Senin, 28 April 2025

Dana Mahal, Tapi DPD Hanya Jadi LSM

JAKARTA – Dewan Perwakilan Daerah (DPD) atau masyarakat dapat melakukan pengujian terhadap semua Undang-undang yang terkait dengan DPD dan nyata-nyata melanggar Keputusan Mahkamah Konstitusi agar DPR dapat mempertimbangkan peran DPD selanjutnya. DPD RI mempunyai fungsi yang sangat sumir, seperti tertuang dalam Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945. Hal ini disampaikan oleh Mantan Ketua MK, Mahfud MD dalam Seminar bertema ‘DPD RI Sebagai Representasi Daerah dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia’ di Jakarta, Senin (6/7) lalu.

 

“Padahal sebagai sebuah Lembaga Negara, DPD dibiayai mahal dengan standar gaji yang sama dengan anggota DPR, namun hanya berfungsi seperti LSM saja,” ucap mantan anggota DPR dari PKB ini.

MK sebagai lembaga negative legislation, maka semua Keputusan MK dalam Judicial Review atas undang-undang adalah sejajar dengan isi putusan MK yang membatalkan undang-undang atau sebagian isinya harus dianggap seperti undang-undang baru.

“DPD atau masyarakat bisa melakukan Judicial Review, baik uji formal maupun uji materiil untuk semua Undang-undang yang terkait dengan daerah dan tidak melibatkan DPD. MK pasti mengabulkan itu,” tegas Mahfud MD.

Hanya Ornamen

Sebelumnya, dalam kesempatan pertama dalam Seminar ini, AM Fatwa sebagai senator dari daerah DKI Jakarta menyatakan bahwa DPD RI selama ini hanya merupakan ornamen demokrasi semata.

“yang bisa disebut sebagai lembaga legislatif seharusnya bisa ikut memutuskan, dan tidak hanya ikut membahas atau memberi pertimbangan saja,” ucap anggota DPD RI di dua periode ini.

Menurutnya, ada 2 faktor yang menyebabkan DPD hanya dianggap sebagai ornamen demokrasi semata. Yang pertama adalah faktor pembentukan DPD RI, dan yang kedua adalah faktor sikap anggota DPR.

Pada saat awal terbentuknya DPD RI, PDIP sebagai partai yang berkuasa saat itu tidak menginginkan DPD setara dengan DPR.

“Alasannya sangat sederhana. Menghadapi DPR saja Presiden sudah direpotkan, apalagi ditambah dengan DPD,” sebut Ketua Badan Kehormatan DPD periode 2009-2014 ini.

Sedangkan faktor keduanya adalah penolakan dari para anggota DPR yang telah merasa nyaman dengan kewenangannya saat ini. Menurut AM Fatwa, secara psikososial seseorang memang mengatakan bila kondisinya sudah mapan, maka sulit untuk melakukan perubahan. Hal tersebut menjadi penyebab DPR akan selalu enggan memberikan jalan untuk DPD.

Sekedar Penggembira

Guru Besar IPDN, Prof. Djohermansyah Djohan menyebutkan bahwa gagasan dasar pembentukan DPD RI karena perlunya lembaga yang dapat mewakili kepentingan-kepentingan daerah, serta untuk menjaga keseimbangan antar daerah dan antara pusat dengan daerah, secara adil dan serasi.

“juga ada keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi dan peran daerah dalam proses pengambilan keputusan politik berkaitan dengan kepentingan daerah,” ucapnya. Namun kenyataannya peran DPD masih belum setara DPR, hanya menjadi penggembira dan miskin check and balances.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manjemen IPB, Didin S. Damanhuri menyatakan bahwa ketimpangan pembangunan ekonomi terjadi karena Indonesia menganut paradigma pembangunan liberal (GDP oriented).

“karena ber-GDP oriented, ketimpangan di Indonesia makin nyata, karena peran negara yang minimalis menyebabkan bangsa ini hanya jadi follower menghadapi globalisasi,” sebutnya.

Oleh karenanya, DPD seyogyanya aktif memperjuangkan agar Indonesia kembali kepada Sistem Presidensial murni dan MPR sebagai lembaga Tertinggi Negara sehingga dapat menciptakan “active state” dan kreatif serta unggul dalam proses dan meraih output bermanfaat dari globalisasi.

“DPD harus mendorong orientasi pembangunan yang mensejahterakan rakyat dengan menuntut perubahan konstitusi UUD 1945 dengan pembagunan ekonomi yang berbasiskan konstitusi, ” tegasnya. (Enrico N. Abdielli)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru