JAKARTA- Pemakzulan Presiden ini topik yang ramai diperbincangkan saat ini. Ada petisi 100 misalnya yang menuntut agar presiden dimakzulkan.
Menurut Eep Saefulloh Fatah pemakzulan Presiden Jokowi bisa dilakukan dengan beberapa syarat. Hal ini disampaikannya dalam akun Youtube Keep Talking yang dipantau Bergelora.com, Minggu (21/1).
Pendiri dan Direktur lembaga konsultan politik, Polmark Indonesia ini mengatakan ada banyak alasan untuk melakukan pemakzulan terhadap Presiden Jokowi.
“Misalnya Presiden Jokowi telah melakukan penyelewengan kekuasaan secara masif terstruktur dan sangat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi Indonesia,” ujarnya.
Pada saat yang sama ada argumen yang mengatakan bahwa presiden Jokowi dengan keterlibatannya yang bablas dalam Pemilihan Umum 2024 terutama pemilihan presiden bisa menyebabkan tidak terselenggaranya Pemilu secara adil dan demokratis.
“Menurut saya Presiden Jokowi memang sudah layak dimakzulkan. Saya punya satu alasan yang kuat untuk mendukung pendapat saya itu yaitu menurut saya Presiden Jokowi telah melanggar undang-undang Dasar 1945. Satu alasan yang sangat telak yang sangat tegas yang bisa menyebabkan seorang presiden dimakzulkan,” tegasnya.
Menurutnya, ketika MK mengeluarkan keputusan Nomor 90 tahun 2023 maka terbuktilah telah terjadi praktik nepotisme. Keputusan itu keluar tidak bisa dilepaskan dari kedudukan presiden Jokowi dan Ketua MK yang adalah adik ipar Jokowi.
Calon wakil presiden yang kemudian diberi fasilitas kemudahan lewat keputusan itu kebetulan adalah putra presiden Gibran Rakabuming Raka.
“Maka di dalam peristiwa itu nepotisme telah terbukti. Jangan lupa Indonesia punya undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan anti korupsi kolusi dan nepotisme. Undang-undang itu merujuk pada MPR Nomor 11 tahun 1998 tentang hal yang sama,” ujarnya.
Bukan Etika Tapi Masalah Hukum
Jadi menurut Eep, soal nepotisme bukan soal etika. Soal nepotisme adalah aturan hukum dan dengan demikian Presiden Jokowi telah melanggar undang-undang.
“Pasal 9 Undang-undang Dasar 1945 mengatur soal Sumpah dan Janji presiden dan wakil presiden. Dalam Sumpah Dan Janji itu ditegaskan bahwa presiden wajib memegang teguh Undang-undang Dasar dan segenap undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya,” ujarnya.
Maka menurutnya, pelanggaran Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 jelas melanggar sumpah dan janji presiden yang diatur oleh Undang-undang Dasar 1945 itu.
“Itulah yang menyebabkan saya sebagai warga negara beranggapan bahwa presiden sudah melanggar undang-undang dasar 1945 dan karena itu layak dimakzulkan,” tegasnya.
Pemakzulan Hal Biasa
Eep Saefulloh mengingatkan bahwa soal pemakzulan sebetulnya soal yang biasa. Dari sisi tata bahasa pemakzulan adalah menarik presiden dari jabatannya, menurunkan presiden dari jabatannya, menghentikan presiden,– itulah pemakzulan.
“Pemakzulan ini diatur dalam konstitusi kita undang-undang Dasar 1945 dan secara demokratis prosesnya dibuat sedemikian rupa sehingga tidak dengan sangat mudah seorang presiden bisa dimakzulkan,” ujarnya.
Eep menjelaskan, DPR harus mengadakan persidangan yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota DPR dan 3/4 dari mereka yang hadir bersepakat tentang telah terjadinya pelanggaran aturan perundang-undangan serta sebab-sebab lain yang diatur konstitusi yang menyebabkan presiden layak atau bisa dimazulkan.
“Lalu ketika proses di DPR selesai, maka DPR mengajukan kepada MK. Untuk proses lebih lanjut MK diberi waktu selambat-lambatnya 90 hari setelah DPR mengajukan itu untuk mengkaji apakah benar presiden telah melakukan pelanggaran hukum yang menyebabkan presiden bisa dimakzulkan,” jelasnya.
Ketika MK memutuskan bahwa benar terjadi pelanggaran hukum maka kemudian proses bisa berlanjut, maka DPR bisa melangsungkan permintaan kepada MPR untuk menyelenggarakan sidang istimewa. Sidang istimewa ini setidak-tidaknya harus dihadiri oleh 3/4 dari seluruh anggota dan bisa dijalankan ketika 2/3 sekurang-kurangnya dari yang hadir bersepakat tentang pemakzulan.
“Dalam proses itulah tentu saja jawaban presiden, pembelaan diri presiden disediakan waktunya,”
Jadi, Eep menegaskan, pemakzulan ini bukan mengkudeta presiden.
“Tetapi yang dimaksud memakzulkan presiden adalah menurunkan presiden lewat proses konstitusional yang memang kita miliki. Dan sebagai negara demokrasi sama seperti negara demokrasi yang lain Indonesia memiliki mekanisme itu,” jelasnya.
Pengalaman Pemakzulan Indonesia
Eep Saefulloh mengingatkan sebelumnya sudah pernah ada presiden yang dimakzulkan tetapi catatannya pada saat presiden itu dimakzulkan yaitu KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur Indonesia memang belum memiliki kerangka aturan seperti yang dimiliki sekarang dan pada saat itu pun belum ada pemilihan secara langsung.
“Jadi pada waktu itu Gus Dur dimakzulkan berbeda prosesnya, berbeda konteksnya, dengan pemakzulan Jokowi seperti yang diinginkan oleh sejumlah kalangan saat ini. Pada saat itu Gus Dur dimakzulkan bukan karena sebab-sebab yang lain tetapi MPR menemukan alasan yang sangat kuat karena Gus Dur dianggap melanggar Undang-undang Dasar 1945 dengan melampaui kekuasaannya dan membubarkan DPR dan MPR. Itulah sebabnya kemudian dengan cepat proses pemakzulan Gus Dur bisa berlangsung,” jelasnya.
“Barangkali ada di antara kita yang salah paham, bahwa sebelumnya pernah ada pemakzulan yaitu ketika Pak Harto dimakzulkan. Pak Harto tidak dimakzulkan. Pak Harto mengundurkan diri. Proses pengunduran diri Pak Harto sebagaimana kita pahami dari sejarah kita berlangsung dikarena sebab-sebab eksternal yang tidak bisa dikelola oleh Presiden.
Menutut Eep saat itu ada krisis moneter yang menjadi krisis ekonomi yang sangat serius yang kemudian menyebabkan banyak sekali orang turun ke jalan menuntut perubahan dan ternyata mengkristal pada perlawanan terhadap Presiden Soeharto. Presiden Soeharto. Kepemimpinannya menjadi tidak diinginkan lagi. Lalu kemudian bahkan ada reaksi dan perlawanan internal karena di DPR yang sebetulnya sebelumnya dikuasai oleh jaring-jaring kekuasaan Pak Harto ternyata mengalami perubahan.
Ssjumlah pihak berubah posisi dan melawan Pak Harto bahkan sejumlah menteri Pak Harto mengundurkan diri. Dewan reformasi atau lembaga sejenis itu yang ingin dibentuk Pak Harto gagal dibentuk dikarenakan semua tokoh nasional yang diminta untuk bergabung tidak ada yang bersedia.
“Jadi pemakzulan presiden pernah kita alami sekalipun memang tidak dalam aturan dan konteks seperti yang akan dihadapi oleh Presiden Jokowi sekarang,” ujarnya.
Apakah Bisa?
