Jumat, 25 April 2025

BISA GAK NIH..? Eks Kabais Soroti Hasrat Militer Perluas Jabatan di Sipil: Jangan Egois

JAKARTA – Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI tengah mendapat sorotan publik, termasuk dari sejumlah jenderal purnawirawan TNI.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar Komisi I DPR, pada 3-4 Maret 2025 lalu, muncul satu di antara beberapa usulan, yakni perluasan pengisian jabatan sipil oleh TNI aktif di luar ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU TNI.

Berdasarkan Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), ada 10 lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif TNI, yaitu Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung (MA). Usulan tersebut mendapatkan berbagai reaksi dari sejumlah jenderal purnawirawan TNI, di antaranya mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B Ponto.

Soleman menyatakan, seorang prajurit yang berstatus dinas aktif harus mengajukan pensiun dini jika ingin menduduki jabatan sipil.
Soleman menjelaskan, hal tersebut diperlukan untuk memperjelas hukum apa yang berlaku untuk prajurit yang bersangkutan, apakah hukum militer atau sipil.

“Yang jelas kalau dia masih berstatus militer, dia (prajurit aktif) tidak bisa tunduk 100 persen terhadap lembaga dimana dia berada, karena undang-undang yang berlaku sama dia tetap hukum militer,” kata Soleman.

Demikian pula jika karena alasan adanya kebutuhan sebuah jabatan kementerian/lembaga harus diisi oleh prajurit TNI aktif. Menurutnya, alih status tetap harus dilakukan terlebih dahulu.

Ia pun sependapat dengan pernyataan mantan Kepala Staf Teritorial (Kaster) TNI yang merupakan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bahwa konsep awal reformasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) adalah memastikan prajurit tidak menduduki jabatan sipil atau pemerintahan.

Menurutnya, 10 lembaga yang boleh diisi jabatannya oleh prajurit aktif sudah terbilang cukup.

Kalau pun ingin menambah lembaga, katanya, yakni pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer (Jampidmil) Kejaksaan Agung.

“Ya setuju, setuju (pernyataan SBY). Jadi yang sudah ada itu sudah cukup. Paling yang kurang itu untuk Kejaksaan, Jampidmil belum diatur. Mahkamah Agung sudah, Kejaksaan, nah itu boleh ditambah,” tuturnya.

Soleman mengingatkan agar TNI untuk tidak egois.

“Jadi, militer tidak boleh egois dalam hal ini. ‘Saya perlu, masukkan dia di sipil’, ya enggak bisa. Sipil itu juga punya kompetensi yang kompetensinya bisa saja tidak ada di TNI kan,” tambahnya.

Lebih lanjut, Soleman menegaskan, hal yang seharusnya diminta TNI adalah perihal anggaran yang tidak perlu melalui Kementerian Pertahanan.

Hal itu dikarenakan, undang-undang dasar mengatur Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi terhadap TNI Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU).

“Dalam hal ini misalnya Menteri Pertahanan, ya tidak boleh berkuasa terhadap TNI. Mengendalikan TNI lewat anggaran ya enggak boleh lah,” imbuhnya.

Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menegaskan, bahwa konsep awal reformasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) adalah memastikan prajurit tidak menduduki jabatan sipil atau pemerintahan.

Hal itu ia sampaikan dalam acara bedah buku Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tokyo, Jepang yang berlangsung secara hybrid, Jumat (7/3/2025).

Dalam kesempatan itu SBY menceritakan pengalamannya sebagai Ketua Tim Reformasi ABRI yang bertugas memastikan TNI-Polri kembali pada peran utama sesuai amanah konstitusi.

“Saya ketua tim reformasi ABRI, bekerja selama dua tahun untuk memastikan TNI-Polri atau ABRI kembali ke tugas pokok yang diamanahkan oleh konstitusi,” kata SBY.

SBY menegaskan, reformasi ABRI bertujuan agar prajurit tidak berpolitik dan tetap menjunjung tinggi demokrasi. Salah satu langkah konkret yang diambil adalah menghapus fungsi kekaryaan dan sosial-politik di militer.
Menurut SBY, jika ada prajurit aktif yang dibutuhkan di pemerintahan, mereka harus pensiun terlebih dahulu.

“Kalau ada tentara aktif yang cakap, yang diperlukan, bisa masuk ke pemerintahan dengan catatan pensiun, tidak lagi menjadi jenderal aktif, itulah dulu konsep awal military reform yang kita jalankan,” jelasnya.

Ia menegaskan konsep reformasi ABRI didasarkan pada semangat yang jelas, legalitas yang kuat, serta selaras dengan amanah konstitusi dan demokrasi.

“Dan itu segaris dengan amanah konstitusi dan undang-undang yang berlaku, segaris dengan respect for democratic values, segaris dengan apa yang dikehendaki oleh rakyat Indonesia,” pungkasnya.

𝗣𝗼𝗶𝗻-𝗽𝗼𝗶𝗻 𝗣𝗲𝗻𝘁𝗶𝗻𝗴 𝗥𝗨𝗨 𝗧𝗡𝗜 𝗗𝗶𝘀𝗼𝗿𝗼𝘁 𝗣𝘂𝗯𝗹𝗶𝗸

Suasana penyelenggaraan upacara HUT TNI ke-79 yang berlangsung khidmat di Monumen Nasional, Jakarta, 5 Oktober 2024. (Istimewa)
Pembahasan RUU TNI yang dilakukan pihak DPR RI bersama pemerintah terus menuai sorotan hingga penolakan dari berbagai kelompok organisasi masyarakat sipil hingga mantan purnawirawan jenderal TNI.

Usulan RUU TNI ini didasarkan pada Surat Presiden (Surpres) Nomor R12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025. 
Dan RUU TNI tersebut telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 di DPR RI.

RUU TNI yang saat ini tengah dibahas mencakup beberapa poin penting yang mendapatkan perhatian publik.

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, berikut poin-poin penting dalam revisi UU TNI yang mendapat perhatian publik:

𝗣𝗲𝗿𝗽𝗮𝗻𝗷𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗨𝘀𝗶𝗮 𝗣𝗲𝗻𝘀𝗶𝘂𝗻 𝗣𝗿𝗮𝗷𝘂𝗿𝗶𝘁 𝗧𝗡𝗜

Usulan memperpanjang usia pensiun prajurit TNI dari 58 tahun menjadi 60 tahun untuk perwira, dan hingga 65 tahun untuk prajurit dengan jabatan fungsional tertentu, bertujuan untuk memanfaatkan pengalaman dan keahlian prajurit yang masih produktif. Namun, ini juga memunculkan kekhawatiran penumpukan perwira tinggi non-job.
Perluasan

𝗣𝗲𝗻𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗠𝗶𝗹𝗶𝘁𝗲𝗿 𝗗𝗶 𝗟𝗲𝗺𝗯𝗮𝗴𝗮 𝗦𝗶𝗽𝗶𝗹

RUU TNI mengusulkan untuk memperluas penempatan prajurit aktif di berbagai kementerian dan lembaga sipil, yang sebelumnya dibatasi hanya pada sepuluh kementerian. Ini memicu kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi ABRI yang bisa mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil.

Meski begitu, pihak DPR memastikan penempatan ini hanya untuk posisi-posisi yang memang diperlukan oleh kementerian tertentu.

𝗞𝗲𝘁𝗲𝗿𝗹𝗶𝗯𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗧𝗡𝗜 𝗗𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗔𝗸𝘁𝗶𝘃𝗶𝘁𝗮𝘀 𝗕𝗶𝘀𝗻𝗶𝘀

Isu lain yang kontroversial adalah wacana yang memungkinkan prajurit aktif terlibat dalam bisnis. Meski tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit, langkah ini dikhawatirkan akan mengganggu netralitas dan profesionalisme TNI, serta menimbulkan konflik kepentingan. (Web Warouw)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru