JAKARTA- Rancana alokasi dana aspirasi oleh DPR-RI diduga akan menjadi suap terhadap rakyat di daerah agar mengikuti kehendak politik DPR. Dana aspirasi ini juga dikuatirkan justru akan menjadi rawan untuk dikorup oleh para anggota DPR. Hal ini disampaikan oleh pengamat anggaran negara, Uchok Sky Khadafi kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (15/6).
“Dana aspirasi DPR ini mah bukan untuk kepentingan warga tak lebih tak kurang, dana aspirasi hanya untuk dana “suap” dari DPR untuk warga.
Menurut Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) ini, bagi anggota DPR dana ini diharapkan sebagai dana celengan yang ditanam atau diberikan kepada warga agar pada suatu nanti, tempat atau warga yang menerima dana celengan ini “mematuhi” apa kehendak politik DPR.
“Jadi, dana aspirasi ini hanya untuk menyandera warga saja agar mengikuti politik DPR. Dana aspirasi bukan untuk membangun kebutuhan rakyat atau kepentingan rakyat agar bisa sejahterah,” ujarnya.
Untuk itu menurutnya, rencana alokasi dana aspirasi tersebut sebaiknya ditolak, karena rawan untuk terjadi penyimpangan
Walaupun menurutnya, dana aspirasi itu dikelola oleh negara, maka akan terjadi double anggaran dalam kementerian tehnis yang menjalankan.
“Tapi kalau dana aspirasi ada dalam pengelola sekjend DPR, sama saja dengan mengakali uang pajak. Karena kalau uang ditaroh di kementerian teknis, maka akan ada didouble anggaran atau program. Tidak menguntungkan bagi DPR karena susah dicairkan untuk realisasi
Dugaan korupsi massal menurutnya bisa timbul bila melihat kondisi daerah-daerah pemilihan masing-masing anggota dewan.
“Dana aspirasi ini muncul dari konstituen ketika mereka reses di dapil. Dengan legitimasi reses ini, DPR memaksa pihak pemerintah untuk mengalokasi Dana aspirasi ini. Padahal kondisi dapil mereka itu, ditempati bukan hanya anggota.DPR saja, tapi ada juga DPRD tingkat II (kabupaten/kota) dan anggota tingkat .I (pronvinsi),” jelasnya.
Artinya, dapil yang ditempati 3 legislator ini, akan menerima double anggaran yang arahnya jelas-jelas bermodus korupsi dalam bentuk mark up, dan proyek fiktif.
“yang dimaksud dengan proyek fiktif, dapil tersebut dapat dana aspirasi dari DPRD tingkat satu, dan tingkat DPR. Tentu yang dijalankan hanya satu proyek saja. Dana aspirasi yang lain dimasukan ke dalam kantong pribadi,” jelasnya.
Ia juga menambahkan kalau bentuknya disalurkan melalui pemda, maka modus seperti Wa Ode Nurhayati yang dianggap melakukan perbuatan tindak pidana, yakni menerima suap terkait pengalokasian Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) (Calvin G. Eben-Haezer)