JAKARTA- Anggota Komisi X DPR Dadang Rusdiana menilai, kehadiran sekolah kedinasan kini sudah tidak relevan lagi dengan peraturan perundang-undangan, yakni Undang-undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Pasalnya, untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K), tidak ada keistimewaan, termasuk bagi lulusan sekolah kedinasan.
“Untuk menjadi PNS maupun P3K, harus melalui proses seleksi. Sehingga lulusan pendidikan di sekolah kedinasan yang kemudian mereka ditarik menjadi PNS itu dengan sendirinya sudah tidak relevan lagi dengan UU ASN,” kata Dadang, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (12/1).
Dadang menyarankan, penyelenggaraan pendidikan lebih baik diserahkan dengan model-model yang umum, seperti pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) atau Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Sehingga, kementerian dan lembaga negara, tidak perlu bersusah payah menyelenggarakan pendidikan melalui sekolah kedinasan.
Menurut politisi F-Hanura itu, penyelenggara pendidikan itu menjadi wilayah Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Apalagi, tidak setiap kementerian dan lembaga memahami dengan baik esensi pendidikan. Pasalnya, untuk menyelenggarakan pendidikan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan teknis.
“Sekolah kedinasan itu lebih pragmatis, tidak kemudian menciptakan output pendidikan yang sejalan dengan UU Pendidikan Tinggi dan UU Sisdiknas. Saya menyarankan kepada Kemenristekdikti untuk melakukan evaluasi mengenai relevansi sekolah kedinasan itu. Kemendagri punya STPDN, Kemenhub punya STIP. Sekarang harus ditinjau kembali, lebih baik kembalikan pada Kemenristekdikti,” jelas Dadang.
Sehingga, tambah Dadang, jika negara membutuhkan tenaga-tenaga profesional, setiap lulusan dari PTN atau PTS bia mengikuti seleksi itu. Apalagi, setiap PTN atau PTS juga memiliki fakultas yang cukup lengkap.
“Saya contohkan ketika Pemerintah membutuhkan pegawai pemerintahan atau birokrat, kan sudah ada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, jurusan Ilmu Pemerintahan. Misalnya butuh tenaga pelayar, maka bisa dari Fakultas Kemaritiman. Semua PTN dan PTS punya itu,” yakin Dadang.
Dadang tak memungkiri, penyelenggaran sekolah kedinasan juga memunculkan ego sektoral di setiap kementerian dan lembaga. Karena setiap kementerian dan lembaga pasti akan menyelenggarakan sekolah kedinasan.
“Setiap kementerian atau yang menyelenggarakan sekolah kedinasan, tentunya memiliki budaya organisasinya sendiri. Itu yang tidak sehat. Akhirnya setiap kementerian mempunyai sekolah kedinasan sendiri, dan bersifat ego sektoral. Itu tidak benar,” tegas Dadang.
Terkait kekerasan di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta Utara yang menyebabkan meninggalnya salah satu siswanya, menurutnya semakin membuktikan bahwa tidak semua kementerian dan lembaga dapat menyelenggarakan sekolah kedinasan. Sehingga, Kemenristekdikti harus dapat mengendalikan dengan baik sekolah tinggi kedinasan.
“Penegakan disiplin dengan cara kekerasan, mentolerir adanya kekerasan senior ke junior, itu sangat aneh dan tidak beralasan, dan itu jauh dari prinsip pendidikan yang benar. Tidak boleh penegakan disiplin dilakukan dengan cara seperti itu. Itu minus kreatifitas. Kalau disiplin seperti militer, itu ada wilayahnya. Paradigmanya harus diubah,” tegas Dadang.
Kepada Bergelora.com dilaporkan, politisi asal dapil Jawa Barat itu berpesan agar Kemenristekdikti melakukan evaluasi secara menyeluruh dalam penyelenggaran sekolah kedinasan. Pasalnya, jika melihat PP Nomor 14 Tahun 2010 tentang Pendidikan Kedinasan, penyelenggaraan sekolah kedinasan harus melalui persetujuan dari Kemenristekdikti. Sehingga, seharusnya evaluasi sepenuhnya menjadi wewenang Kemenristekdikti. (Enrico N. Abdielli)