Oleh: Petrus H. Haryanto*
Bahwa Sesungguhnya Kemerdekaan Adalah Hak Segala Bangsa… (Alenia Pertama, UUD 1945). Untuk itu Bergelora.com menurunkan tulisan dibawah ini untuk mengenang perjuangan SPRIM (Solidaritas Perjuangan Rakyat Indonesia untuk Maubere).
Suasana sunyi malam itu tiba-tiba dikagetkan suara ‘bruk’ begitu keras. Tidak hanya sekali. Terdengar bunyi bruk beberapa kali. Aku menduga ada beberapa orang yang meloncati pagar rumah ini. Tinggi pagarnya kurang dari satu meter. Tak lama kemudian pintu diketuk dari luar. Kemudian, disusul bunyi gemrisik HT (Handy-Talky) bersautan. Seketika membuat jantung kami seakan berhenti. Wajah kami panik dan ketakutan. Bahkan sebagian berlari ke belakang dan menaiki genteng rumah ini. Bahkan kulihat mereka menyeberang ke genteng tetangga, lalu menghilang.
Aku berusaha menenangkan yang lainnya. Aku hanya menempatkan telunjuk tangan di depan mulutku untuk meminta mereka tidak berisik. Kedua tanganku juga kugerakan sebagai tanda agar mereka diam di tempat dan tidak perlu ikut berlari keluar rumah lewat genteng tetangga. Aku tak mungkin mengeluarkan suara untuk menenangkan mereka karena takut terdengar sampai ke luar rumah. Dalam rumah ini didiami sekitar 50-an orang. Bila semua berbicara suara terdengar keras. Hampir semuanya adalah pemuda Timor-Timur. Rumah ini adalah markas bawah tanah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) faksi Ephorus Nababan, di daerah dekat Patung Pancoran. Kami meminjam rumah itu untuk tempat transit semalam sebelum kami melakukan “Aksi Loncat Pagar” Kedubes Belanda di daerah Kuningan.
Akhirnya, aku dan Wilson berhasil menenangkan suasana. Aku memerintahkan turun beberapa pemuda Timor Leste yang masih di bertengger di genteng. “Yang melarikan diri itu ketakutan karena mereka adalah buronan utama aparat, “ ujar Wilson ke aku.
Aku meminta Sereida Tambunan untuk mengecek siapa yang mengetuk pintu. “Ya ampun, ternyata Puto dan teman-temannya,” teriak Sere.
Hal ini membuat kami semua lega. Padahal, semua yang di ruangan ini mengira rumah ini diserbu aparat. “Bunyi HT itu bukan dari aparat tapi penjaga malam komplek perumahan ini,” ujar Sere yang terbiasa menempati rumah ini.
“Yang konyol ya temanku ini. Ketika ada bunyi HT, ia reflek melompat ke rumah ini. Mereka berpikir sudah sampai di depan Kedubes Belanda dan harus segera meloncat pagar, ” ungkap Puto dengan tertawa lebar.
Karena Puto sudah datang, kami segera rapat. Aksi melompat pagar Kedubes Belanda dikoordinir tiga orang. Aku mewakili SMID (Solidaritas Mahasiwa Indonesia untuk Demokrasi). Wilson mewakili SPRIM (Solidaritas Perjuangan Rakyat Indonesia untuk Maubere) dan Puto mewakili aktivis pemuda Timor-Timur. Pukul sudah menunjukan angka 12 malam. Beberapa jam lagi kami akan menjalankan aksi ini. Kemudian kami membagi per-regu untuk keluar dari rumah ini menuju kedubes Belanda.
