JAKARTA- Tema hakiki Pembukaan Konstitusi UUD 1945 pada dasarnya mengandung dan memancarkan tema kemanusiaan dan keadaban, persatuan dan solidaritas, musyawarah dan demokrasi, keadilan dan kemakmuran. Hakekat Sila-Sila Pancasila yang terkandung dan termaktub dalam Pembukaan Konstitusi menjadi bermakna ketika difahami, ditumbuhkan, dan diwujud nyatakan secara utuh terintegrasi yang saling mengisi dan menguati.
“Konstruksi dan substansi Pembukaan sama sekali tidak membuka peluang, tidak menyediakan ruang, dan tidak merekomendasikan segala hal pikiran, sikap, dan tindakan primordial, sektarian, ekstrim, intoleran, fundamentalis,” demikian Firman Jaya Daeli mantan anggota Komisi Politik Dan Komisi Hukum DPR-RI kepada Bergelora.com di Jakarta, Minggu (12/2).
Sebelumnya ia menjelaskan, terminologi Pancasila dan konstruksi maupun substansi Pancasila memastikan mutlak untuk tidak membuka peluang, tidak menyediakan ruang, dan tidak merekomendasikan segala hal pikiran, sikap, dan tindakan primordial, sektarian, ekstrim, intoleran, fundamentalis.
Hal ini ditegaskannya dalam Seminar Nasional di Yogyakarta, Kamis, 9 Februari 2017, dengan Tema Umum : “Berdamailah Dengan Semua Ciptaan”, dan Tema Khusus Pembahasan : “Demokrasi Pancasila, Perspektif Masa Lalu, Kini, dan Mendatang”. Seminar Menghadirkan Pembicara, DR. Prabawa Eka Soesanto, Ssos, MSi (Pejabat Kementerian Dalam Negeri); DR. Ahmad Munjid, MA (Akademisi UGM); Subkhi Ridho (Akademisi Universitas Muhammadyah Yogyakarta) dan Firman Jaya Daeli (Mantan Anggota Komisi Politik Dan Komisi Hukum DPR-RI).
“Pancasila justru memiliki, mengapresiasi, mengisiniasi, dan menyemangati gerakan, agenda, dan aksi humanisasi, toleranisasi, dialogisasi, dan harmonisasi. Pancasila sungguh-sungguh mengakui dan melindungi kepelbagaian dan kebhinnekaan serta menjadi instrumen aktif dan efektif yang mempertemukan dan mempersatukan kepelbagaian dan keragaman masyarakat dalam jiwa ruh Gotongroyong Indonesia Raya,” tegasnya.
Dalam seminar itu ia menjelaskan, sistem Konstitusi UUD 1945 mengakui sekaligus mengamanatkan sistem demokrasi. UUD 1945 mengakui dan melindungi Sistem Kepartaian, Sistem Pemilihan Umum, Sistem Perwakilan, dan sejumlah hak dan kebebasan konstitusional warga negara. Semua Sistem dan hak kebebasan konstitusional ini diletakkan dan tumbuh berkembang dalam kerangka bangunan Pancasila.
“Posisi, peran, fungsi, dan aktualisasi Sistem ini, selain mesti tetap dalam Rumah Pancasila, juga harus senantiasa dalam rangka menjalankan dan menguatkan Pancasila secara keseluruhan. Dengan demikian Demokrasi Pancasila semakin membudaya dan melembaga secara efektif,” tegasnya.
Menurutnya, dalam perkembangan global, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan kemunculan gerakan ekstrim intoleran fundamentalis pada hakekatnya memiliki dinamika dan daya gerak yang berkaitan dengan Pancasila. “Dengan demikian, Pancasila harus tetap dikukuhkan dan dikuatkan sehingga memiliki daya tahan dan tenaga kuat yang otentik ketika diperhadapkan untuk menghadapi dan mengatasi pergeseran nilai yang sistem nilai tersebut bertentangan dengan Pancasila,” ujarnya.
Ia melanjutkan, masyarakat dan bangsa Indonesia dengan kesadaran penuh dan tanggungjawab sungguh-sungguh, selalu berkemauan kuat dan bertekad bulat untuk mentrasformasi dan membumikan Pancasila sebagai Gerakan Indonesia Raya. Pancasila dan Demokrasi Pancasila semakin bertumbuh dan bermakna melalui agenda dan proses kulturisasi, sistemisasi, dan aktualisasi.
“Pertumbuhan dan pemaknaan Pancasila selain harus melalui kulturisasi, sistemisasi, dan aktualisasi, maka harus juga dilakukan proses dan agenda formalisasi,” ujarnya.
Ideologi Pancasila dan Sistem Demokrasi Pancasila menurutnya pada dasarnya senantiasa merupakan dan menjadi dasar kokoh, relevan, dan kontekstual dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan konstitusi UUD 1945, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
“Strategi kebudayaan dan solusi politik berkeadaban inilah sebagai jalan ideologis dan ranah peradaban,” tegasnya.
Seminar Nasional ditandai dan diakhiri dengan Orasi Kebudayaan yang disampaikan oleh Sri Sultan HB X (Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta).
Perspektif pemikiran dan konstruksi substansi Seminar dan Orasi Kebudayaan berintikan itu pada strategi kebudayaan dan solusi politik berkeadaban untuk membangun sekaligus menumbuhkan peradaban. Dengan demikian, hal ini yang berbasis pada kemanusiaan, kesatuan, kebersamaan, dan keadilan semakin memaknai Demokrasi Pancasila dalam masyarakat dan bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan UUD 1945. (Web Warouw)