JAKARTA- Sastrawan dan kaum budayawan mulai resah. Ternyata kebebasan berekspresi kembali dikriminalisasi. Seperti masa-masa dibawah rezim orde baru, rezim neoliberalpun punya undang-undang yang siap memenjarakan sastrawan. Dibawah ini surat sastrawan Sihar Ramses Simatupang kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (31/3) menanggapi kriminalisasi terhadap sejawatnya Saut Situmorang dan Sutan Iwan Soekri Munaf.
“Yang saya khawatirkan terjadi. Saya tak akan membiarkan satu apalagi dua kawan lama, sastrawan Saut Situmorang dan sastrawan Sutan Iwan Soekri Munaf, dipenjarakan karena sesuatu yang secara sengaja telah dibuat keruh.
Padahal hal yang fundamental yaitu sejarah sastra telah diputarbalikan. Terlalu mahal perjuangan sastra ketika sastrawan dijebloskan oleh sastrawan lain sementara inti persoalan telah bergeser, 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH.
Saut Situmorang dan Iwan Soekri harus dibebaskan dan dilepaskan. Atau kita akan menyesal selamanya ketika semua pernyataan, debat dan adu argumentasi harus dibenturkan dengan lidah terali.
Bahkan aparat kepolisian pun belum tentu dapat mengerti apa itu. Bagaimana sejarah terbentuknya sebuah kumpulan puisi. Apa itu klaim-mengklaim madzab dan kenapa 33 sastrawan dianggap berpengaruh. Mana yang layak dan tak layak.
Keinginan saya mulanya adalah pengadilan puisi, pengadilan sastra, seminar sastra, namun kini pupus sudah. Kini saya ikut bersama kawan-kawan, apa pun jadinya, ya terjadilah. Kalau mau dipenjara semua, ya sekalian saja semua kita dipenjaralah.
Ketika kebenaran dan nurani saya ikut terusik, pada hal yang sudah dimanipulir yaitu buku 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH. Dan sangat kecewa dan mashgul dengan kehadiran buku yang menghenyakkan segenap publik sastra dan segenap para penyair itu.
Mengenai perdebatan antara Fatin Hamama dengan Saut Situmorang dan Sutan Iwan Soekri Munaf sudah lama berusaha dimediasi. Ada pun mereka tetap dalam perdebatan yang mereka lakukan, yang semua berawal dari buku 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH tadi.
Buku ini diprotes oleh sebagian besar publik sastra. Intinya, kenapa di dalam di dalam buku itu ada nama Denny JA disana. Nama itu muncul berdasarkan alasan keberadaan buku-buku puisi yang dikatakannya bergaya “puisi esai”. Padahal keberadaan “puisi esai” yang diklaim sebagai gaya Denny itu, justru digelar dengan inisiatif dan dukungan sarana dan prasarana dari Denny sendiri. Banyak penyair yang kecewa dengan langkap dan strategi yang terselubung itu, sehingga ingin mencabut kembali buku itu.
Puisi esai sendiri, bukan sesuatu yang baru, selain bentuknya tak beda dengan prosa lirik,–-sebagaimana pernah dibuat oleh antara lain Linus Suryadi, Rendra, Agus Sunyoto, dan banyak penyair lain – juga keberadaan.
Sebagaimana diungkapkan oleh penulis cerpen Agus Istijanto, di situs www.odishalahuddin.wordpress.com, 31 tahun silam, tepatnya 10 April 1983.
Simon Hate menggugah Sastra Indonesia yang tidur lena dibalik selimut estetisme, dengan membacakan puisi esainya di depan sekitar 50 audience di Auditorium Yayasan Hatta, Yogyakarta. Di Amerika Selatan, Eduardo Galiano, seorang penyair telah lama menulis dengan struktur puisi menggunakan catatan kaki. Banyak sekali contoh dari satra dunia mau pun Indonesia yang dapat kita sebut untuk menunjukkan puisi esai telah hadir.
Sastrawan Saut Situmorang, mengatakan tentang puisi esai di halaman Facebook miliknya. “Bentuknya, bukan tipografinya di kertas! Puisi tapi isinya merupakan esei tentang suatu topik,” kata Saut seperti dikutip dari laman Facebooknya, juga hampir setahun yang lalu.
Kemudian Saut menulis bahwa bentuk populer kesusastraan Inggris abad 18, sebagaimana ditulis sang maestro genre tersebut Alexander Pope. ‘An Essay on Criticism’ adalah puisi panjang Pope yang terkenal.
Kini, isu telah berbelok menjadi isu penuntutan ke penjara – dengan latar pencemaran nama baik dan isu gender. Usaha mediasi atau membawanya ke dalam perdebatan intelektual atau seminar dan diskusi tentang manipulasi sejarah sastra kini pupuslah sudah. Kita semua penggiat sastra harus sadar bahwa mereka telah berhasil mendistorsikan fakta yang sebenarnya. Kita harus bergerak, atau kita tak akan dapat tidur nyenyak selamanya jika kita diam.
Salam hormat,
Sihar Ramses Simatupang
Sihar Ramses Simatupang adalah sastrawan sekaligus jurnalis Harian Sore Sinar Harapan yang bersama tiga orang sastrawan lainnya memprotes pemasukan nama Denny JA, seorang konsultan politik dalam buku ‘33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh’. Empat orang sastrawan, Ahmadun Yosi Erfanda, Chavcay Saifullah, Kurnia Effendi, dan Sihar Ramses Simatupang menganggap diperalat oleh Denny JA, Pendiri Lingkaran Survey Indonesia (LSI). (Web Warouw)