Selain dari markas bawah tanah HKBP, beberapa regu diberangkatkan dari tempat lainnya. SMID Yogyakarta yang dipimpin oleh Margiyanto (Megi) berangkat dari Sekretaris SMID Pusat di Kebon Baru. Anggota regunya terdiri dari Andi Arief, Jemek, Pius, Yanto, Barni, Imah. Dari Wisma SJ di Margonda Depok dipimpin oleh Buyung Husnansyah, yang anggotanya pemuda Timor Timur. Sementara Bebek Semarang juga membawa pemuda dan mahasiswa Tim-Tim yang berasal dari Salatiga, Semarang, dan Surabaya. Mereka berangkat dari markas Tebet. Satu lagi regu dari Solo terdiri beberapa kawan, antara lain Narso, Ismunandar, Suyat, Bebek Solo, dan beberapa yang lainnya. Bogor juga mengirimkan anggota SMID antara lain Okta dan Ayie.
Sementara anggota SMID,STN, PPBI, Jaker dan lainnya dikonsetrasikan ke Kedubes Rusia yang dipimpin Ketua PS PRD (Presidium Sementara Persatuan Rakyat Demokratik), Budiman Soedjatmiko. Dan juga untuk dilibatkan dalam aksi mogok buruh Sritek di Sukoharjo, yang waktunya hampir bersamaan.
Langkah ini kami lakukan agar tidak dicurigai aparat. Pada hari ini, Kamis 7 Desember 1995 adalah 20 tahun peringatan invasi Indonesia ke Timor-Timur yang saat itu sudah menjadi negara yang merdeka dari penjajahan Portugis. Peringatan masuknya militer Indonesia ke wilayah negara itu terkenal dengan sandi Operasi Seroja. Militer Indonesia sudah bersiap-siap, dan mereka mencurigai akitivis Timor-Timur akan melakukan aksi lompat pagar Kedubes Asing di Jakarta. Hampir semua Kedutaan Besar negara asing di Jakarta, pagarnya ditinggikan, untuk mencegah aktivis pejuang Timor-Timur memasuki wilayah mereka. Yang tidak terlalu sulit untuk dipanjat hanya Kedubes Belanda dan Kedubes Rusia.
Pukul menunjukan angka 03.50. Sepuluh menit lagi kami semua harus melompat pagar Kedubes Belanda. Aku bersama Wilson dan beberapa pemuda Timor Leste menunggu di sebelah Kejaksaan Tinggi DKI. Sesekali saya melihat Irfan (adiknya Wilson) keluar dari selokan. Selokan itu dalam dan memanjang di sepanjang jalan Rasuna Said. Gerakan tangannya menggambarkan dia meminta agar yang lain tetap bersembunyi dalam selokan. Sementara yang lainnya, bersembunyi dikegelapan malam persis di bawah fly-over Kuningan. Sementara yang dari Yogyakarta bersembunyi di samping Gedung Erasmus Huis. Mereka harus bersembunyi terlebih dahulu karena kedatangannya tidak bersamaan.
Tepat Pukul 04.00 WIB, aku segera beranjak menuju ke jalan. Tepat di tengah jalan Rasuna Said itu aku berteriak, “Kawan-kawan segera keluar dan merapat. Saatnya kini melompat pagar Kedubes Belanda,”.
Seketika itu juga, kawan-kawan yang bersembunyi di lubang selokan keluar semua. Yang bersembunyi di taman di bawah fly over Kunigan juga bergegas lari menuju Kedubes Belanda yang jaraknya kurang lebih 200 meter. Mereka serentak mengikuti instruksiku agar segera melompat pagar Kedubes Belanda. Tampak Buyung membantu beberapa kawan-kawan melompat dengan cara menyediakan tangannya untuk menjadi tangga. Aku sendiri juga bergegas melompat. Ternyata temboknya terlalu tinggi bagiku. Aku tidak berani memanjat dengan menggunakan kekuatan kedua tanganku karena takut operasi herniaku jebol. Tiga bulan yang lalu aku operasi hernia kiriku.
“Bek, keluar lagi dong! Bantu aku memanjat tembok ini,” teriak ku ke Bebek Semarang yang sudah melewati pagar. Akupun dibantunya melompat pagar dengan cara didorong pantat ku dari bawah. Ketika aku sampai di dalam Kedubes Belanda aku langsung disambut pihak keamanan.
“Maling-maling,” teriak mereka dengan membawa bamboo panjang dengan posisi memukul.
Aku terkejut, ternyata hanya aku yang ada di dalam gedung Kedubes Belanda. Kulihat kawan-kawan yang lain berhasil masuk tetapi ke Erasmus Huis (Pusat Kebudayaan Belanda). Kedua tempat itu berdempetan, tetapi dipisahkan oleh pagar besi yang cukup tinggi.
“Maaf Pak kami bukan maling. Kami ingin meminta suaku politik di sini,” teriak ku kepada pihak keamanan Kedubes Belanda.
Teriakan itu menyelamatkanku dari pukulan puluhan keamanan Kedubes Belanda. Aku langsung memerintahkan kawan-kawan yang di Erasmus Huis melompat ke Kedubes Belanda.. Setelah semua berkumpul di Kedubes Belanda, tak lama kemudian sirene mobil polisi meraung-raung. Mereka hanya bisa memandang kami dari balik pintu gerbang Kedubes Belanda. Para polisi itu mencatat dua spanduk yang kami bentangkan :“Free Indonesia East Timor” dan Cabut 5 UU Politik, Referendum Di Timor Timur”.
Kami semua dibawa ke teras Kedubes Belanda. Mereka menyerahkan kertas dan bolpoint ke saya. Mereka meminta kami menuliskan satu persatu nama kami. Dari absen itu aku mengetahui kalau yang berhasil lompat pagar 58 orang. Jemek gagal masuk, ada beberapa regu yang tidak bisa masuk karena mereka tidak menemukan letak Kedubes Belanda. Ini adalah aksi lompat pagar terbesar yang pernah dilakukan.
Serangan Pertama
Pagi hari setelah pihak keamanan Belanda mengabsen kami, mereka mengutus atase politiknya untuk berunding dengan aku, Wilson dan Puto. Kami bertiga menyampaikan maksud dan tujuan aksi lompat pagar ini yang dilakukan PRD, SMID, PPBI, STN, dan Pemuda Timor Timur. “Kami tidak meminta suaka politik. Kami memohon dengan hormat pihak Pemerintah Belanda yang diwakili yang terhormat Duta Besar, Mr Paul Brower menjadi mediator. Kami ingin berunding dengan wakil Pemerintah RI dan Utusan HAM PBB, Ayala Lasso,” ujar Puto, pemuda jangkung yang mempunyai rambut kribo ini.
Dari raut wajahnya, aku melihat atase politik Kedubes Belanda ini bingung. Selama ini aksi lompat pagar memang tujuannya meminta suaka politik.”Tuntutan Anda semuanya akan kami sampaikan kepada bapak Duta Besar terlebih dahulu,” jawabnya dengan diplomatis.
Kami pun dibawa ke belakang gedung karena banyak masyarakat yang lewat menyaksikan aksi kami yang membentangkan dua spanduk. Bagi masyarakat, apa yang terpampang dalam spanduk itu merupakan isu yang sensitif. Kelompok oposisi yang lain belum berani mengangkat isu itu. Dan bisa dipastikan reaksi aparat akan represif bila menyangkut isu Timor Timur, apalagi tuntutan untuk referendum, atau menentukan nasib sendiri untuk menjadi bangsa yang merdeka dari penjajahan pemerintah Indoensia.
Kami diistirahatkan di halaman belakang Gedung itu. Halamannya cukup luas. Di tengahnya ada kolam renang yang dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi yang cukup banyak. Di tepi kolam renang juga berjejer kursi santai.Mungkin tempat berjemur bagi staff Kedubes Belanda untuk berjemur sinar matahari.
Siang itu cuaca begitu cerah. Kesempatan itu digunakan teman-teman untuk berendam dan berenang di kolam renang. Sementara yang lain memanfaatkan untuk mandi, menyegarkan badan setelah semalam tidak tidur. Yanto. Ismunandar, Pius Yogya, Bebek Semarang saling berlomba berenang, sementara Andi Arief dengan kacamata hitamnya dan Barni duduk di kursi malas sambil berjemur. Sementara Imah, sibuk mencatat dalam buku tulis kronologis kejadian hari ini, ia mendapat tugas itu. Aku sendiri mencoba mencari kursi yang nyaman untuk sejenak memejamkan mata. Sudah tiga hari ini tidak tidur, rasa mata begitu pedih dan silau terkena sinar matahari.
Tiba-tiba Buyung Husnasyah berteriak. “Lari lari kita diserang preman pro intergrasi,”
Samuel Gobai, akitivis OPM (Orgaisasi Papua Merdeka) berbadan tegap mencoba melindungi kawan-kawan yang lainnya. Banyak diantara kami yang perempuan, ada Barni, Imah, Okta, Ayie, dan beberapa perempuan dari Timor-Timur.Terdengar teriakan puluhan orang di pintu gerbang . “Seret keluar Penghianat bangsa,” teriak mereka terdengar sayup-sayup.
Kami lantas berlari mengikuti Narso menuju ke dapur. Aku melihat Narso mengambil pisau di dapur. Ada lima pisau yang diambil lansung dia sembunyikan di balik bajunya. Insting menghadapi situasi kekerasan muncul pada dirinya. Pemuda Solo ini memang akrab dengan dunia kekerasan. Dia adalah Ketua Serikat Rakyat Surakarta. (SRS).
Tak sampai setengah jam kami keluar lagi karena tidak ada tanda-tanda mereka memasuki halaman belakang gedung. “Petrus, Wilson, Puto, kalian semua kalau diserang harus lari dan bersembunyi di garasi ya. Kami kuatir kalian di serang lagi,” ujar pihak keamanan Kedubes Belanda berwajah bule dengan bahasa Indonesia yang fasih.
Garasi itu tempatnya di sebelah kolam renang. Dipisahkan oleh taman yang asri. Ada dua rolling door yang bisa dibuka dan ditutup. Temboknya terdapat banyak lubang fentilasi, sehingga dari dalam bisa melihat suasana di luar ruangan parkir mobil itu.
Buyung Husnansyah, Samuel Gobai, Bebek Semarang, Narso, Andi Arief lantas bergegas mencari senjata apa saja yang bisa dipakai. Samuel Gobai dan Buyung Husnansyah menemukan pipa besi panjangnya sekitar1,5 meter. Diameternya sekitar 10 cm2. Bebek Semarang dan Pius menemukan gunting taman. Pisaunya yang besar lantas dipisahkan menjadi dua. Masing-masing diikat menggunakan tongkat sapu, dan dijadikan tombak.. “Bila nanti preman yang menyebut dirinya pro intergrasi menyerang kemari, kalian langsung masuk ke tempat ini. Tutup rolling door-nya agar mereka tidak bisa menyerang,” ujarku ke kawan-kawan.
Serangan Kedua
Sore hari kami bertiga dipanggil untuk berunding dengan Duta Besar Belanda MR. Paul Brower. Di sana juga sudah ada HJ. Princen, tokoh pejuang HAM. Kami dipersilahkan duduk di sebuah ruang pertemuan yang letaknya paling belakang dari gedung itu. Kami bertiga diberi kesempatan memperkenalkan diri dan mengutarakan maksud dan tujuan aksi kami. Seperti biasa Puto yang akan berbicara. Baru beberapa patah kata tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar. Teriakan-teriakan penghianat bangsa terdengar samar-samar.
Karena lantai satu gedung itu dindingnya terbuat dari kaca sehingga aku bisa melihat mereka. Datang dengan dua bus PPD Patas AC. Awalnya memanjat tembok. Aku melihat polisi hanya diam saja. Para polisi itu langsung dipimpin Kapolres Jakarta Selatan S.Y. Wenas. Spanduk yang mereka bentangkan bertuliskan : “Portugal 450 Years Big Bludy is in Timor” serta “Portugal
the bigest humman right abuser.” Mereka membawa senjata samurai dan pedang panjang yang sudah karatan.
Satu persatu dindingkaca dipecahkan. Kaca tembok lapis pertama rusak semua. Gedung itu dilapisi dinding kaca tiga sap. Lantas mereka berlari kebelakang di mana kami mengadakan pertemuan. Duta besar Belanda, Mr Paul dan beberapa pihak keamanan Kedubes berusaha mencegah mereka masuk. Naas, Mr Paul Brower kepalanya terkena pecahan kaca dan kepalanya berdarah. Beberapa pihak keamanan juga terkena sabetan samurai. Darah bercecer di mana-mana. Para pendemo yang jumlahnya puluhan itu memandangi aku dengan penuh kemarahan. Aku hanya terpaku dan diam berdiri saja. Aku ketakutan sekali. Dalam hatiku, ini mungkin saat matiku. Mereka tidak bisa menjamah aku karena masih ada dua lapis dinding kaca lagi. Untung pintu belakang tertutup, setelah gagal masuk mereka semakin brutal memecahkan dinding kaca gedung itu. Tiba-tiba aku punya kemampuang untuk segera berlari dan bersembunyi. Rasanya berat sekali badan ini diajak bergerak. Aku juga bigung mau lari ke mana karena tak paham gedung ini. Sekenanya aku lari menuju sebuah ruangan. Kubuka pintu dan kututup lagi. Di sana gelap sekali.
Beberapa saat aku bersembunyi dengan debaran jantung. Aku tidak tahu kemana Wilson dan Puto ? Aku jadi teringat nasib kawan-kawan. Pasti mereka diserang. Apakah ada yang terluka bahkan mungkin mati? Karena mereka menghunus pedang panjang dengan mata merah marah.
Darah dan Tangisan Histeris
Setelah teriakan dan suara keributan berlalu, aku berusaha memberanikan diri keluar. Yang pertama kutemui Buyung, Narso, Pius Yogya. Mereka menceritakan peristiwa penyebuan itu dengan wajah marah. “Aku yakin satu dari mereka ada yang mati. Samuel Gobai berhasil memukul satu orang yang berusaha menerobos rolling door yang belum tertutup sepenuhnya. dengan pipa besi tepat di kepalanya. Bunyi peng dan orang itu terkapar,’” ujar Buyung.
“Kami dilempari dan kami membalas. Andi Arief mengambil inisiatif mengkoordinir kawan-kawan untuk membalas lemparan mereka. Kami membalas lemparan dari batu yang mereka lempar. Aku sempat mendengar Andi Arief mengatakan kalau ini mungkin akhir dari hidupnya. Kami terdesak dan masuk ke garasi,” ucap Buyung dengan terbata-bata.
Narso dengan kaki penuh luka dan berdarah menceritakan betapa dramatisnya situasi yang mereka hadapi. Selain diancam akan ditebas samurai, mereka juga melempari kawan-kawan yang bersembunyi lewat lubang fentilasi. “Ima dari Yogya menangis dan histeris. Tangan mereka terkena lemparan batu. Suasana mencekam itu lebih dari satu jam,” ucap Narso dengan emosi.
“Aku dan Yanto berada di kamar mandi. Karena pintunya berbentuk koboy, aku bisa melihat aksi beringas mereka. Setelah melompat mereka melempari. Mereka melempari rolling door dan mengepung garasi. Merekea berteriak, bunuh penghianat bangsa. Yanto dengan emosi mau membantu kawan-kawan. Kucegah dengan kupegang tangannya. Kukatakan kepadanya kalau kamu keluar mereka membunuhmu. Aku sendiri berdoa dengan khusuk karena aku merasa ini saat matiku,” ucap Pius dengan bibir bergetar.
Pius menyaksikan kawan-kawan bisa meloloskan diri dari garasi. Katanya, kawan-kawan berebut masuk ke dalam gedung yang pintunya kecil dan lantainya berserakan pecahan kaca. Tak ayal lagi banyak kaki yang terluka. Ketika menyelamatkan diri dari garasi, Samuel Gobai melindungi kawan-kawan dari lemparan batu. “Aku menyaksikan tubuh dan kepalanya Gobai menjadi tameng bagi kawan-kawan dari lemparan batu. Aku salut, kawan yang satu ini berani dan tubuhnya kuat,” ungkap Pius.
Kami semua dievakuasi ke lantai tiga. Tangisan dan darah bercecer di mana-mana membuat situasi semakin mencekam. Langkah pertama menenangkan yang menangis dan histeris. “Aku berkata kepada semua kawan-kawan bahwa situasi sudah aman. “Pasti pihak keamanan akan mencegah para preman itu menyerang kita lagi. Aku lihat Dubes Belanda kepalanya berdarah. Pasti mereka protes ke Pemerintah RI karena daerah kedaulatannya dilanggar,” ucapku menenangkan kawan-kawan.
“Kita segera bentuk pasukan keamanan. Kumpulkan semua barang yang bisa kita jadikan senjata. Buat brigade dari meja dan kursi, dan ada yang jaga. Hanya lantai tiga yang lampunya kita matikan, agar mereka tidak bisa melihat keberadaan kita. Yang lainnya kita matikan agar gerakan mereka bisa terlihat. Ada yang jaga di atap gedung ini. Awasi pergerakan dari luar,” pintaku ketika memimpin rapat.
Di lantai satu Bebek Semarang mengkoordinir regu jaga. Ia dibantu Megi dan beberapa teman. Bebek membalut tangannya dengan lilitan handuk agar mampu menangkal sabetan samurai. Ia berada di pos terdepan berhadapan dengan preman yang akan menyerang. Lantai dua dijaga Buyung cs. Apapun yang bisa dijadikan senjata mereka ambil. Cara ini kami lakukan karena mereka melakukan cara-cara kekerasan. Tidak ada pilihan, kami yang mati atau mereka yang mati. Aparat kepolisian tidak bisa kami andalkan. Dari kesaksianku sendiri, mereka hanya mendiamkan kelompok pro-integrasi ini memanjat dan memasuki Kedubes untuk menerang kami.
Aku juga meminta Pius Yogya untuk membuat kronologis. Sebelumnya, tugas itu dijalankan Ima. Karena dia sedang histeris, diganti oleh Pius. Di gedung ini banyak terdapat pesawat telpon. Dan sudah dicek bisa digunakan. Melalui telpon Pius mengirimkan kronologis peristiwa yang terjadi hari ini.
Kawan-kawan memberi laporan kalau gedung empat lantai ini kosong. Sudah ditinggalkan para karyawan, pihak keamanan, bahkan duta besarnya. Mungkin mereka mengalami trauma karena mendapat serangan yang begitu membabi-buta. Suasana begitu mencekam, ditambah udara begitu dingin karena AC tetap menyala. Dari atap gedung ini aku bisa menyaksikan kalau pintu gerbang dijaga Brimob dan TNI. Beberapa mobil polisi di parkir di depan dengan tetap menyalakan lampunya yang khas. Suasananya seperti yang digambarkan dalam film-film dimana sebuah gedung dikuasai kelompok tertentu dan polisi mengepungnya.
Kelaparan melanda kawan-kawan. Kami hanya bisa minum, di setiap sudut terdapat tempat minum. Kami tinggal menginjak akan keluar air sendiri dan langsung diminum tanpa perlu gelas. Seharian ini hanya makan siang saja, itupun hanya dengan sayur dan tempe goreng.”Pelit betul Kedubes Belanda ini. Masak hanya makan begini saja. Masih mending kalau ditangkap polisi, diberi nasi bungkus Padang,” ucap Bebek Semarang dengan menggerutu.
