JAKARTA- Komite III Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) menyadari status vitalitas sebagian bahasa daerah, baik lisan maupun tulis, yang memprihatinkan karena punah, hampir punah, sangat terancam, terancam, dan potensial terancam. Status sebagian bahasa daerah tidak terancam karena penuturnya masih banyak.
“Tak sedikit yang terancam, hampir punah atau bahkan punah,” demikian Wakil Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris senator asal Daerah Khusus Ibukota Jakarta dalam rapat dengar pendapat dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (27/3) lalu.
Kepada Bergelora.com ia merujuk vitalitas bahasa yang digolongkan enam kelompok, status sebagian bahasa daerah tersebut tidak terancam (not endangered languages) karena penuturnya masih banyak sebagai keberhasilan transmisi (peralihan) antargenerasi, tapi status sebagian bahasa daerah memprihatinkan karena statusnya punah (extinct languages) karena tanpa penutur, hampir punah (nearly extinct languages) karena penuturnya hanya terbatas generasi tua, sangat terancam (seriously endangered languages) karena generasi muda (anak-anak) tidak menggunakannya, terancam (endangered languages) karena penutur generasi muda (anak-anak) menurun, dan potensial terancam (potentially endangered languages) karena penuturnya hanya anak-anak sehingga statusnya tidak resmi.
Fahira Idris menegaskan komitmen pihaknya untuk menghasilkan Rancangan Undang-Undang (RUU) usul inisiatif bernama RUU tentang Bahasa dan Kesenian Daerah. Sebetulnya, kebijakan penanganan bahasa daerah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
“Keduanya mencerminkan kemauan politik negara yang nyata, tapi upaya penanganan bahasa daerah belum optimal,” ujarnya.
Upaya penanganan bahasa daerah belum optimal karena selama ini kebijakan dan program pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa daerah yang dilakukan pemerintah daerah (pemerintah provinsi/kabupaten/kota) dan pemerintah pusat (kementerian/lembaga) hanya parsial seperti pemerintah daerah melahirkan peraturan daerah (perda) dan kementerian mengeluarkan peraturan menteri (permen).
“Optimalisasinya belum yang seharusnya. Oleh karena itu, kami menginisiasi RUU usul inisiatif ini. Bahasa daerah sebagai bagian kebudayaan merupakan kearifan lokal yang merekatkan bangsa. Bahasa daerah berkontribusi dalam membentuk karakter bangsa. Merupakan tugas mulia untuk melestarikan bahasa daerah,” katanya.
Komite III DPD RI menyadari ancaman kepunahan bahasa daerah yang menggoyahkan kebudayaan daerah, kebutuhan penanganan bahasa daerah selevel undang-undang, dan undang-undang bahasa daerah yang merupakan kepentingan masyarakat dan daerah. Poin pentingnya ialah negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional, serta negara memberi kesempatan dan keleluasaan kepada masyarakat untuk melestarikan bahasa daerah. (Enrico N. Abdielli)