat maupun di tempat kerja, karena di situlah penyusupan gerakan terorisme dilakukan. Ia nyata dan mungkin berada di sekitar kita. Siapa sangka Para Wijayanto, seorang anak purnawirawan AURI dan dididik secara saleh, ternyata terlibat dalam jaringan terorisme. Oleh alasan itu saya setuju menerima ajakan teman saya.

Banyak memori di kurun tujuh tahun berinteraksi dengannya saya ingat-ingat kembali dan akan saya ceritakan secara lengkap dalam webinar yang diadakan Rumah Inspirasi pada 20 Januari 2021. Anda tertarik? Silakan catat dan ikuti kisah saya bisa ditonton di https://www.youtube.com/watch?v=rlNYTYcBF8Q.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru