Sabtu, 19 April 2025

DPD Soroti Kelangkaan Pupuk Bersubsidi

JAKARTA- Tim Kerja (Timja) Advokasi Pupuk Bersubsidi Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) mendesak Pemerintah untuk mengalihkan anggaran untuk memproduksi pupuk bersubsidi dan mengawasi distribusi pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian. Pupuk merupakan salah satu sarana produksi pertanian yang berperan penting mendukung program ketahanan pangan nasional, sehingga ketersediaannya adalah mutlak.

 

Sampai saat ini, Pemerintah masih memberikan subsidi pupuk kepada petani agar harganya rendah ketimbang harga pupuk untuk sektor perkebunan dan industri. Penyalurannya untuk kegiatan usaha budidaya tanaman yang dilakukan petani, pekebun, dan peternak, bukan usaha yang dilakukan perusahaan perkebunan, perusahaan tanaman pangan, perusahaan holtikultura, atau perusahaan peternakan.

Timja Advokasi Pupuk Bersubsidi Komite II DPD RI mendesak Pemerintah untuk mengalihkan anggaran untuk memproduksi pupuk bersubsidi ke subsidi harga komoditas pertanian. Subsidi harga ini lebih menjamin pengalokasiannya benar-benar sampai ke petani.

“Petani lebih suka subsidi harga ketimbang subsidi pupuk. Selama ini, subsidi pupuk justru menyebabkan kelangkaan pupuk di pasaran,” Ketua Timja Advokasi Pupuk Bersubsidi Komite II DPD RI Muhammad Syukur Algoodry (senator asal Jambi) kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (12/6).

Dia menyinggung temuan Timja di lapangan setelah bertemu kelompok tani di Aceh dan Bali, serta kunjungan kerja (kunker) ke PT Petrokimia Gresik tanggal 11-13 Mei 2015 dan PT Pupuk Iskandar Muda tanggal 27-29 Mei 2015.

Jika tidak mengalihkannya ke subsidi harga komoditas pertanian, Pemerintah bisa mengalihkannya untuk anggaran pembangunan infrastruktur, terutama di wilayah pedalaman, yang mendukung kegiatan produksi dan distribusi hasil pertanian. Pembangunan infrastruktur seperti jalan/jembatan dan irigasi akan membuka akses petani ke pasar yang sulit.

“Petani banyak menderita karena dikuasai tengkulak. Itu dampak akses pasar yang sulit. Pasar dimonopoli oleh tengkulak yang terus menerus terjadi. Akses ke pasar yang terbuka akan terasa manfaatnya. Petani pun makin mandiri,” ujarnya.

Kegiatan lain adalah anggaran yang mendukung program pendidikan dan pelatihan di bidang pertanian. Pengetahuan dan keterampilan sumberdaya manusia yang rendah merupakan kendala pembangunan pertanian. Karena tingkat pengetahuan dan keterampilan yang rendah, petani memerlukan pendidikan dan pelatihan. “Pengetahuan dan keterampilan yang praktis, yang langsung berhubungan dengan aktivitas usaha petani,”katanya.

Distribusi Pupuk Bersubsidi

Timja Advokasi Pupuk Bersubsidi Komite II DPD RI merekomendasikan agar Pemerintah melakukan audit menyeluruh terhadap distribusi pupuk bersubsidi. Timja menengarai kebocoran distribusi terjadi akibat permainan antara distributor dan pihak tertentu. Dugaan menguat karena distributor ikut menentukan jumlah pupuk bersubsidi dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Padahal, kebutuhan jumlah pupuk bersubsidi dalam RDKK tersebut merupakan acuan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) yang mengatur kebutuhan dan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian.

Misalnya, Permentan Nomor 130/Permentan/SR.130/11/2014 mengatur kebutuhan dan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian tahun anggaran 2015. Permentan mengalokasikan subsidi pupuk dengan volume produksi pupuk bersubsidi 9,550 juta ton. Sementara, kebutuhan dalam rencana definitif kebutuhan kelompok sebagai acuan permentan justru menetapkan volumenya 13,5 juta ton.

“Hasil advokasi Timja, kami memperoleh data, memang terjadi kesenjangan volume antara kebutuhan pupuk dengan alokasi anggaran subsidi pupuk. Sebagai acuan dalam menentukan volume produksi pupuk bersubsidi, RDKK tidak valid,” ujarnya.

Jadi, kendati setiap tahun Pemerintah menaikkan volume produksi pupuk bersubsidi, setiap tahun pula terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi.

“Petani di desa-desa tidak mengerti apa itu RDKK. Petani di desa-desa juga banyak yang tidak anggota kelompok tani. Petani di desa-desa tidak tahu namanya masuk di RDKK atau tidak, dan tidak tahu harus beli di distributor/agen mana. Mereka mengeluh karena ketika membeli pupuk tidak dilayani atau ditolak distributor/agen dengan alasan namanya tidak tercantum sebagai petani yang berhak membeli pupuk bersubsidi. Petani juga mengeluh karena setiap musim tanam tiba pupuk bersubsidi langka di pasaran. Karena faktanya demikian maka sangat jelas bahwa RDKK tidak valid,”  katanya.

Pabrik pupuk BUMN

Menyangkut produksi pupuk oleh pabrik pupuk badan usaha milik negara (BUMN), Timja Advokasi Pupuk Bersubsidi Komite II DPD RI memperoleh informasi bahwa PT Petrokimia Gresik dan PT Pupuk Iskandar Muda hanya memproduksi pupuk bersubsidi dan tidak melayani permintaan korporasi seperti perusahaan perkebunan, perusahaan tanaman pangan, perusahaan holtikultura, dan perusahaan peternakan.

“Pertanyaan, darimana perkebunan besar memperoleh pupuk? Mereka tidak mungkin memperoleh pupuk nonsubsidi karena disparitas harga antara pupuk subsidi dan nonsubsidi mencapai tiga kali lipat. Tentu saja tidak menguntungkan. Kemungkinan kebocoran distribusi terjadi karena daerah yang mengalami kelangkaan pupuk bersubsidi, pada umumnya, adalah daerah-daerah yang memiliki perkebunan besar,” jelasnya. (Tiara Hidup)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru