Oleh: Nezar Patria**
SAYA tak mengira dia begitu cepat berhenti melucu. Selama lebih tiga dekade bergaul akrab dengannya, saya merasa dia pergi begitu lekas. Setelah Selasa pekan lalu yang meremukkan hati itu, saya sadar, saya tak dapat lagi melihatnya di manapun: Mendengar dia tertawa, melontar makian khas dalam bahasa Jawa, atau celetukan lucu yang otentik. Saya telah kehilangan seorang kawan yang tulus dan hangat.
Raharja Waluyo Jati bahkan lebih dari sekadar kawan. Dia adalah saudara seperjuangan, karib dalam menjalani nasib buruk dan baik, sebuah tiang tempat pegangan ketika aneka badai dalam kehidupan datang. Kami berbagi sejarah kehidupan yang sama, melewati turbulensi politik yang berat di masa kediktatoran orde baru.
Bersama belajar ilmu filsafat di UGM, dia senior satu angkatan di atas saya. Perjumpaan pertama dengannya agak menjengkelkan. Di saat penerimaan mahasiswa baru, dia sempat menggojlok saya dengan hal-hal konyol. Berambut gondrong sebahu dengan kemeja yang dibiarkan terbuka di bagian dada, bercelana jins yang saya yakin tak pernah dicuci berpekan-pekan, dia memang menyimpan pesona. Setidaknya dia berhasil tampil menjadi aktivis teater mahasiswa yang urakan dan kharismatik.
Jati piawai di atas pentas, terutama membaca puisi. Penampilannya meniru penyair Rendra. Saya ingat puisi yang dibacakannya dan menyihir para mahasiswa baru adalah Nyanyian Angsa serta puisi pamflet Sajak Seonggok Jagung. Keduanya karya Rendra. Dia juga aktif di pers mahasiswa, dan di sini lah saya bertemu dengannya.
Menjadi manusia nokturnal pada masa mahasiswa adalah kebiasaan buruk yang saya lakoni bersama Jati. Kami mengerjakan naskah penerbitan mahasiswa hingga larut malam. Pada saat menjelang naskah terbit, sebuah tenggat yang dinamis karena sulit sekali ditepati, kami sering berdua saja memeriksa naskah sampai malam turun dengan selimut embun.
Jati selalu punya cara untuk menghibur. Kadang dia mengeluarkan pernyataan-pernyataan jenaka. Atau kalau isengnya sedang kumat dia mengendarai motor bututnya, “Astuti” alias Astrea Tujuh Tiga, semacam satir dari merek motor buatan Jepang tahun lawas. Motor itu harus didorong dulu untuk menyala dan dapat dikendarai. Lalu mulailah hal gila itu: Dia mengikat ujung sarung di lehernya, dan membiarkan rambut panjangnya tergerai bersama kibaran sarung di punggungnya, dan lalu tancap gas dan berteriak: “Aku ingin jadi superman”, sambil mengelilingi lapangan di kampus. Dia lalu terkekeh dan mengatakan itu semacam latihan kecil keberanian untuk melakoni hal-hal di luar kebiasaan.
Kehidupan mahasiswa kami memang tidak biasa. Dari pers mahasiswa ke gerakan mahasiswa, ikut mendirikan Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi, melakukan advokasi sejumlah kasus petani dan buruh di pulau Jawa, seterusnya Jati lebih banyak mengurusi kesenian dan kebudayaan. Bersama penyair Wiji Thukul dia mendirikan Jakker, wadah kebudayaan yang mengurusi antara lain kesenian rakyat marjinal.
Lalu ketika musim represi rezim orde baru setelah peristiwa 27 Juli 1996, Jati terus bergerak menjalin kembali jejaring yang berantakan dihantam mesin kekerasan penguasa. Di tengah represi itu, bertemu Jati adalah sebuah hiburan. Dia selalu punya cara jenaka untuk meredakan ketegangan. “Matamu tampak lelah,” katanya suatu kali kepada seorang kawan. Lalu dia melanjutkan, “Sini matamu tak di-idhak-idhak”. “Idhak-idhak” itu artinya diinjak-injak seperti pijat gaya shiatsu.
Pada saat musim perburuan dan penculikan aktivis di awal 1998, Jati dan rekannya Faisol Riza, masuk dalam daftar. Mereka berdua diambil saat berusaha lari dan sembunyi di RSCM Jakarta. Riza mengingat betul bagaimana dia dan Jati disekap di dalam sel baja yang kukuh yang lokasinya entah, dan cukup letih dengan berbagai siksaan. Dia dan Riza sempat ditidurkan di balok es. Riza sempat bertanya ketika Jati kembali ke sel setelah menjalani sesi interogasi. Mereka disekap di sel yang bersebelahan. “Kamu dari mana”, tanya Riza. Jati menjawab, “Aku baru saja dari Kutub Utara”. Itu artinya dia baru saja tidur di balok es. Dia bahkan masih bisa jenaka di tengah situasi sulit.
Setelah reformasi, Jati aktif di berbagai kegiatan sosial dan sempat memimpin Radio Voice of Human Rights. Setelah itu dia bergabung dengan PDIP, dan turut mendukung kampanye presiden Jokowi lewat Seknas Jokowi pada 2014. Dinamika politik membawa dia ke berbagai aktivisme lain, dan terakhir dia ikut membantu Anies Baswedan sebagai gubernur DKI dan seterusnya bekerja bersama Anies.
Dia tak pernah membatasi diri dengan pilihannya itu, namun tetap menjalin silaturahmi dengan semua kawan-kawan mantan aktivis dulu yang kini telah punya pilihan politik masing-masing. Jati sangat bisa menempatkan diri, dan kawan-kawan menerimanya sebagai halnya Jati yang jenaka dan selalu hangat dalam soal perkawanan. Dia masih ringan tangan membantu siapa saja meskipun berbeda posisi politik dengannya. Jati adalah sejatinya seorang organiser kemanusiaan, politik elektoral tampak sempit bagi hatinya yang besar.
Hari ini adalah jelang sepekan kepergian Jati. Saya berdoa dia mendapat terbaik di keabadian. Sewaktu mengantarkannya ke pemakaman di Yogyakarta, kota tempat dia menempa dirinya semasa muda, saya berbisik di pusaranya: “Kowe pancen ra lucu sak iki, ta-idhak-idhak matamu”. Saya memendamnya selama sepekan, dan tak mampu menuliskan satu kata pun pada saat kepergiannya hari itu. Setiap malam saya merapal doa, dan saya rasa arwahnya belum pergi begitu jauh. Al Fatihah.
*Artikel ini diambil dari akun facebook Nezar Patria
**Penulis, Nezar Patria, Wakil Menteri kominfo dan kawan seperjuangan Raharjo Waluyo Jati,