Aku meminta Yanto dan beberapa teman untuk ke dapur. Yang kami dapat hanya roti beku dan ayam beku. Karena jumlahnya sedikit menjadi rebutan kawan-kawan. Dengan perut yang lapar dan badan mulai demam aku berusaha tidur. Tetapi kepala terlalu tegang dan otak ku maunya berpikir langkah apa saja yang harus dihadapi kedepannya. Akhirnya aku tidak bisa tidur dan mengecek group yang jaga malam ini.
Ditangkap Polisi
Hari kedua sama saja seperti malam kemarin. Tidak ada pihak staff Kedubes yang masuk kerja, padahal hari itu hari Jumat. Sesekali pihak keamanan Kedubes Belanda yang berpakain polisi datang melihat situasi kami. Mereka sampaikan kalau para karyawan memang diliburkan karena banyak yang mengalami trauma.
Kami benar-benar menguasai sepenuhnya gedung ini. Kami bisa dengan leluasa mendatangi setiap sudut ruangan. Kami juga dengan bebas menggunakan pesawat telpon yang hampir tersedia di setiap ruangan. Kawan kami yang di luar tidak percaya kalau kami menghubungi mereka. Kami juga dengan bebasnya menggunakan kamar mandi gedung ini. Yang tidak bisa kami lakukan adalah memasak karena tidak ada sedikitpun bahan makanan di dapur.
Kami juga melakukan mogok makan untuk mendesakan tuntutan agar kami tidak diserahkan kepada aparat polisi. Kami juga menuntut agar sebagian dari kami mendapat suaka politik ke Negara Portugal. Awalnya kami tidak meminta suaka politik. Karena perkembangan yang terjadi, sebagian pemuda Timor-Timur mendesak kepada kami bertiga untuk meminta suaka politik. Mereka kuatir ditangkap polisi dan mendapat represi.
Kami juga menuntut agar di temui utusan HAM PBB, yang datang ke Indonesia. Pada hari Kamis, Josse Ayala Lasso diterima oleh Komisi I DPR RI, Aisah Aimini. Bahkan sebelumnya bertemu Xanana Gusmao di LP Cipinang.
Tapi tuntutan kami tidak pernah terealisir. Pihak Kedubes Belanda justru mengundang Brimob masuk ke Gedung Kedubes Belanda. Kami terkejut ketika tahu bahwa lantai empat sudah dipenuhi Brimob dengan membawa senapan otomatis. Setelah aku cek lagi, ternyata lantai dua dan satu juga sudah dikuasai Brimob dan satuan kepolisian lainnya. Kami benar-benar sudah dikepung. Aku protes kepada atase politik Kedubes Belanda.
“Kami tidak bisa menghadapi tekanan pemerintahan Soeharto. Tapi kami janji mengawal Anda sampai ke kantor polisi. Mereka juga berjanji tidak akan menyiksa kalian,” ujar atase politik Kedubes Belanda.
Dengan menyanyikan lagu darah juang mengangkat tangan kiri ke atas kami digiring keluar gedung. Setiap jengkalnya, kanan kiri diapit polisi, sampai kami memasuki dua bus yang tersedia di halaman gedung ini. Dengan kawalan ketat kami segera dibawa keluar gedung. Jalan yang kami lalui benar-benar sudah dibebaskan dari kemacetan. Begitu lengang jalan yang kami lalui. Entah berapa ratus aparat polisi yang mereka kerahkan untuk menangkap kami.
Ternyata, kami dibawa ke Polres Jakarta Selatan, di dekat Blok M. Kami digiring untuk dibawa ke lantai tiga. Di setiap tangga yang kami lalui mereka menyiagakan pasukan, berjejer berdiri rapat tanpa terputus. Mereka melakukan pengamanan begitu ketat. Mereka berpikir kami penjahat berbahaya dan penghianat bangsa yang layak diperlakukan seperti itu.
Dan setelahnya, tidak hanya penyidik dari Polres Jaksel, tetapi dari berbagai kesatuan intel militer, berebut mengintrogasi kami. Sebuah malam yang panjang dan menegangkan buat aku, Wilson, Puto karena menyandang tugas sebagai koordinator aksi ini.