JAKARTA– Indonesia dinilai tak lagi punya banyak waktu untuk menyelesaikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Politik Energi: Menuju Swasembada Energi Melalui Teknologi Nuklir” yang digelar GREAT Institute di Jakarta, Kamis (30/4/2025), sejumlah ilmu pengetahuan tentang nuklir, aktivisme lingkungan, hingga praktisi komunikasi menyepakati satu hal yaitu, jika Indonesia ingin selamat dari krisis energi dan kehilangan keunggulan, maka PLTN bukan lagi alternatif—melainkan keniscayaan.
Diskusi yang dimoderatori Turino Yulianto dari Desk Energi GREAT Institute dibuka Dr. H. Syahganda Nainggolan, ketua Dewan Direktur GREAT Institute. Menurut Syahganda, persoalan nuklir di Indonesia selama ini lebih banyak dibungkus trauma dan ketakutan sejarah.
“Padahal yang dibutuhkan hari ini bukanlah nostalgia kegelisahan, tapi keberanian menatap masa depan,” ujar Syahganda, singkat, namun tegas.
Irwanuddin Kulla, staf ahli menteri ESDM, menyampaikan bahwa masyarakat sering salah memahami kejadian Chernobyl sebagai kegagalan PLTN.
“Itu bukan PLTN generasi baru, melainkan reaktor riset generasi pertama yang sangat manual,” katanya.
Irwanuddin menggarisbawahi bahwa Indonesia sebenarnya memiliki tiga reaktor riset berkualitas dan diakui dunia sebagai terbaik di Asia pada zamannya, yakni Siwabessy, Triga Mark, dan RA Kartini.
“Yang ironis, justru RA Kartini kini ditutup. Saya mengimbau Presiden agar mengaktifkannya kembali.”
Sorotan teknis datang dari Dr. Ing Kusnanto (UGM) yang memperingatkan bahwa target operasional PLTN Indonesia pada tahun 2032 hanya menyisakan tujuh tahun.
“Negara seperti Jepang bisa dibangun dalam waktu 4,5 tahun karena semua sudah siap. Kita belum final soal lokasi, SDM masih kurang, dan belum punya regulasi untuk reaktor modular,” kata Kusnanto.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan sementara itu, Prof. Sidik Permana (ITB) mengingatkan bahwa Indonesia bukanlah pendatang baru dalam bidang nuklir.
“Kita ini terlambat datang . Riset sudah dimulai sejak 1954, tapi kita terlalu lama gamang. Padahal kemungkinan kegagalan PLTN generasi terbaru hanya satu dalam sepuluh ribu tahun,” ujarnya.
Prof. Sulfikar Amir dari Nanyang Technological University, Singapura, memaparkan pelajaran penting dari tragedi Fukushima.
Menurutnya, bencana itu bukan karena lemahnya teknologi, melainkan kelengahan krisis institusional dan komunikasi.
“Kita perlu belajar dari Jepang, termasuk soal redistribusi keuntungan PLTN ke desa-desa sekitar, agar ada dukungan sosial yang nyata.”
Mayjen Purn. Dr.Ir. Pujo nasional Widodo, dari sisi pertahanan, mengingatkan bahwa PLTN mengandung risiko tinggi bila tak dijaga dengan sistem keamanan.
“Sistem kendali PLTN harus dikawal aparat yang paham nuklir. Serangan siber bisa berakibat fatal. Pertahanan harus jadi bagian dari desain PLTN,” ujar Pujo.
Kritik datang dari WALHI melalui Dwi Sawung.
“Kami tetap mengekstrak jaminan keselamatan, jaminan tidak ada kebocoran, dan yang paling penting: jaminan tidak dikorupsi,” katanya.
Sementara itu, praktisi komunikasi Deva Rachman menilai lambannya regulasi dan rendahnya integritas birokrasi sebagai hambatan utama.
“Masalah kita bukan kekurangan modal, tapi niat baik. Regulasi lambat, koordinasi buruk, kepemimpinan tidak tampak,” kata Deva.
Darmawan Sepriyossa, seorang wartawan, menjelaskan akar persoalan: kegagalan, yakni komunikasi publik. Menurut Darmawan, pemerintah sudah terlalu lama membiarkan narasi tentang PLTN diisi oleh ketakutan dan kepentingan yang salah arah.
“Yang kita hadapi bukanlah percakapan, melainkan energi tuna-literasi. Negara dan kepentingan publik kalah dalam hal komunikasi, bukan dalam hal teknologi,” ujarnya.
“PLTN hari ini bukan pilihan. Ia kebutuhan. Bahkan, keharusan, jika kita ingin bicara soal kedaulatan energi, solusi atas krisis iklim, dan masa depan bangsa.”
Darmawan menyempurnakan revolusi dalam pendekatan komunikasi energi.
“Narasi soal risiko dan trauma sudah usang. Kita harus bicara tentang energi bersih, tentang harga listrik yang murah dan pasokan yang stabil, tentang masa depan anak cucu. Jangan bicara kilowatt jam ke rakyat, bicara saja soal langit yang bersih, pasokan listrik yang terjamin.”
Ia juga menjelaskan, penyebutan energi tuna-literasi memang tajam, namun perlu membangunkan masyarakat dari tidur panjang akibat narasi yang keliru.
Menutup diskusi, Ir. Rijalul Fikri memaparkan tujuh dokumen strategi pengembangan PLTN, meliputi aspek teknologi, kelembagaan, pendanaan, hingga kerja sama internasional. Ia menekankan pentingnya menjadikan PLTN sebagai objek vital nasional yang dikawal oleh institusi yang tidak dapat diintervensi secara politis.
Forum ini menampilkan satu hal yang tak terbantahkan: tantangan energi nuklir terbesar di Indonesia bukanlah pada kemampuan teknologi, tetapi pada kepemimpinan yang lemah, komunikasi yang gagal, dan ketidaksiapan institusi dalam membaca urgensi zaman.
“Kalau kita terus takut pada masa lalu, kita akan kehilangan masa depan,” begitu simpulan salah satu peserta. Ia menyimpulkan, inilah saatnya untuk berhenti ragu dan mulai membangun dengan kepala dingin, tangan kuat, dan narasi yang benar. (Web Warouw)