Maestro Djoko Pekik dikenang kawan dekatnya maestro Misbach Thamrin, sesama kolektif dalam Sanggar Bumi Tarung (SBT).
Sanggar tersebut merupakan organ kreativitas dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang berdiri 1960 sd 1965. Turut diberangus oleh rezim Orba. Dalam waktu singkat para perupa SBT mengkreasi banyak karya dahsyat inspiratif perkembangan maju masyarakat Indonesia. (Toga Tambunan)
Oleh: Misbach Thamrin *
ADALAH pada layak dan lazimnya. Jika wafatnya tokoh publik-figur, seperti misalkan seorang maestro seniman perupa terkenal Djoko Pekik. Merupakan suatu berita kejutan yang viral.
Dikerumuni oleh banyak komentar kabar duka dan penulisan obituari memorial rasa kehilangan yang rawan selaku aset bangsa.

Riwayat hidup sang almarhum kembali banyak ditulis dan diungkapkan oleh para pengamat senirupa sebagai rekam jejak ketokohannya.
Padahal mungkin karena keterkenalan dan popularitas namanya lewat sosialisasi di ruang publik. Kita menjadi tak asing lagi atas siapa dan bagaimana sebenarnya sosok figur almarhum ini.
Saya sendiri selaku kawan dekat sesanggar Bumi Tarung (SBT 1961). Secara lebih khusus sudah cukup banyak menulis di FB ini juga tentang jati diri almarhum. Dalam membutiri lika liku perjalanan karier dan perangai kesenimanannya yang cukup menarik alias unik.
Nah, penulisan saya kali ini, setelah “kepergian” Djoko Pekik. Menjadikan anggota SBT yang masih hidup tersisa cuma tinggal 4 orang. Yaitu Amrus Natalsya (90 th), Gumelar (80 th), Gultom (83 th) dan saya sendiri (82 th).
Tentu dengan kehilangan seorang tokoh unggulan SBT yang sebelumnya banyak saya tulis itu. Dengan berbagai daya tariknya yang tak kalah menonjol ketimbang Amrus Natalsya, ketua dan pendiri utama SBT yang juga dianggap sebagai gurunya.
Bayangkan! Melalui penulisan kenangan obituari yang penuh haru dan duka oleh rasa kehilangan yang dalam tentang almarhum. Sebaiknya harus mulai mana saja yang utama dan penting dari apa yang pernah saya tuliskan untuk saya ulang kembali !?
Di sekitar petengahan tahun 1996-an, saya berjumpa kembali dengan kawan sesanggar SBT Djoko Pekik di Yogya. Setelah kami berpisah lama oleh renggutan peristiwa ’65. Di mana kami masing-2 menjalani hidup terpasung dalam kerangkeng rezim Orba selaku tapol selama puluhan tahun.
Seorang pelukis yang dulunya dianggap level rendahan tingkat pemula di SBT. Sering dilecehkan dengan olokan vulgar oleh para kawan-2nya sesanggar. Karena dianggap dungu dan bebal dalam tehnik melukis secara akademis.
“Lihatlah karya lukisan Pekik, bagaimana kaum tani Purwodadi melukis”, kata Isa Hasanda sambil terbahak tertawa, pada saat itu. Salah seorang kawan sesanggar yang sekitar 2 tahun y.l telah “pergi” mendahului Pekik dalam usia 80 tahun.
kemudian, perupa yang sekitar 30 tahun yang silam melukiskan “Ibuku sedang bunting” yang ditertawakan oleh kawannya sesanggar itu. Kini mendapatkan apresiasi opini masjarakat yang jauh berubah dan beralih180 derajat.
Namanya melejit menjulang tinggi bagai meteor. Bahkan kini tampil selaku seniman perupa OKB yang sukses pasar. Hingga terkenal buat pertama kali meraih predikat pelukis 1 M.
Pergeseran waktu yang kami lalui, telah membuat saya terkesima dan terperangah atas kenyataan yang dihadapi. Suatu penampilan layaknya sebuah metamorfose yang nyaris ajaib.
Ketika seorang kawan yang pernah dikatakan Isa Hasanda (alm) sebagai pelukis kaum tani itu. Berada di samping saya memegang stir mobil Piguet barunya yang berwarna merah menyala dan mengkilap. Berpacu membawa saya pesiar rolling road di kota Yogyakarta yang pisah cukup lama saya tinggalkan.
Ini bukan lagi sebuah panggung sandiwara atau drama komedi yang karikatural, atas nasib seseorang yang melonjak berubah. Layaknya manusia awam biasa yang mendadak menjadi aktor penting atau bintang.
Ketika Pekik dengan berani membalas balik lecehan kawan-2 nya sesanggar yang pernah dilakukan mereka di masa lalu. “Kalian sudah jauh ketinggalan, tinggal seperti andong yang lamban berlari. Sedangkan saya adalah kuda balap yang berpacu di depan”, kata Pekik dengan sikap tangguh untuk tak dikatakan arogan.
Tatkala Pekik bercerita di depan stir mobilnya, bahwa ia sedang ketiban “bejo”. Berkat seorang sejarawan dan peneliti seni budaya dari Canada Astri Wright, menulis desertasi buat studi doktoralnya. Mengangkat dan membela Pekik pada kejadian heboh yang krusial diacara KIAS 1989.
Di balik naluri kesederhanaan dan kebersahajaannya yang original. Pekik yang lugu oleh kultur mendasar dari kaum kawula “saminisme” minoritasnya itu.
Ternyata mengalir begitu saja secara alami mitologi Jawa yang melegenda lewat karyanya. Untuk menjadi pembelajaran bagi karma nasib penguasa dari asal etnis dan sukunya sendiri.
Bahwa perangai satwa celeng yang jahat dari sifat serakah dan keangkaramurkaannya. Bila merasuk kedalam sahwat kekuasaan manusia. Tinggal saatnya saja lagi dia akan berakhir menerima nasib buruk, selaku karma atau boomerang atas perbuatannya sendiri.
Ini suatu prestasi luar biasa mencengangkan dari seorang seniman perupa “rakyat jelata non intelektual” SBT. Berhasil menjalin metafor simbolisme dengan kritisi sarkastik tentang tumbangnya suatu rezim yang zholim. Yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Jadi, kita lihat sebagai contoh karakteristik. Dari karya Pekik “Berburu Celeng” ini. Bisa dianggap mewakili segi kekhususan dan keistimewaan ciri khas estetika Bumi Tarung.
Justeru oleh peran estetik dan artistik seni yang sederhana dan non akademis itu.Telah melambungkan nama Pekik di khazanah senirupa Indonesia.
Sebagai seniman perupa “kiri” yang tadinya terkapar dan tertindas di bawah rezim penguasa otoriter Orde Baru. Seiring dengan perkembangan gejolak situasi politik yang sedang berlaku ketika itu.
Melalui tehnik sapuan “brush-stroke” dari warna karya lukisannya yang berani dan dinamis, bergerak bebas secara instingtif. Menarikan kwas besarnya di atas kanvas, layaknya menjelajahi kanal dan lorong-2 hunian dari kehidupan rakyat jelata yang tertindas.
Sehingga selaku tantangan daya tahan dirinya yang energik. Penguasaan menghadapi latar format kanvas yang besar-2 baginya telah menjadi kebiasaan yang rutin. Sebagai muatan obyek lukisannya yang kolosal bergemuruh dalam merekam berbagai pesta demokrasi kerakyatan yang termarjinalkan.
Namun, semestinya Karni Ilyas dari ILC TV One. Dalam membahas permasalahan penting mengenai penyelesaian peristiwa ’65. Yang disetiap tahun di akhir bulan September selalu diacarakan itu.
Semestinya tak harus mengundang sekapasitas seorang figur Djoko Pekik, selaku mewakili seniman mantan Lekra yang menjadi korban.
Sebab karakter seniman perupa sesederhana, sejujur dan selugu Djoko Pekik yang tak begitu suka baca dan tanpa wawasan politik praktis yang intelektual. Secara awam dan manusiawi akan mudah meluncurkan ucapan “Sing wis yo wis” terhadap pertikaian peristiwa ’65 di masa lalu.
Tentu saja dalam kesempatan ini. Terhadap kawan-2 almarhum senasib, sependeritaan dan seperjuangan yang merasa kecewa atas ucapannya tersebut, dapat memaafkannya dengan ikhlas.
Karena atas perjuangan almarhum yang anggaplah sebagai salah satu bagian dari apa yang telah terangkum dalam uraian tersebut di atas.
Apalah artinya sebetik selip lidah kekhilafan yang tercecer. Diantara segunung nilai prestasi juang yang tercurah dan terciptakan lewat karya-2 besar Djoko Pekik. Dalam merujuk perubahan dan pembaruan sistem masyarakat Demi ditegakannya kebenaran dan keadilan.
Dengan demikian berarti semua itu akan membantu memberikan jalan yang lapang, tenang dan damai bagi “kepergian” dan “kepulangan” almarhum buat selamanya…..
Banjarmasin, 13 Agustus 2023.
*Penulis Misbach Thamrin, seniman lukis Sanggar Bumi Tarung