JAKARTA- Rencana Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Soesilo Bambang Yudhoyono untuk ikut mengajukan judicial Review ke Mahkamah Konstitusi atas undang-undang Pilkada yang menetapkan pemilihan kepala daerah lewat mekanisme DPRD, merupakan ke anehan. Hal ini ditegaskan oleh Wakil Ketua Komisi XI, DPR-RI, Harry Azar Azis kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (29/9).
“SBY selaku Presiden sudah melaksanakan tugasnya dengan baik. Tapi selaku Ketua Umum Partai bisa saja mengajukan judicial review Ke MK. Tapi itu kan menjadi aneh. Kecuali SBY menjadi dua orang yang berbeda,” ujarnya.
Menurutnya, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah tidak bisa lagi membatalkan pemilihan kepala daerah lewat DPRD dengan cara memveto rancangan undang-undang Pilkada yang sudah diputuskan oleh rapat paripurna DPR.
“SBY tidak bisa veto kalau sudah disetujui pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri. Kalau SBY tidak tanda tangan undang-undang yang sudah disetujui DPR dan Pemerintah, terhitung 1 bulan sejak rancangan undang-undang disetujui DPR dan Pemerintah, otomatis menjadi undang-undang. itu bunyi UUD 1945,” jelasnya.
Menurutnya, tidak ada lagi yang bisa dilakukan SBY, apalagi pemerintah melalui Mendagri sudah mengatakan persetujuan atas keputusan DPR itu karena keputusan DPR itu diikat di UUD 1945.
“Seharusnya sebagai presiden, SBY memerintahkan menterinya. Bukan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat memerintahkan anggota untukwalk out. (Kalau seperti ini-red) baru kemudian ‘persetujuan bersama’ itu tidak terjadi. Tapi itu kan tidak dilakukan Mendagri yang datang ke sidang paripurna DPR sampai saat akhir dan (Mendagri-red) menyatakan persetujuannya,” ujarnya.
Hak Veto
Sebelumnya, disebutkan, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebenarnya memiliki hak veto yang bisa digunakan untuk menolak pengesahan Rancangan Undang-undang Pilkada menjadi Undang-undang. Hal ini disampaikan pengamat konstitusi, Hermawanto kepada Bergelora.com di Jakarta, Minggu (28/9).
“Jika benar Presiden tidak setuju RUU Pilkada di sahkan maka seharusnya Presiden menggunakan Hak Veto-nya untuk menolak pengesahan RUU Pilkada tersebut,” ujarnya.
Menurut alumni Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta ini menjelaskan bahwa ketentuan ini berdasarkan pada makna Pasal 20 ayat 5 UUD 1945 dengan kata-kata ‘yang telah disetujui bersama’.
“Dan jika benar presiden menolak, itu artinya presiden atau pemerintah ‘tidak setuju dengan suara DPR, maka presiden berhak mem-veto rancangan undang-undang yang disahkan oleh DPR itu dan seharusnya RUU tersebut tidak berlaku sebagai undang-undang,” jelasnya.
Veto presiden menurutnya adalah menunjukkan bahwa lembaga kepresidenan tidak tunduk atau dibawah lembaga legislatif tapi sejajar, kedua lembaga adalah hasil dari pemilihan langsung.
“Konsep hak veto juga sejalan dengan konsep presidensial dimana kedudukan presiden sejajar dan bukan tunduk pada legislatif, apalagi presiden adalah hasil pemilihan langsung, maka presiden dengan kewenangannya sebagai pimpinan pemerintah atau eksekutif seharusnya demi kepentingan masyarakat, dan tata demokrasi yang lebih baik, menggunakan hak vetonya untuk menolak RUU Pilkada,” ujarnya.
Sebelumnya, Presiden SBY menyatakan kekecewaannya atas hasil voting di DPR Kamis (25/9) lalu yang memenangkan Pilkada lewat mekanisme DPRD. Ia juga menyesali sikap Partai Demokrat yang memilih walk out dari ruang sidang sehingga komposisi voting memenangkan Pilkada lewat DPRD.
“Saya kecewa dengan hasil proses politik yang ada di DPR RI, meskipun saya menghormati proses itu sebagai seorang demokrat, tapi sekali lagi saya kecewa dengan proses dan hasil yang ada,” kata Yudhoyono.
Lewat juru bicara Presiden, Aldrian Pasha menyatakan bahwa Partai Demokrat dan SBY akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas putusan paripurna DPR dari hasil voting atas RUU Pilkada yang menetapkan pilkada lewat DPRD. (Dian Dharma Tungga)