Pertanyaannya adalah apakah mungkin pemakzulan bisa dilakukan? Menurut Eep Saefulloh Fatah, pertanyaan ini menyangkut dua urusan yaitu, urusan teknis berkaitan dengan waktu dan urusan politik berkaitan dengan agenda-agenda besar terutama pemilihan umum.
“Jika ditilik dari sisi waktu kalau tadi saya sudah sampaikan MK memiliki waktu sepanjang-panjangnya 90 hari, lalu kemudian MPR memiliki waktu sepanjang panjangnya 30 hari maka setidak-tidaknya kita harus menyediakan waktu 120 hari atau 4 bulan. Dalam waktu itulah proses bisa berjalan tentu bisa lebih pendek. Jadi dari sisi waktu ini masih sangat jauh dari 20 Oktober 2024 yaitu masa akhir jabatan presiden Jokowi,” katanya.
Soal urusan yang kedua menurut Eep lebih pelik karena ini berkaitan dengan agenda lain yaitu pemilihan umum. Ada yang beranggapan bahwa jika proses pemakzulan dilakukan dan disegerakan sekarang maka yang akan terjadi antara lain adalah berpotensi terganggunya tahapan-tahapan pemilihan umum.
“Ini masuk akal tetapi seperti apa kemudian ini dikelola sebetulnya sepenuhnya ada di tangan partai-partai di dalam DPR dan saya yakin partai-partai di DPR terutama yang sekarang sudah ada di seberang Presiden Jokowi menimbang berbagai hal ini dan saya yakin partai-partai di DPR sebetulnya juga mendengar aspirasi soal pemakzulan ini,” katanya.
Tergantung Banyak Hal
Menurut Eep Saefulloh Fatah yang penting bahwa sukses atau tidak pemakzulan sangat tergantung pada banyak hal. Belajar dari pengalaman di negara-negara Amerika Latin yang sistemnya sama atau mirip sistem multipartai dengan partai banyak dan sistem presidensal maka ada beberapa faktor yang biasanya mempengaruhi sukses gagal pemakzulan.
“Yang pertama yaitu skandal atau pelanggaran hukum yang melibatkan langsung presiden menurut hemat saya ini sudah tersedia berkaitan dengan Presiden Jokowi,” katanya
“Sebab yang kedua bisa diperdebatkan yaitu kegagalan kebijakan berdasarkan data riset yang dimiliki oleh sejumlah lembaga termasuk lembaga yang saya kelola Polmark Indonesia. Maka sesungguhnya kenyataan tentang gagalnya kebijakan juga tersedia saat ini,” katanya lagi.
“Yang ketiga adalah faktor yang sangat penting resistensi DPR resistensi parlemen yang begitu konsisten dan persisten yang kemudian mendapatkan sokongan secara luas dari publik inilah yang rasanya sekarang ini sedang berproses. Ujungnya seperti apa wallahuam, tidak ada yang tahu,” ujarnya.
“Dan yang keempat keresahan publik yang meluas yang menyebabkan mau tidak mau akhirnya publik pun menjadi bagian penting dari proses pemakzulan ini,” tandasnya.
Ia mengingatkan, sejarah tidak bisa kita simpulkan hari ini. Sejarah dalam demokrasi adalah hasil akhir dari perjuangan setiap warga negara.
“Sekali lagi saya ingin menegaskan sebagai warga negara dengan hak-hak yang dijamin konstitusi saya ingin menegaskan pendapat saya bahwa pemakzulan Presiden Jokowi memang sudah layak dilakukan,” tegasnya.
Tonton pernyataan lengkapnya:
Bagaimana Indonesia akan merespon ini, bagaimana demokrasi akan bekerja untuk ini,– menurut Eep, itulah yang hari-hari ini menjadi bagian dari perjalanan Indonesia.
“Satu hal yang tentu saja harus kita jaga jangan sampai semua proses ini mengarah ke kehancuran demokrasi sebaliknya proses ini mudah-mudahan bisa kita jaga kita rawat sebagai bagian dari menyelamatkan demokrasi dan menyelamatkan masa depan Indonesia,” tegasnya. (Web Warouw)