Senin, 10 Februari 2025

Elit Politik Rusak Kesetaraan Daerah

JAKARTA- Kesadaran untuk menegakkan nilai-nilai persatuan dan kesatuan tampaknya sudah kian kuat di berbagai elemen bangsa berbasis identitas budaya di negeri ini. Namun justru yang menghancurkannya secara sadar atau tidak adalah para elite politik di tingkat negara, yang merasa dekat dengan kekuasaan. Demikian mantan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Laode Ida kepada Bergelora.com sebelum pertemuan tokoh-tokoh masyarakat Indonesia Timur di Jakarta, Kamis (30/10) siang ini.

 

Pertemuan yang akan menyikapi persoalan kebangsaan terakhir akan dihadiri oleh Yopie Lasut (Sulawesi Utara), Daniel Dhuka Tagukawi (Nusa Tenggara Timur), Engelina Pattiasina (Maluku), Kris Siner Keytimu (Maluku), Margarito Kamis (Maluku Utara),  Laode Ida (Sulawesi Tenggara), Yamin Tawari (Maluku Utara) , Hatta Taliwang (Nusa Tenggara Barat), Phil Erari (Papua Barat), Natalius Pigai (Papua), IG Toebe (Nusa Tenggara Timur) dan lain-lainnya.

“Itulah fenomena mutakhir di negeri ini. Jika media massa di Kalimantan Selatan hari-hari ini marak dengan berita kekecewaan karena tak adanya putra daerah mereka yang duduk di kabinet, demikian juga dengan sejumlah tokoh Batak, Maluku, Sultra, dan lain-lain yang sedang tersinggung karena terabaikan oleh Jokowi-JK dan koalisinya,” ujarnya.

Ia mengutip pernyataan H. Adhariani, tokoh masyarakat Kalimantan Selatan yang memprotes, tak ada satupun putra daerah Kalimantan duduk di kabinet.

“Padahal Rp 900 T /tahun disumbangkan Kalimantan kedalam APBN. Seolah-olah putra Kalimantan tidak ada yang mampu dan pintar.

Ia juga memaparkan susunan kabinet yaitu 24 orang dari pulau Jawa, 6 orang dari Sumatera, 1 orang dari Bali, 1 orang dari Papua, 1 orang dari NTT dan 1 orang dari Sulawesi Selatan.  Ia menegaskan bahwa ini bukan politik primordialisme. Tapi selama ini memang telah terjadi ketidak adilan dibidang ekonomi dan politik berbasiskan daerah.

“Jangan menyalahkan mereka yang mengekspresikan derajat kebangsaan yang kian merasa memiliki negara ini. Mereka merasa perlu ikut mengurus negara secara setara pada jabatan politik di barisan kabinet. Namun, sekali lagi, agaknya perasaan memiliki mereka itu belum sampai menyentuh kalbu barisan penguasa elit negara ini,” tegasnya.

Arogansi Prerogatif

Mengapa ini terjadi menurutnya, karena sudah terlebih dulu memposisikan diri sebagai pemilik hak prerogatif dari presiden, sehingga pihak lain tak perlu tahu, tak perlu pula mendengarkan suara-suara berbasis elemen kebangsaan.

“Apakah ini merupakan bagian dari arogansi karena faktor hak prerogatif? Semoga tidak seperti itu. Karena secara visual, presiden jokowi sebenarnya cukup menunjukkan kedekatannya dgn rakyat. Hanya saja pada saat membuat keputusan untuk berbagi dalam kabinet, barangkali hati dan pikirannya diselimuti oleh berbagai kepentingan, di mana setiap saat dipengaruhi kuat oleh pihak-pihak yang terus mengitarinya,” ujarnya.

Sel,ain itu menurutnya para pihak di sekitar Jokowi tak ingin melewatkan kesempatan untuk masuk dan duduk di kursi kekuasaan dalam posisi sebagai pembantu presiden. Mereka tak ingin membuka peluang pada pihak lain, pada elemen bangsa yang lain untuk suatu jabatan yang memang jumlahnya sangat terbatas.

“Tepatnya, barangkali yang digunakan adalah istilah ‘aji mumpung’, mumpung dekat dengan presiden, maka seluruh jabatan harus dikuasai,” ujarnya. (Web Warouw)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru