Jumat, 4 Juli 2025

Dicari, Jaksa Agung Yang Berani Bongkar Kasus HAM

JAKARTA- Saat ini, rakyat membutuhkan Jaksa Agung yang berani membongkar dan mengadili dan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM). Untuk pemberantasan kasus-kasus korupsi, telah efektif dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta untuk sensitif terhadap persoalan-persoalan pelanggaran HAM yang sudah lama terbengkalai di Kejaksaan Agung. Hal ini disampaikan oleh Ketua Setara Institute, Hendardi kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (3/11).

 

“Tiga dari 5 calon Jaksa Agung yang tengah dipertimbangkan Jokowi memang dikenal integritasnya dalam isu korupsi. Tapi kelimanya sama sekali tidak punya track record dalam promosi dan advokasi HAM. Padahal Jaksa Agung adalah harapan terakhir penegakan HAM,” ujarnya.

Besar kemungkinan menurut Hendardi, Presiden Jokowi akan gagal memenuhi janjinya untuk mengadili para jenderal yang diduga melanggar HAM pada masa lalu.

“Perlu diingat bahwa tantangan terbesar Jaksa Agung adalah keberaniannya menembus kebuntuan penegakan HAM yang sudah menumpuk di Kejaksaan Agung,” ujarnya.

Sedangkan untuk pemberantasan korupsi menurut Hendardi, publik sudah lebih terpikat dan percaya dengan KPK.

“Jadi, semestinya Jokowi mencari figur lain, yang punya nyali pada penegakan HAM. Perlu diingat pula, kelima calon dari Jokowi itu adalah pernah menjabat di masa sebelumnya dengan prestasi biasa saja,” katanya.

Sebelumnya, sejumlah nama disebut-sebut bakal menjadi Jaksa Agung antara lain Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Widyo Pramono, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisa Keuangan M. Yusuf, dan kader Partai Nasdem HM Prasetyo.        

Selain mereka, ada nama mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sekaligus dosen Universitas Hasanuddin, Hamid Awaluddin, mantan anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum Mas Achmad Santosa, dan Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto.

Tujuh Kasus

Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan negara masih memiliki “hutang” penyelesaian tujuh kasus hukum pelanggaran HAM berat dan beban tersebut ada pada presiden terpilih yang akan datang.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Siti Nurlaela, di Bandarlampung, beberapa waktu lalu.

Tujuh kasus pelanggaran HAM berat tersebut merupakan rekomendasi dari Tim Penyelesaian Pelanggaram HAM berat di Indonesia, yang dibentuk Komnas HAM, sejak Desember 2012 lalu.

Saat itu, ada 10 kasus pelanggaran HAM berat yang direkomendasikan Komnas HAM agar diselesaikan secara hukum oleh negara, tiga diantaranya sudah memasuki proses persidangan, yaitu kasus kekerasan di Abepura, Timor Timur, dan Tanjung Priok.

Sedangkan tujuh kasus lain saat ini sudah di Kejaksaan Agung, namun lembaga tinggi negara tersebut belum melakukan peningkatan status ketujuh kasus tersebut menjadi penyidikan, hingga saat ini.

Ketujuh kasus pelanggaran HAM berat tersebut adalah kekerasan di Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Talangsari, penghilangan orang secara paksa, penembakan misterius (petrus), pembantaian massal pasca G30s/PKI, dan kerusuhan Mei 1998.

Dia menjelaskan, ada dua cara yang bisa dilakukan presiden, yaitu penyelesaian yudisial, dan penyelesaian non-yudisial.

Penyelesaian yudisial dilakukan dengan cara membentuk pengadilan HAM untuk mengadili para tersangka pelaku. Sedangkan penyelesaian non-yudisial adalah presiden mengeluarkan langkah politik mengenai kasus tersebut, misalnya mengenai rekonsiliasi nasional.

“Pemerintah harus punya kemauan penyelesaian kasus ini, karena kalau tidak akan terus menjadi duri dalam daging yang akan meletup kapanpun,” katanya. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru