JAKARTA – Ada banyak misteri dari masa lalu yang belum terungkap. Misalnya saja, fakta bahwa Indonesia ternyata memiliki wilayah yang disebut-sebut sebagai ‘dunia hilang’.
Wilayah itu tak lain adalah Sumba. Para ilmuwan mengatakan pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) itu merupakan rumah bagi berbagai hewan yang sebagian besar telah punah.
Antara lain gajah mini, spesies tikus, kadal raksasa, hingga spesies komodo. Fakta ini dibeberkan para ilmuwan dalam jurnal berjudul ‘Proceedings of the Royal Society B’.
Laporan itu merujuk pada penemuan fosil hewan-hewan tersebut. Laporan itu menyebut fosil beragam spesies tersebut hidup di Sumba sekitar 12.000 tahun yang lalu, dikutip dari Mongabay, Sabtu (19/10/2024).
Bahkan, laporan itu mendapati temuan serius yang memungkinkan bahwa hewan-hewan langka dulu awalnya hidup di wilayah Sumba. Hal ini semakin meyakinkan ketika ditemukannya fosil komodo yang saat ini hanya bermukim di Pulau Komodo, Flores.
Hal ini memancing asumsi bahwa hewan yang kini termasuk langka itu sebenarnya berasal dari Sumba.
Ekspedisi untuk meneliti hewan-hewan punah ini berlangsung dari 2011 hingga 2014. Tim peneliti berasal dari Zoological Society of London (ZSL).
Mereka mengoleksi fosil dari Sumba, sebagai bagian dari kepulauan yang dulu dinamai ‘Wallacea’. Area ini berasal dari biologis Alfred Russel Wallacea yang pertama kali memberikan batasan wilayah berdasarkan penyebaran spesies hewan di Indonesia pada abad ke-19.
Wilayah di dalam Wallacea termasuk Sumba, Sulawesi, Lombok, Flores, Halmahera, Buru, dan Seram. Wilayah Wallacea mendulang popularitas pada 2004, ketika kelompok arkeologi mengumbar fosil makhluk punah yang dinamai ‘hobbit’ atau Homo Floresiensis. Makhluk ini ditemukan di Flores, bagian utara dari Sumba.
Hingga kini, riset tentang Sumba sendiri masih sangat jarang. Survei soal fosil dan kehidupan liar di sana belum terlalu banyak dilakukan.
“Mungkin karena terlalu banyak pulau di Indonesia untuk dipelajari. Masih jarang biologis atau paleontologis yang fokus pada wilayah beragam di Indonesia,” kata Samuel Turvey, anggota peneliti di ZSL.
Para ilmuwan berharap penelitian lebih lanjut di Sumba bisa dilakukan untuk mendapatkan pencerahan soal evolusi spesies di area tersebut.
“Penemuan di area ini bisa membuka wawasan yang menakjubkan soal dunia yang hilang. Ada banyak hewan yang berevolusi di kepulauan Wallacea yang terisolasi namun kemudian punah seiring munculnya peradaban manusia modern,” Turvey menjelaskan.
Nah, itu dia informasi terkait ‘dunia hilang’ yang dikatakan ada di Sumba, kota penuh pesona yang kini jadi salah satu kekuatan pariwisata di Indonesia. Semoga informasi ini bermanfaat!
Dihuni Manusia sejak 2.800 Tahun Lalu
Sebelumnya kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan, Maritim, dan Budaya Berkelanjutan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Retno Handini meneliti kekayaan peninggalan prasejarah Austronesia dan budaya berkelanjutan di Sumba.
Dia berfokus pada tiga dari empat situs di pulau Sumba yang dijadikan lokasi penelitian, yaitu situs Lambanapu, Mborombaku, dan Melolo.
Hasil penelitiannya menyimpulkan, Pulau Sumba sudah dihuni manusia setidaknya sejak 2.800 tahun lalu dengan pertanggalan tertua di Situs Melolo.
“Sementara Situs Lambanapu dihuni sekitar 2.600 tahun lalu. Sedangkan Situs Mborombaku relatif lebih muda sekitar 1300 BP,” kata Retno, dalam talkshow “Prasejarah Austronesia di Sumba & Budaya Berkelanjutan”, Rabu (10/7).
Lebih lanjut dia menjelaskan, BRIN melakukan eskavasi situs Melolo, di mana ditemukan 26 kerangka individu yang berusia ratusan ribu tahun dan benda-benda kuno berbentuk kendi yang diukir.
Sementara ekskavasi Lambanapu dilakukan pada 2015 sampai 2016. Pada situs tersebut, ditemukan kuburan leluhur suku Sumba, berupa 52 makam leluhur dan 58 kuburan yang tidak ada wadah makamnya.
“Di sini juga ditemukan benda-benda peninggalan seperti cincin, mutiara, dan benda-benda berbentuk seperti kendi dari tanah liat yang ada hiasan atau ukirannya,” terang Retno.
Sedangkan pada area situs Mborombaku, ditemukan sebuah lokasi dekat Sungai Kadahang, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur yang diperkirakan sebagai lokasi leluhur Sumba pertama kali mendarat.
“Kami menemukan juga peninggalan benda kuno berupa keramik seladon fujian Dinasti Yuan pada abad ke-13,” tambah dia.
Terkait budaya berkelanjutan di Sumba yang masih bertahan hingga saat ini, Retno merinci di antaranya kubur batu (reti), sirih pinang, katoda, rumah adat, ritual tengi watu (tarik batu), ritual hamayang, dan ritual kematian.
“Tradisi budaya yang masih bertahan dan berkelanjutan di Sumba dikuatkan oleh kepercayaan asli mereka (Marapu), yang sangat menghormati leluhur dan mempertahankan ajaran nenek moyang dalam keseharian hidup mereka sampai saat ini,” beber dia.
Kepala Pusat Riset BRIN Marlon Ririmase mengatakan, prasejarah Austronesia merupakan salah satu bagian fundamental dalam riset arkeologi. Terutama, terkait asal-usul masyarakat dan budaya Nusantara.
“Ini menjadi variabel penting dalam keragaman budaya masyarakat tradisional Indonesia,” ungkap Marlon.
Menurutnya, ada relasi erat antara migrasi penutur Bahasa Austronesia dalam kaitan dengan kawasan sekitar, yang terkait dengan pengetahuan dan tradisi maritim dan teknologi bahari tradisional masyarakat Indonesia.
“Hal seperti ini belum banyak muncul dalam temuan-temuan arkeologi di wilayah Sumba. Tetapi ini menjadi salah satu prospek dalam riset-riset ke depan yang bisa ditindaklanjuti”, katanya.
Yang paling penting, kata Marlon, bagaimana ekspresi budaya material yang berciri monumental, sebagaimana diwakili oleh tradisi megalitik. Hal itu menjadi penanda ikonik sejarah budaya masyarakat Sumba yang masih lestari sampai saat ini. (Calvin G. Eben-Haezer)