Oleh: Dr. Maruly H. Utama *
ADAKAH aroma aneh pada keputusan MK terkait usia capres yang serta merta membukakan pintu konstitusi bagi masuknya Gibran pada kontestasi pilpres kali ini?
Protes dan demo terjadi dimana – mana. Pun cerita itu langsung trending di banyak media. Baik cetak, online hingga platform media sosial. Rata – rata, mereka bicara dengan ekspresi marah.
Kenapa?
Mereka terbawa pada rasa tidak suka terhadap cara – cara seperti itu. Mereka berusaha untuk tidak mentolerir telanjang cara dari para penguasa mempermainkan hukum. Paling tidak, itulah yang terbaca dari banyak ungkapan marah mereka
Putusan MK kali ini dianggap terlalu vulgar saat harus berpihak. Mulai dari proses dan hingga keputusan, itu mereka rasakan bukan berangkat dari kejujuran. Ada terlalu kental maksud tersembunyi sulit untuk tidak terlihat.
Siapa paling diuntungkan, PDIP. Meski terdengar blunder bila menggunakan alasan bahwa PDIP lah yang justru kehilangan dua kader hebatnya yakni pak Jokowi dan Gibran, mereka punya strategi dan cara pandang tersendiri.
Ketika pertanyaannya adalah apa bukti dari semua itu, sejak keputusan MK, baik petinggi dan struktural partai tidak banyak membahas hal tersebut. Bukan hanya mereka tak protes, beberapa kali justru pernyataan bahwa itu tak perlu diributkan kita dengar.
Kenapa? Itu seperti menanti saat paling tepat. Itu seperti kesabaran tingkat tinggi yang hanya dimiliki oleh jiwa – jiwa yang matang. Mereka menunggu saat dimana titik balik sudah tidak lagi tersedia bagi sang lawan kecuali terjerat.
Kapan? Saat Gibran dideklarasikan dan lalu didaftarkan ke KPU oleh Koalisi Indonesia Maju. Pada titik itu, jalan untuk lari dan keluar dari prahara sudah sulit untuk dihindari. Ada seribu perkara datang menyapa dan koalisi KIM pun terjebak pada masalah.
Seperti target yang sudah terperangkap dan lalu hanya bisa berteriak, koalisi KIM akan disibukkan mencari diksi bantahan dari ruang terbatas. Mereka seperti tidak lagi memiliki kemewahan untuk bicara program disaat masa kampanye.
“Serius?”
Pasangan Prabowo – Gibran sepintas lalu memang berpotensi menarik dukungan milenial dan relawan Jokowi. Tapi masa kampanye yang akan berlangsung selama dua bulan lebih itu bukan mustahil justru akan mendowngrade semua sisi lebih milik mereka.
Diksi manifestasi haus kekuasaan akan mereka tuangkan dalam kanvas perpanjangan masa jabatan presiden, mimpi tiga periode, mendorong anak dan matunya masuk politik praktis dengan menjadi Walikota dan Ketum Partai hingga menikahkan adiknya dengan salah satu Ketua MK. Ini amunisi seksi.
Siapakah tak tertarik dengan semburat warna goresan dusta pada kanvas seperti itu?
Intinya, peluru untuk target melukai Jokowi dan keluarga itu pasti akan berdampak buruk bagi KIM.
Pun bukan hal mustahil bila pihak lawan akan secara khusus mencari celah bisa bersuara di parlemen terkait adanya dugaan telah terjadi intervensi kekuasaan di MK dan lalu ide impeachment pun akan mereka gulirkan. Mereka mencari dan terus akan mencari bukti itu.
Siapa saja akan terlibat, bahkan Nasdem, PKS dan PKB pun mustahil tak akan turut dalam barisan tersebut. Mereka seperti tak peduli bahwa koalisi PDIP adalah lawan di tempat lain. Untuk jenis pekerjaan seperti ini, mudah bagi mereka melupakan persaingan.
Menarik diri dari koalisi pemerintahan Jokowi misalnya, mundurnya menteri yang berasal dari PDIP, PPP, PKS, PKB dan Nasdem, sepertinya adalah drama pembuka atas drama besar yang siap dipentaskan.
Dan entah bagaimana caranya, tiba – tiba saja akan muncul oposisi dengan suara mayoritas sekitar 54 persen di parlemen.
Saat kekuatan sebesar itu hadir dan punya agenda, bisa anda bayangkan sendiri bagaimana skala kekacauan yang akan muncul.
Dan bukan mustahil bila ide impeachment pun akan menjadi tujuan. Pun bila pelengseran itu tak mencapai target misalnya, bukankah keriuhan itu benar adanya akan memberi beban luar biasa berat untuk koalisi KIM?
Ketika pertanyaan selanjutnya adalah apakah pak Jokowi siap dengan itu semua, anda pasti lebih tahu siapa Jokowi dalam konstelasi perpolitikan kita hari ini.
Tapi ini hanya reka – reka. Bisa terjadi bisa juga tidak. Pun bila pada akhirnya KIM tetap deklarasi pasangan Prabowo – Gibran, koalisi ini pasti sudah punya peta jalan yang mereka siapkan.
Bila KIM ternyata memilih cawapres yang lain, Prabowo – Budiman atau Prabowo – Yusril misalnya, inilah plot twist. Ini mungkin adalah akhir cerita yang sangat mengecewakan bagi mereka yang sudah bersiap dengan perangkap itu, tapi ini juga kisah luar biasa seorang Jokowi.
Beliau pantas didaulat sebagai pemimpin luar biasa sekaligus panglima tempur pemilik strategi cerdas dalam segala medan.
*Penulis Dr. Maruly H. Utama, DPP Prabu (Prabowo-Budiman)