Minggu, 20 April 2025

Dokter Dukung MUI Haramkan BPJS

JAKARTA- Kalangan dokter mulai menyatakan dukungannya terhadap fatwa haram yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sebagian besar dokter memandang BPJS mengakui BPJS justru merugikan pasien karena ada unsur pemaksaan dan penipuan. Demikian dokter spesialis Jantung, dr. Erta Priadi Wirawijaya SpJP dari Dokter Indonesia Bersatu (DIB)

“Saya setuju dengan keputusan para ulama ini. Pada 2019 masyarakat, perusahaan, bahkan seluruh fasilitas kesehatan harus sudah ikut. Padahal belum tentu perlu dan diuntungkan dengan ikut BPJS. Banyak perusahaan sudah punya jaminan kesehatan sendiri yang dinilai lebih baik, tapi kini terpaksa mengikutkan karyawannya ke BPJS kesehatan. Banyak karyawan perusahaan yang tadinya punya sistem kesehatan sendiri yang lebih nyaman kini keberatan karena harus ikut BPJS,” demikian ujarnya kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (30/7).

Dokter jantung yang bekerja di Bandung Jawa Barat ini juga memastikanbahwa BPJS juga mengandung unsur penipuan. Karena ketika seseorang menjadi peserta BPJS dijanjikan semua pelayanan kesehatan akan ditanggung oleh BPJS.

“Anda ketika gabung BPJS selalu dibilang semua ditanggung kan? Sebagai dokter yang melayani dalam sistem ini bisa saya bilang tidak demikian. Rumah sakit memang harus melayani semua jenis penyakit tanpa memungut biaya lagi. Namun kalau biaya pemeriksaan, perawatan, obatnya jauh lebih besar dari tarif yang ditentukan BPJS, maka pasien harus membayar sendiri lagi,” jelasnya.

Menurutnya, BPJS menetapkan tarif pelayanan kesehatan yang akan ditanggung sangat rendah dari yang dibutuhkan pasien, sehingga otomatis rumah sakit harus menyesuaikan.

“Misal harusnya diperiksa A, B, C, tapi gak jadi. Harusnya rawat ruang intensif jadi rawat ruang biasa, harusnya dikerjakan tindakan A, gak  jadi dikerjakan. Hal-hal ini tidak diutarakan BPJS ke anda sebagai peserta. Anda hanya tahunya pemeriksaan harus dicicil tidak bisa sekaligus, ruangan tidak tersedia, atau mendadak dirujuk ke rumah sakit lain yang lebih besar. Semua ini pastinya tidak tertulis di perjanjian kerjasamanya, seperti beli kucing dalam karung ya. Ini juga yang dipermasalahkan MUI dalam fatwanya. Akad-nya tidak jelas,” ujarnya.

Dibidangnya ia menjelaskan kalau pasien misal ada robekan aorta, terus butuh tindakan pemasangan stent endovaskular dengan biaya 150 juta sementara yang ditanggung BPJS hanya 40 jutaan maka rumah sakit lah yang harus menanggung.

“BPJS nggak mau tahu, ujungnya bahkan di rumah sakit nasional seperti harapan kita saja, tindakan ini kalau mau dikerjakan harus nambah,” ujarnya.

Sama halnya juga menurutnya dengan pemasangan katup buatan, pemasangan Internal Cardiac Defibrillator, atau yang baru-baru ini transplantasi hati kasus atresia bilier. Semua penyakit, semua tindakan ditanggung, tapi dengan besaran yang ditentukan sepihak oleh BPJS. Rumah sakit menurutnya secara teoritis harus menerima dan mengerjakan dengan tarif segitu. Tapi mustahil bisa mengerjakan transplantasi hati bernilai milyaran saat yang ditanggung BPJS hanya ratusan juta.

Serangan Jantung

Kejadian yang paling sering menurutnya adalah kena serangan jantung, butuh obat fibrinolitik yang harganya Rp 5 juta, tapi BPJS hanya menanggung Rp 900 ribu. Sementara total paket perawatan hanya 4,6 juta. Mustahil diberikan obatnya.

“Jadinya gimana caranya? Pasien nambah sendiri, rumah sakit berisiko bermasalah dengan BPJS atau obat sengaja ditiadakan, pasien nyari sendiri diluar rumah sakit. Padahal itu obat darurat,” jelasnya.

Ia juga membenarkan bahwa ada riba yang dikumpulkan dari rakyat dan negara dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang di jalankan oleh BPJS

“Anda ikutan jadi peserta, kemudian lupa atau telat bayar, eh.. kena bunga 2% per bulan. Belum lagi jika kita bicara dimana BPJS menginvestasikan dana yang dikelolanya,” ujarnya.

Menurutnya semua umat muslim pasti mengetahui dasar keputusan MUI menetapkan fatwa haram pada praktek yang dijalankan dalam sistim SJSN oleh BPJS itu.

“Sebagai muslim kita pasti tahu gharar, maisir dan riba itu halal atau haram? Jadi sebagai muslim kita bisa simpulkan sendiri,” ujarnya.

Sebagai dokter ia berharap pemerintah segera membenahi sistim jaminan kesehatan sehingga para petugas kesehatan bisa lebih optimal dalam kondisi yang lebih baik dan menunjang dibandingkan saat ini.

“Sudah lama loh para dokter Indonesia menyuarakan perubahan terkait sistem JKN ini tapi diacuhkan. Insya Allah kalau mau dirubah pasti bisa,” tegasnya. (Web Warouw)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru