JAKARTA- Mata perempuan itu tajam mengawasi dalam setiap jalannya aksi ribuan bidan di Ibukota. Namanya Evi Novia Mansari. Bergelora.com bersyukur bisa mewawancarainya tentang pengalamannya melayani kesehatan rakyat di desanya. Di sela perjuangan panjang Forum Bidan Desa (Forbides) PTT (Pegawai Tidak Tetap) menuntut hak menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil), di Istana Presiden pertengahan September 2016 lalu.
Bidan Evi Novia Mansari (39 tahun) anak tertua dari 3 bersaudara dari Pak Usman dan Bu Sanariah. Adiknya Ardiansyah Mansari (34 tahun) bekerja sebagai wiraswasta dan Lovtabari Mansari (27 tahun) menjadi perawat di Rumah Sakit Hermina Karawaci, Tangerang, Banten.
Bidan Evi menikah dengan Berliansyah, SE (53 tahun) yang bekerja sebagai wiraswasta dan dikaruniai 2 anak perempuan dan 2 anak laki-laki. Putri pertamanya kuliah di Institute Pertanian Bogor (IPB). Putri keduanya kelas 3 Madrasah Tsanawiyah (MTsN) Pondok Pesantren Nihayatul Amal, Karawang, Jawa Barat. Putra ketiganya kelas 6 di Mandrasah Ibtidaiyah (MI) Pondok Pesantren Tarbiyatul Wildan Karawang, Jawa Barat. Putra keempatnya (2 tahun) yang selalu jadi penghibur hatinya di rumah saat pulang kerja sebagai Bidan Desa di Puskesmas Kalianda Desa Pematang, Kecamatan Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung
Unit Pelayanan Tehnis (UPT) Puskesmas Kalianda mempunyai wilayah kerja di 15 desa dan kelurahan binaan. Di bawahnya terdapat 2 Pustu (Puskesmas Pembantu) yaitu Pustu Sukaratu dan Pustu Pelita Dewa.
“Puskesmas itu juga membawahi 36 Posyandu dan 17 Bidan Desa yang selalu standby 24 jam di desa,” jelas Bidan Evi.
Kepala Puskesmas, dr. Djohardi banyak membimbing dan mendukung Bidan Evi dalam menjalankan tugasnya sebagai Bidan Desa Pematang. Ia juga didampingi Bidan Rusni sebagai Bidan Koordinator di Puskesmas Kalianda.
“Bukan hanya itu. Kepala Puskesamas dan Bidan Koordinator juga sangat mendukung perjuangan Bidan Desa PTT yang tergabung dalam Forbides (Forum Bidan Desa) PTT Indonesia yang sedang berjuang untuk ketetapan status kerjanya sabagai Pegawai Tetap Negara,” ujar Bidan Evi.
Sehingga menurutnya, dukungan tersebut juga pasti akan mendorong peningkatan kinerja Bidan Desa nya bila sudah menjadi Pegawai Tetap Negara. Bidan Desa sehari-hari bekerja melaksanakan program Nawacita yang digariskan pemerintahan Presiden Joko Widodo.
“Karena Bidan Desalah yang selama ini menjadi relawan KIS (Kartu Indonesia Sehat), juga sebagai ujung tombak Kementerian Kesehatan RI,” ujarnya.
Saat ini Bidan Evi melaksanakan tugasnya di desa Pematang yang berpenduduk 1.623 jiwa, saat ini diantaranya ada 326 usia subur, 42 ibu hamil, 38 ibu bersalin, 37 bayi dan 155 anak balita.
Di Desa Pematang ada 2 Posyandu, yang melayani pemeriksaan ibu hamil dan pemeriksaan kesehatan menyeluruh bagi bayi dan balita. Di setiap Posyandu Bidan Evi dibantu seorang bidan pendamping, seorang petugas gizi dan kader Posyandu. Selain itu, Bidan Evi melayani satu Posyandu usila (Usia lanjut) yang melaksanakan pemeriksaan menyeluruh secara gratis untuk ibu dan juga bapak usia lanjut. Di Posyandu itu juga Bidan Evi bersama Ketua Tim Penggerak PKK Desa melaksanakan senam jantung sehat bersama.
Menjadi Bidan Desa sudah pernah dijalaninya sejak lulus Akademi Bidan pada tahun 1996. Setelah lulus Bidan Evi langsung mendapatkan ikatan dinas selama 3 tahun sampai tahun1999. Karena suaminya bekerja di perusahaan swasta di Jakarta, Bidan Evi menyelesaikan ikatan dinasnya 3 tahun kemudian mengikuti suaminya ke Jakarta.
“Jadi Bidan adalah cita-cita saya semenjak kecil. Orang tua juga ikut mendorong saya seperti itu,” jelasnya.
Namun pada tahun 2004 Bidan Evi sekeluarga kembali pulang ke Lampung karena sebagai anak tertua suaminya harus menjaga dan mengurusi orang tua di kampung.
Merangkul Dukun Paraji
Sepulangnya dari Jakarta Bidan Evi tetap melaksanakan kewajibannya sebagai Bidan Desa karena masyarakat Desa Pematang sangat membutuhkan pelayanan Bidan. Pada tahun 2005 ia kembali menjadi Bidan Desa yang saat itu masih banyak di tolong oleh dukun Paraji (dukun beranak).
“Saat itu sebagai bidan harus bisa-bisa mendekatkan diri dengan dukun Paraji agar bisa bekerjasama dalam pertolongan persalinan. Karena sudah kebiasaan masyarakat Desa Pematang secara turun temurun melahirkan di tolong oleh dukun. Walaupun sebenarnya ibu hamil sudah sering dimotivasi untuk melahirkan dengan bidan, namun saat akan melahirkan mereka tidak berdaya saat orang tua ataupun mertua mereka memanggil dukun Paraji untuk menolong persalinannya,” jelasnya.
Selain itu menurutnya, adalah persoalan kesadaran tentang kesehatan ibu-ibu desa Pematang khususnya orang yang sudah beranjak tua. Diusia senja mereka membutuhkan siraman rohani.
“Saya berpikir harus membantu ibu-ibu untuk mendirikan Majelis Ta’lim sekaligus untuk sarana saya menyampaikan pesan-pesan tentang kesehatan,” katanya.
Akhirnya majelis Ta’lim bisa terwujud. Lambat laun seiring dengan waktu Bidan Evi bisa menyelipkan pendidikan kesehatan pada orang tua yang tadinya terbiasa dengan dukun Paraji.
“Saat ini Alhamdulilah sudah tidak ada lagi pertolongan persalinan dengan dukun Paraji,” ia menjelaskan.
Bidan Evi juga bisa memberikan penyuluhan pada ibu-ibu hamil agar setelah lahir memberikan air susu ibu (ASI) nya secara Ekslusif (hanya diberikan ASI selama selama 6 bulan setelah lahir). Kepada ibu-ibu yang memiliki bayi dan balita diberikan pengetahuan tentang cara memberikan makanan tambahan agar bayi balitanya jangan sampai kekurangan gizi.
“Mereka juga harus rutin memeriksakan bayi/balitanya ke Posyandu. Alhamdulillah, saat ini kedatangan ibu-ibu dengan bayi atau balita meningkat. Sehingga keadaan gizi bayi dan balita desa Pematang bisa terpantau dengan baik secara rutin di Posyandu,” jelasnya.
Bidan menurutnya harus bisa memberikan penyuluhan yang baik dan benar tentang pemberian ASI Ekslusif dan asupan makanan yang baik untuk bayi dan balita sehingga Ibu paham tentang gizi untuk bayi dan balitanya.
“Tidak perlu mahal asal cukup makanan seimbang Insya Allah gizi Bayi dan balita akan terpenuhi, sehingga Alhamdulilah bayi dan balita di desa Pematang tidak terjadi kasus Gizi buruk,” katanya.
Bidan Evi juga buka praktek 24 jam di rumah sebagai Bidan Praktek Mandiri. Kalau ada pasien tidak mampu datang berobat tidak mungkin ditolaknya, karena jadi Bidan tidak semata-mata cari uang untuk kehidupan dunia.
“Yang pasti sudah bisa menolong orang yang membutuhkan. Puas rasanya bila orang yang ditolong bisa sembuh atau mendapat pertolongan persalinan dengan selamat. Karena pertolongan persalinan yang bersih dan aman harus di tolong tenaga kesehatan. Ini berlaku baik bagi yang punya kartu BPJS/KIS maupun tidak. Kita harus tetap melayani,” ujarnya.
Menurutnya, tugas sebagai Bidan Desa tidak semata hanya untuk Ibu dan Anak saja. Semua masyarakat datang meminta pertolongan Bidan Desa. Dengan senang hati dan bangga Bidan Desa pasti melayani. Tidak semua rakyat desa datang dapat memberikan imbalan. Karena tidak semua masyarakat Desa Pematang mampu untuk membayar. Mata pencaharian masyarakat Desa Pematang mayoritas petani kebun dan sawah yang belum tentu miliknya. Kebanyakan mereka mengerjakan kebun atau sawah orang lain, yang hasil panen nya dibagi dengan pemilik kebun atau sawah.
“Jika terjadi hal tidak mampu saya atasi dalam pertolongan persalinan atau pun penyakit parah lainnya maka saya harus merujuk pasien ke Rumah Sakit Umum Daerah Bob Bazar di Kota Kalianda, 5 kilometer dari desa. Bila pasien sudah pulang dari rumah sakit, kembali menjadi tugas Bidan Desa kembali melakukan kunjungan rumah untuk memastikan perawatan di rumah. Pasien dalam keadaan sehat adalah kebahagian terbesar saya dalam menjalankan tugas utama menjadi seorang Bidan Desa,” jelasnya.
Berjuang Menuntut Hak
Sejak kembali jadi Bidan PTT Kemenkes RI pada tahun 2005, Bidan Evi sudah mendapatkan gaji Rp 1,3 juta/bulan yang diterima melalui rekening BRI. Semenjak oktober 2015 gaji Bidan desa naik menjadi Rp 2.356.370,-
Namun semenjak adanya Permenkes No 07/2013 yang diskriminatif terhadap Bidan Desa, Bidan Evi merasa terpanggil untuk memperjuangkan nasib, hak Bidan Desa yang seharusnya tidak didiskriminasi oleh Permenkes tersebut. Pengalaman dan pengabdian yang sudah bertahun-tahun akan diputus begitu saja setelah 9 tahun bekerja. Cuti bersalin hanya dikasih 40 hari kerja.
“Sangat ironis dengan tugas dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh Bidan Desa. Kamikan tidak pernah menolak ibu yang membutuhkan persalinan di desa. Jelas kami semua kecewa dengan perlakuan pemerintah terhadap bidan-bidan desa PTT seluruh Indonesia,” ujarnya.
Bidan Evi menjelaskan, melalui perjuangan panjang bersama Forbides PTT Indonesia seluruh Bidan Desa kini punya alat perjuangan untuk memastikan hak yang seharusnya diterima setelah bertahun-tahun menjadi Bidan Desa dengan segala bentuk pengabdian.
“Dengan tekad yang bulat, tanpa keraguan sedikitpun, saya dan semua Bidan PTT se Propinsi Lampung menggalang persatuan untuk dapat memperjuangkan nasib untuk merebut hak kepastian kerja. Melayani rakyat dan berjuang bersama teman-teman Bidan PTT seluruh Indonesia adalah kehormatan. Kami merasa bangga tergabung dalam Perjuangan Forbides Indonesia. PNS harga mati!!,” tegasnya.
Saat ini ada 42.245 Bidan Desa PTT dari seluruh Indonesia yang tergabung dalam Forbides PTT Indonesia, sedang menunggu Presiden Joko Widodo menanda tangani pengangkatan menjadi PNS. (Web Warouw)