Minggu, 20 April 2025

Dekan Fisipol Setuju UGM Minta Maaf Pada Korban 1965

 

YOGYAKARTA- Petisi untuk Rektor UGM (Universitas Gajah Mada) Dwikorita Karnawati agar mengakui keterlibatan UGM dalam Tragedi 1965 telah beredar di media sosial. Petisi yang digagas Aliansi UGM untuk Tragedi 1965 itu diunggah Bergelora.com melalui laman change.org dan sedikitnya telah mendapatkan dukungan lebih dari 921 orang, hingga Jumat (20/11).

 

Petisi ini meminta Rektor UGM untuk mengakui keterlibatan civitas akademika UGM dalam Tragedi 1965 dan meminta maaf kepada para korban Tragedi 1965 dan keluarganya, mereka juga meminta agar rektor bisa memastikan bahwa UGM sebagai lembaga yang mengemban amanat kemerdekaan bebas dari kepentingan yang ingin membajaknya demi kekuasaan yang menindas, serakah dan meniadakan rasa kemanusiaan.

Menanggapi petisi tersebut, Dekan Fisipol UGM, Erwan Agus Purwanto berpendapat, UGM perlu melakukan kajian mendalam dan klarifikasi.

“Kalau memang pernah terlibat dan ada kesalahan ya harus meminta maaf,” kata Erwan kepada wartawan, di Pusat Kesenian Kusnadi Hardjosoemantri (PKKH) UGM, Selasa (17/11).

Guna mendalami persoalan itu, lanjutnya, UGM semestinya juga membentuk tim untuk melihat persoalan sebenarnya serta pihak-pihak yang terlibat atau pun menjadi korban.

“Harapannya ada obyektifitas dalam melihat UGM secara utuh, tidak hanya keterlibatannya, tetapi juga UGM menjadi korban,” ucapnya.

Sebelumnya, Rektor UGM Dwikorita Karnawati, di Yogyakarta menanggapi laporan tersebut, mengatakan bahwa ada banyak nama Loekman dan perlunya mengedepankan asas praduga tak bersalah.

Dalam Pengadilan Rakyat atas Kejahatan Kemanusiaan 1965 di Indonesia) yang berlangsung di Den Haag, Belanda, 10-13 November 2015, nama Prof. Dr. Loekman Soetrisno (alm.) yang merupakan guru besar UGM disebut berkaitan dengan sejarah gelap Tragedi 65.

Penganiayaan dan Pelecehan Seksual
Tintin Rahaju, penyintas Tragedi 1965, saksi korban di IPT 1965 – International People’s Tribunal for crimes against humanity in 1965 menyebut Lukman sebagai penyiksa yang paling kejam. Bahkan, Tintin mengaku pernah dianiaya dan dilecehkan secara seksual dalam interogasi pasca Tragedi 30 September 1965.

Nama Loekman Soetrisno sebagai eksekutor di tahun 65-66 tidak saja muncul dalam kesaksian di IPT 65, tapi juga muncul dalam buku-buku memoar Mia Bustam dan Heryani Busono Wiwoho.

“Yang menyiksa saya, yang paling kejam, boleh saya menyebut namanya?… Boleh saya menyebut namanya? Namanya Lukman Sutrisna,” ujarnya dalam sidang International People’s Tribunal for crimes against humanity in 1965.

Petisi kepada Rektor UGM ini menyebutkan Prof. Dr. Loekman Soetrisno (alm.), guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) yang sering bersuara kritis dan progresif terhadap perkembangan sosial. Namun siapa sangka, namanya ternyata berkaitan dengan sejarah gelap yang diungkap dalam IPT 1965 (Pengadilan Rakyat atas Kejahatan Kemanusiaan 1965 di Indonesia) yang berlangsung di Den Haag, Belanda, 10-13 November 2015.

Tidak tanggung-tanggung, saksi korban, Tintin Rahaju, menyebutnya sebagai penyiksa yang paling kejam. Tintin mengaku pernah dianiaya dan dilecehkan secara seksual dalam interogasi pasca Tragedi 30 September 1965. Nama Loekman Soetrisno sebagai eksekutor di tahun 65-66 tidak saja muncul dalam kesaksian di IPT 65, tapi juga muncul dalam buku-buku memoar Mia Bustam dan Heryani Busono Wiwoho.

Selain peran Loekman Soetrisno, UGM juga dikaitkan dengan piagam yang diberikan RPKAD tertanggal 15 Desember 1965, sebagai yang “telah memberikan bantuan-bantuan bentuk apapun dalam rangka penumpasan Gestapu/PKI di Jawa Tengah”. Piagam ini mengindikasikan bahwa keterlibatan UGM bukanlah sekadar Loekman Soetrisno belaka, melainkan ada peran-peran lain secara kelembagaan.

UGM tentu saja tidak sendirian. Banyak figur publik, lembaga masyarakat, kampus, organisasi keagamaan, yang juga terlibat dalam Tragedi 1965 entah karena dipaksa atau tidak. Namun sayangnya UGM melalui pernyataan rektornya tetap memberikan respon defensif dan “standar” terkait keterlibatan UGM. UGM belum berani memberikan kepemimpinan moral bagi bangsa ini untuk secara tulus mengakui keterlibatan civitas akademika UGM dalam Tragedi 1965. Padahal, rekonsiliasi tanpa keputusan siapa yang salah dan yang benar, tidak akan pernah bermanfaat bagi keadilan sosial.

Pancasila mendapatkan tempat khusus di UGM seperti tersurat lewat syair lagu Himne Gadjah Mada dan Visi UGM. Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, tentu saja tidak bisa memberi toleransi kepada tindakan penyiksaan dan pembunuhan manusia atas nama apapun. Dan bila memang itu pernah terjadi, inilah saatnya bagi UGM untuk mengakui kesalahan masa lalu demi masa depan kemanusiaan yang lebih adil dan beradab.

Petisi ini meminta Rektor UGM untuk:

1. Mengakui adanya keterlibatan civitas akademika UGM dalam Tragedi 1965 dan meminta maaf kepada para korban Tragedi 1965 dan keluarganya yang menderita karenanya. Civitas akademika UGM yang sekarang harus mengambil alih tanggung jawab moral untuk menyampaikan pengakuan dan penyesalan. Dengan cara ini, UGM akan dicatat sebagai lembaga yang mengedepankan akal budi dan hati nurani demi penuntasan konflik di negeri ini. Langkah ini juga akan mendorong adanya rekonsiliasi yang memutus rantai kekerasan dan dendam. Kepemimpinan moral dari Gus Dur dan Walikota Palu Rusdy Mastura layak menjadi teladan bagi rektor UGM.

2. Memastikan bahwa UGM sebagai lembaga yang didirikan untuk mengemban amanat kemerdekaan bebas dari kepentingan yang ingin membajaknya demi kekuasaan yang menindas, serakah dan meniadakan rasa kemanusiaan. Dalam hal ini patut dicatat betapa UGM pernah dihuni oleh akademisi progresif yang berani mengambil risiko demi kemajuan bangsa.

Alumni UGM dan siapapun, di manapun juga, yang peduli pada perdamaian bagi bangsa ini, kami mohon dukungannya bagi petisi ini. (Hari Subagyo)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru