Oleh: Pdt. Martinus Ursia *
BONHOEFFER (4 Febuari 1906 – 9 April 1945) adalah teolog gereja Lutheran Jerman, yang hidup melayani dan berkarya di Jerman selama rezim Fasis Hilter berkuasa, Boenhoeffer menentang rezim totaliter Hilter dan akhirnya dihukum mati rezim lalim.
Bonhoeffer merupakan figur yang kontroversial. Ia memiliki pose yang paradoks dan sulit dipahami pada zamannya.
Meskipun ia tidak selalu mudah dipahami tetapi tidak diragukan lagi bahwa ia adalah seorang yang memiliki komitmen yang teguh dan ketetapan hati yang kuat. Bahwa bonhoeffoer senantiasa berusaha menjalankan hidupnya menurut kata-kata Yesus dari nazaret merupakan hal yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Faktanya komitmennya itu telah membawa dia kepada kematiannya.
Bonhoeffer lahir dari keluarga kelas menengah yang mapan. Tapi kemudian ia menerjunkan diri dalam ketidaknyamanan, ke dalam gerakan yang radikal dari suatu pemuridan yang memegang kata-kata Yesus dengan serius. Tindakan ini membawa dia beralih dari gedung-gedung yang terhormat di universitas Berlin kepada perlawanan aktif terhadap rezim Nazi.
Peranannya itu mendorong dia mengajar di Confessing Church di Jerman yang dianggap ilegal oleh pemerintah Nazi. Selanjutnya dia ikut serta dalam aktivitas-aktivitas spionase melawan pemerintah, dan karena aktivitas spionase tersebut ia dihukum gantung pada 9 April 1945.
Bonhoeffer memiliki keyakinan-keyakinan yang teguh. Ia tidak dapat memenuhi harapan orang lain karena ia telah mendengar suara Tuhannya. Karena itulah ia meninggalkan tradisi keluarganya dan belajar teologi pada akademi liberal di universitas Berlin, ia menganut teologi baru yang diajarkan oleh teolog besar Jerman, Karl Bart walaupun dia tidak selalu mengikuti pikirannya, terutama dalam teologi praksis.
Pada saat itu kebangkitan nasionalisme Jerman yang sangat kuat, dengan pemahaman yang sempit orang-orang Jerman yang merasa superioritas rasial ras Arya yang hidup dalam ideologi Nazi adalah kehendak Allah.
Bonhoeffer aktif menentang pemahaman superioritas rasial tersebut, dan dia mengajarkan sebuah perspektif Oikumene bahwa bangsa manusia adalah bersaudara dalam kesetaraan kemanusiaan.
Ketika gereja Lutheran mulai tunduk kepada retorika Hitler maka Bonhoeffer pada tahun 1933 menyerang Hitler demikian juga gereja dan menolak prinsip-prinsip kepemimpinannya.
Ketika itu gereja menekankan struktur organisasi maka Bonhoeffer menghidupi realita berkomunitas bersama rakyat. Ketika gereja memimpikan hidup dalam keterpisahan dengan urusan dunia maka Bonhoeffer sedang terlibat aktif dengan masalah-masalah dunia.
Kita dapat memahami fase hidup Dietrich Bonhoeffer dalam tiga fase yang berhubungan satu dengan lainnya.
Fase pertama, sebagai mahasiswa teologi si Universitas Berlin. Masa ini merupakan masa akademik dari kehidupan Bonhoeffer dimana ia berusaha memadukan nilai liberal yang diwarisnya dengan ketertarikannya yang baru terhadap Alkitab. Di sini baik disiplin ilmu teologi Karl Bart, Luther, bercampur baur dgn ilmu sosial Karl Marx, Weber, Nietzsche. Dalam masa ini Bonhieffer menulis buku Sanctorum Communio, Act and Being dan Christology.
Fase kedua, kita melihat Bonhoeffer memimpin perjuangan dengan menegakan ajaran pengakuan gereja (confessing church) dalam menentang tindakan-tindakan Hitler untuk mengontrol gereja. Ia mendirikan seminari di Finkenwalde yang dianggap ilegal oleh pemerintah Hitler.
Bonhoeffer meneguhkan pandangan gereja tentang gerakan oikumene, tentang penggembalaan jemaat dan isu-isu politik. Bonhoeffer menolong pemuridan dan menciptakan generasi baru pendeta-pendeta yang berusia muda dan berpikiran radikal dalam kata dan laku. Pada fase ini ia menghasilkan buku, The Cost of Discipleship dan Life Together . Mungkin pembaca masih ingat ungkapan terkenal Bonhoeffer: anugerah yang murahan adalah pengampunan tanpa pertobatan, perjamuan kudus tanpa pengakuan percaya. Anugerah murahan adalah anugerah tanpa pemuridan, anugerah tanpa salib dan tanpa Kristus yang hidup menjadi manusia.
Fase ketiga, pada fase terakhir ini Bonhoeffer beralih dari pengakuan gereja yang gagal dalam perjuangannya menentang Hitler, dia masuk serta terlibat aktif dalam gerakan perlawanan terhadap Hilter di Jerman. Di sini ia bergumul dengan pertanyaan tentang tindakan Allah di luar gereja dan di masa ini yang menulis buku Ethics. Setelah Bonhoeffer ditangkap pemerintah Nazi pada tahun 1943, yang berisikan surat-menyurat antara Bonhoeffer dengan kawannya Eberhard Bethge.
Buku ini diterbitkan setelah Bonhoeffer meninggal, dengan judul Letters and Papers from Prison.
Jadi Bonhoeffer bergerak dari mahasiswa menjadi gembala dan kemudian menjadi aktivis politik. Meskipun demikian gerakannya memiliki tema yang sama. Dalam pengertian ini, ketiga fase dari kehidupan Bonhoeffer saling berkaitan, tema tersebut adalah pemuridan yang mahal harganya, di mana Yesus memanggil murid-muridnya ke dalam kehidupan yang meninggalkan ketenangan, tempat suci, untuk masuk ke dalam dunia yang penuh gejolak dan masalah.
Bonhoeffer percaya bahwa dunia yang penuh dengan masalah ini dapat ditransformasi menjadi dunia yang percaya pada Tuhan Yesus Kristus. Tetapi ia juga meyakini bahwa hal itu hanya dapat terjadi bila gereja sendiri telah ditransformasi menjadi seperti Kristus. Maka iman dan komitmen tindakan yang menuntut harga mahal, demikian juga kepedulian akan dunia menjadi tema yang hadir sepanjang kehidupan Bonhoeffer.
Pergumulan-pergumulannya tentang iman, doa-doa, teologi, aktivitas politik kemanusiaan, rasa tanggung jawab, visinya tentang gereja dan kerelaannya untuk menjalani ketaatan yang sunyi tidak dapat tidak akan memperkaya kita.
Maka sejak 1 Desember 2023, ketika umat kristen memasuki masa adven natal 2023 dan rakyat Indonesia memasuki masa kampanye PEMILU 2024, saya menyajikan renungan singkat dari Dietrich Bonhoeffer untuk pembaca sekalian.
Semoga renungan ini menjernihkan hati pikiran jelang natal dan menjagai jiwa yang dikepung informasi kampanye 75 hari. Selamat menikmati perenungan ini, kawan musafir seperjalanan dalam kesementaraan !
*Penulis Pdt Martinus Ursia,
Jemaat GBI Cipaganti Bandung.