JAKARTA- Kelompok Diskusi Feminisme Jakarta, (JFDG) menyatakan, mengutuk dan mengecam kejadian bom di Samarinda, 13 November 2016, yang memakan korban meninggalnya seorang anak balita, Intan Olivia Marbun yang berusia 3 tahun. Beberapa orang anak lainnya juga kena luka bakar parah karena bermain di depan Gereja Oikumene, Samarinda, saat bom molotov dilemparkan. Demikian disampaikan oleh Helga Worotitjan dari Jakarta Feminist Discussion Group kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (15/11) dalam rangka solidaritas untuk Intan dan korban teror bom gereja Oikumene di Samarinda, Kalimantan Timur.
“Tindak tegas semua kelompok atau organisasi yang melanggar hak-hak warga negara untuk hidup nyaman dalam keberagaman,” tegasnya.
Jakarta Feminist Discussion Group menuntut agar Pemerintah Republik Indonesia (RI) khususnya Presiden Joko Widodo segera memberikan arahan kepada kabinetnya agar bekerja mendukung penegakan perdamaian dan keberagaman. Hal ini sesuai hak manusia untuk hidup dengan kedamaian dan toleransi sesuai dengan Undang-Undang Hak Azasi Manusia (HAM) dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Pemerintah RI khususnya Kepolisian Republik Indonesia harus segera mengusut tuntas sampai ke akar permasalahan terkait kasus bom dan teror yang dilakukan di Gereja Oikumene pada 13 November 2016, termasuk menindak tegas atau memberikan hukum sesuai aturan terkait kepada pelaku,” demikian Helga Worotitjan.
Ia mengatakan Kepala Kepolisian Republik Indonesia harus memastikan agar hak-hak warga negara untuk beribadah sesuai kepercayaan masing-masing dapat ditegakkan dan akan dilindungi di seluruh Indonesia.
“Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementeriannya melakukan pendidikan HAM dan keberagaman untuk membangun toleransi dari usia dini dengan komprehensif sesuai tahap pertumbuhan anak,” ujarnya.
Anggota Jakarta Feminist Discussion Group yang lain, Kate Walton meminta masyarakat Indonesia, organisasi-organisasi terkait, komunitas dan pengurus masyarakat yang ada, untuk menghormati perbedaan, keberagaman dan menjunjung tinggi pedoman Bhinneka Tunggal Ika dan toleransi dalam hidup kesehariaan, sesuai dengan apa yang sudah dicantumkan dalam Pancasila dan UUD 1945.
“Masyarakat dan organisasi sipil harus mulai bersama membangun diskusi dan dialog lintas agama dan budaya untuk menciptakan kondisi lintas pemikiran yang beragam dan penuh toleransi dalam berbagai kegiatan keseharian,” ujarnya.
Sementara itu, Olin Monteiro menjelaskan, dalam banyak konflik dan teror, perempuan dan anak lebih sering menjadi korban, seperti yang telah terjadi di Samarinda.
“Ada begitu banyak korban kekerasan dan korban terror di penjuru Indonesia dari Aceh sampai Papua. Kekerasan terjadi di mana-mana dan kita mengutuk semua jenis kekerasan yang terjadi, termasuk kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak,” tegasnya.
Anggota JFDG sangat prihatin dan berharap agar masyarakat bisa tenang, membangun dialog, dan merasa empati pada korban, serta melihat ke depan untuk bisa bekerjasama membangun perdamaian dengan masyarakat dari berbagai golongan dan kepentingan.
“Kami juga berharap pemerintah serius menanggapi isu ini dan menyelesaikan tuntas masalah hukum terkaitnya untuk memberikan rasa keadilan pada korban dan keluarganya,” tegasnya.
Jakarta Feminist Discussion Group, sebuah kelompok perempuan yang beranggotakan 1.131 orang di Jakarta, berbagai kota di Indonesia dan berbagai warga Indonesia di luar negeri.
4 Korban Balita
Sebanyak 4 balita menjadi korban bom di Gereja Oikumene Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Samarinda, Minggu (13/11) pagi. Salah satunya dinyatakan meninggal dunia.
Salah satu korban yang akhirnya meninggal adalah Intan Olivia Marbun (sebelumnya tertulis Marbon). Intan meninggal pada Senin (14/11) pukul 03.05 waktu Indonesia tengah (WITA) tadi. Bocah 2,5 tahun itu meninggal dunia setelah menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit AW Sjahranie, Samarinda.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenpas) Divhumas Polri, Brigjen Agus Rianto mengatakan, pihak rumah sakit sebenarnya sudah berupaya merawat dan mengobati Intan. Namun, luka bakar akibat bom molotov yang diderita bocah tak berdosa itu memang parah.
Agus sebagaimana dilansir JPNN menuturkan, sebagian besar tubuh korban mengalami luka bakar.
“Almarhumah meninggal akibat luka bakar 78 persen dan infeksi saluran pernapasan,” tuturnya.
Bom molotov dilemparkan oleh seorang pelaku bernama Juhanda alias Jo ke halaman parkis Gereja Oikumene Samarinda pada Minggu (13/11) pagi sekitar pukul 10.00 waktu setempat. Ledakan terjadi saat bubaran jemaat gereja.
Intan yang tinggal di Jalan Cipto Mangunkusumo Gang Jati 3 RT 27 Harapan Baru, Loa Janan Ilir, Samarinda menjadi korban ledakan. Ada pula tiga balita lain yang menjadi korban.
“Yang bersangkutan salah seorang anak sekolah Minggu HKBP Samarinda Seberang,” kata Agus.
