PONTIANAK – Pengamat hukum dan politik di Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Tobias Ranggie, menilai, mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kas Kostrad) Mayjen (Purn) Kivlan Zen (70 tahun), menjadi korban kepongohan, keangkuhan atau kesombongan sendiri.
Pertengahan tahun 2016, kata Tobias Ranggie, dalam sebuah diskusi di Bandung, Selasa, 31 Juni 2016, Kivlan Zen dengan sikap sangat demonstratif dan provokatiif menyatakan siap menumpas siapa saja yang akan berkhianat terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terutama bahaya laten komunis.
“Ironisnya, Jumat dinihari, 2 Desember 2016, Kivlan Zen, berstatus sebagai tersangka makar, digelandang Polisi Republik Indonesia (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), atas sangkaan makar dan atau permufakatan makar. Ini namanya senjata makan tuan. Pelaku makar otomatis pengkhianat bangsa,” kata Tobias Ranggie di Pontianak, Minggu (4/12).
Sangkaan makar terhadap Kivlan Zen, Brigjen (Purn) Adityawarman Thaha (mantan Staf Ahli Panglima Tentara Nasional Indonesia), Ratna Sarumpaet, Eko, Alvian, Firza, Rachmawati Soekarnoputri, dijaring melanggar Pasal 107 jo Pasal 110 jo Pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan ancaman hukuman minimal 10 tahun dan maksimal hukuman mati.
Tobias Ranggie mengatakan, makar bukan berarti sudah mememang senjata. Memimpin dan atau menghadiri rapat, dengan materi menghasut dan merencanakan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah, itu artinya makar.
Dalam banyak kasus, aktor intelektual makar memang tidak terjun ke lapangan. Mereka hanya menyusun strategis, di antaranya dengan menyusun rencana pengepungan dan menduduki Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mendesak digelar sidang paripurna untuk memberhentikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) – Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).
Dikatakan Tobias, dalam sistem politik sekarang, amat sangat mustahil bisa melengserkan Presiden dan Wakil Presiden, karena dipilih langsung masyarakat. Kalau mau melengserkan Jokowi – JK, dalam Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden tahun 2019.
“Presiden K.H. Abdurrahman Wahid dilengserkan melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 2001, karena sebelumnya memang dipilih MPR. Sekarang dengan sistem Pemilu Presiden terbaru, Presiden dan Wakil Presiden dipilih rakyat dalam satu paket untuk masa jabatan lima tahun. Kelompok Kivlan Zen mesti belajar politik hukum dulu,” kata Tobias.
Diungkapkan Tobias, mencermati perkembangan politik terakhir, pasca demonstrasi puluhan ribu umat Islam di Jakarta, Jumat, 4 November 2016 dan Jumat, 2 Desember 2016, mesti dijadikan renungan sangat berharga pernyataan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo dalam seminar di Bandung, Rabu, 23 Nopember 2016.
Gatot menuding Amerika Serikat dan Australia berada di balik upaya memprovokasi masyarakat untuk meluapkan kemarahan terhadap Presiden Jokowi – Wakil Presiden JK, karena dituding melindungi Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, seorang Kristen Protestan yang dituding menista Agama Islam.
“Jangan terjebak hasutan asing yang ingin menghancurkan NKRI, sebagaimana terjadi setingan Amerika Serikat tahun 1965 di Jakarta melalui Gerakan 30 September (G30S). Potensi terulang kejadian tahun 1965 sudah mulai ada di depan mata, apabila mengacu kepada peringatan keras Jenderal Gatot Nurmantyo,” kata Tobias.
Di mata Tobias, persoalan suku, agama, ras dan antar golongan yang meluap ke permukaan, tidak sesederhana yang diperkirakan banyak orang. Tudingan penistaan agama terhadap Ahok, hanya dijadikan pintu masuk membuat stabilitas politik nasional terguncang, sehingga konsentrasi kerja pemerintah tidak fokus.
Dituturkan Tobias, kondisi yang terjadi sebenarnya, adalah persiangan ekonomi Amerika Serikat dan sekutunya, terutama Australia dengan Republik Rakyat Cina (RRC). Amerika Serikat yang sekarang dalam kondisi perekonomian nasionalnya goyah, terancam bangkrut, cemburu dengan RRC yang terus meningkatkan kuantitas investasinya di Indonesia.
“Amerika Serikat penganut ideologis liberalis dan RRC penganut ideologi sosialis. Benturan kepentingan ekonomi Amerika Serikat dan RRC di Indonesia, dibungkus dengan pemahaman ideologi. Kalau tidak segera disadari, masyarakat hanya akan jadi korban,” kata Tobias.
Tobias memprediksi, apabila memang kenyataan terburuk terjadi, terjadi perang saudara, RRC sudah hampir dipastikan mendukung Jokowi – JK, dengan pertimbangan pragmatis, demi melindungi investasinya yang tumbuh marak di Indonesia.
Lagi pula Indonesia penganut ideologi sosialis yang sudah dimodifikasi sesuai alam dan budaya lokal, yakni Pancasila.
Amerika Serikat dan sekutunya, lanjut Tobias, akan memperalat kaum konservatif, lantaran tidak berani dan tidak mampu turun langsung, karena negara ini sudah dalam kondisi terancam bangkrut pasca Perang Irak, 2003 – 2011.
Tobias memprediksi, Amerika Serikat akan lempar batu sembunyi tangan. Amerika Serikat takut dengan gertakan RRC. Alasan takut, investasi terbesar RRC di seluruh dunia, ada di Amerika Serikat, dan investasi terbesar kedua, ada di Indonesia.
“Apapun alasannya semakin situasi politik dibuat gaduh kalangan konservatif, hanya akan membuat RRC sebagai negara paling kaya di dunia, akan lebih kuat dan perkasa menanamkan pengaruh dan hegemoninya di Indonesia. Karena itu kita harus ekstra hati-hati,” kata Tobias. (Aju)