Detik-detik Mengerikan
Bom rakitan berupa botol yang diisi bahan bakar itu kontan membakar tubuh empat balita yang tengah menunggu orang tua mereka, jemaat Samarinda Seberang, meninggalkan gereja setelah kebaktian selesai.
Salah seorang jemaat HKBP, Mawarni Hutahayan menceritakan bahwa suara letupan terdengar dari dalam gereja ketika jam dinding menunjukkan pukul 09.50 Wita. Jemaat yang sebelumnya tengah bersalaman sebelum pulang pun panik.
“Saya sudah berjalan menuju pintu keluar, tiba-tiba ada ledakan di teras gereja,” tutur Mawarni seperti dilansir Tempo.
Tiba-tiba Mawarni teringat bahwa di teras gereja banyak anak jemaat yang bermain. Ketika jemaat keluar gereja, Mawarni menerangkan, yang terlihat hanya asap tebal di teras. Setelah asap menipis, barulah terlihat anak-anak yang jadi korban tindakan Juhanda.
Benar saja, anak-anak itu bermain tepat di lokasi lemparan bom. “Saya sempat shock,” tutur Mawarni.
Adapun anak-anak yang jadi korban adalah Intan Olivia Banjarnahor, 2,5 tahun, Alvaro Aurelius Tristan Sinaga (5), Trinity Hutahayan (3), dan Anita Isabel Sihotang (2).
Mereka segera dilarikan ke rumah sakit terdekat, yakni Sakit Ibu Anak Moeis. Kemudian, Intan dan Trinity dirujuk RSUD AW Syahrani untuk mendapat penanganan lebih serius.
Tim Disaster Victim Investigation (DVI) Kepolisian Daerah Kalimantan Timur menyatakan, dua anak yang dirujuk ke RSUD AW Syahrani mengalami luka bakar 60-70 persen. Sedangkan dua lainnya, di bawah 20 pers
Pelaku Dihajar Massa
Juhana, 32 tahun, lari ke Sungai Mahakam di seberang gereja setelah melempar molotov. Sejumlah warga memergoki kemudian mengejar pria kurus gondrong yang mengenakan kaus oblong hitam bertuliskan Jihad Way of Life itu. Begitu tertangkap, Juhana dihajar massa sebelum diserahkan kepada polisi.
“Pelaku sudah ditangkap. Percayakan kepada penegak hukum untuk menangkap jaringannya,” ujar Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian.
Juhana pernah mendekam di penjara selama 3,5 tahun karena terlibat kasus bom di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Tangerang pada 2011. Dia anggota kelompok pelaku teror bom buku di Jalan Utan Kayu dan bom di Puspitek yang dipimpin Pepi Fernando. Pepi Fernando divonis hukuman penjara 18 tahun pada awal Maret 2012.
Sementara itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, mengutuk keras aksi teror bom tersebut.
“Saya mengutuk keras ledakan bom di Gereja Oikumene apalagi korbannya anak-anak yang tidak berdosa yang tidak tahu apa-apa. Saya juga punya balita sehingga tidak tega melihat korban, apalagi yang sudah meninggal. Ini perbuatan keji dan saya meminta pelakunya harus dihukum seberat-beratnya,” kata Muhadjir Effendy, usai menjenguk dua korban ledakan Gereja Oikumene, di RSUD AW Syahranie Samarinda, Senin.
Ia juga menyampaikan duka mendalam kepada keluarga korban yang meninggal dan meminta tiga balita yang menjadi korban ledakan bom Gereja Oikumene yang saat ini masih dirawat di RSUD AW Syahranie dan IA Moes agar diberi penanganan lengkap.
“Kepada korban yang meninggal, saya turut berduka cita dan pada kesempatan ini saya juga menyampaikan salam dari presiden dan kepada keluarga, saya berharap diberi ketabahan. Bagi tiga koran lainnya yang saat ini masih dirawat, saya berharap bisa pulih dan saya sudah meminta pimpinan rumah sakit agar para korban diberi pertolongan lengkap dan semua biaya ditanggung pemerintah,” ujarnya.
“Ini menjadi pelajaran bagi kita semua dan peristiwa ini tidak boleh terulang lagi. Peristiwa ini merupakan ancaman nyata bagi NKRI dan saya sudah melihat sendiri yang menjadi korban adalah anak-anak yang tidak berdosa akibat tindakan keji yang dilakukan atas nama keyakinan yang sesat yang ia pahami,” tegas Muhadjir Effendy.
Muhadjir Effendy sebagaimana dilansir AntaraNews juga meminta pihak kepolisian, TNI, Pemerintah Provinsi Kaltim serta semua elemen masyarakat meningkatkan kewaspadaan menyusul terjadinya bom di Gereja Oikumene yang menyebabkan empat balita menjadi korban, satu dinyatakan meninggal dunia.
“Selama ini Kaltim sangat aman dan kondusif, tetapi karena mungkin kondisi itulah sehingga kita menjadi lengah. Jadi, saya minta kepolisian, TNI, Pemprov Kaltim serta semua elemen masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan. Saya tegaskan, kejadian seperti ini tidak boleh terjadi lagi,” jelas Muhadjir Effendy.
Sementara, Direktur RSUD AW Sjahranie Samarinda Rahim Dinata Majidi menyatakan, telah menyiapkan tim khusus penanganan korban bom Gereja Oikumene.
RSUD AW Syahranie Samarinda kata Rahim Dinata telah membentuk tim medis yang terdiri, ahli bedah plastik, bedah umum, anestesi, ahli anak dan juga dari keperawatan intensif. (Enrico N. Abdielli)