Minggu, 6 Oktober 2024

GAK SERIUS NIH…! Penyerapan Anggaran Percepatan Penurunan Stunting Rendah, Hanya 6 Persen!

JAKARTA – Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bersama kementerian dan lembaga terkait menggelar rapat koordinasi untuk mengevaluasi dan mengurai persoalan dalam upaya percepatan penurunan stunting, Kamis (14/7/2022).

Dalam rakor yang dipimpin Kepala BKKBN dr. Hasto Wardoyo itu dihadiri pejabat dari Sekretariat Wakil Presiden Dr. Suprayoga Hadi, Deputi III Kemenko PMK drg. Agus, pejabat dari Kementerian Dalam Negeri Dr. Teguh Setyabudi, pejabat dari Kementerian Keuangan Putut Hari Setyaka, dari Kementerian Kesehatan dr. Nida, serta dihadiri secara daring pejabat dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Dr. Pungkas Bahjuri Ali.

Permasalahan yang disampaikan dalam rakor Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) tersebut diantaranya masih rendahnya penyerapan anggaran untuk percepatan penurunan stunting melalui bantuan operasional keluarga berencana (BOKB) di pemerintah kabupaten dan kota.

Berdasarkan paparan yang disampaikan Sekretaris Utama BKKBN Tavip Agus Rayanto, penyerapan anggaran BOKB oleh pemerintah kabupaten dan kota hingga bulan Juli tahun ini rata-rata 6 persen. Padahal anggaran tersebut semestinya digunakan untuk upaya percepatan penurunan stunting.

Menanggapi hal tersebut, pejabat dari Kemendagri Teguh Setyabudi mengatakan segera menyurati pemerintah kabupaten dan kota untuk segera melaksanakan upaya percepatan penurunan stunting dengan menggunakan dana BOKB.

“Kami akan tindaklanjuti sesegera mungkin. Besok sudah terbit (surat). Kami juga akan melakukan pertemuan virtual dengan para kepala daerah,” kata Teguh.

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, sementara itu Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan penyerapan anggaran BOKB itu perlu didorong dari pemerintah pusat.

“Seperti di Kabupaten Nias Utara, tadinya penyerapan hanya lima persen, namun setelah kita intens berkomunikasi, dua minggu kemudian penyerapan anggarannya menjadi 34 persen,” kata Hasto.

Selain itu Hasto juga menjelaskan lima pilar dalam upaya percepatan penurunan stunting. Pilar pertama adalah peningkatan komitmen dan visi kepemimpinan di kementerian dan Lembaga , pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pemerintah desa. Pilar pertama ini dilaksanakan diantaranya dengan pembentukan tim percepatan penurunan stunting yang saat ini sudah tersebut di 34 provinsi dan seluruh TPPS dibentuk di tingkat kabupaten/kota. Sedangkan untuk TPPS yang sudah dibentuk BKKBN 93,3% di seluruh kecamatan di Indonesia dan 95,2 persen di tingkat desa.

Pilar kedua menurut Hasto adalah peningkatan komunikasi perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat. Dan ini sudah dilakukan dengan penguatan media center, launching pendampingan dan konseling, serta sosialisasi percepatan penurunan stunting bersama mitra kerja, serta visit media gathering.

Pilar ketiga adalah konvergensi intervensi spesifik dan intervensi sensitive di kementerian dan Lembaga, serta pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan pemerintah desa.

Pilar keempat adalah peningkatan ketahanan pangan dan gizi pada tingkat individu, keluarga, dan masyarakat.

Pilar kelima yang disampaikan Hasto adalah penguatan dan pengembangan system, data, informasi, riset, dan inovasi.

Menurut Hasto, kelima pilar itu sudah dilaksanakan oleh BKKBN dalam upaya percepatan penurunan stunting.

Dalam rakor tersebut, Hasto juga menyampaikan permasalahan pemberian makanan tambahan (PMT) bagi balita penderita stunting yang hingga bulan Juli ini belum ada yang terealisasi. Padahal makanan tambahan atau makanan pendamping ASI (MPASI) itu sangat dibutuhkan oleh balita-balita stunting.

Menanggapi permasalahan itu, dr. Nida dari Kementerian Kesehatan mengatakan pemberian makanan tambahan bagi balita stunting telah dianggarkan Rp300 miliar yang dibagi ke dalam dua kategori yakni makanan tambahan lokal senilai Rp150 miliar dan makanan tambahan pabrikan senilai Rp150 miliar.

Menurut Nida, tender untuk pengadaan PMT tersebut masih dalam proses.

Terkait dengan adanya perbedaan data persentase stunting yang kerap menimbulkan persoalan di daerah-daerah, dalam rakor tersebut terungkap bahwa data yang digunakan adalah data hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021.

Menanggapi hal tersebut, untuk pendataan prevalensi stunting pada 2022 telah dilakukan perbaikan dan penambahan sampel sehingga akan mengurangi nilai kesalahan (error).

Pada 2021, pendataan prevalensi stunting menggunakan sampel di yang dibahi dalam 15 ribu blok sensus, serta 150 ribu rumah tangga balita.

Namun pada 2022, pendataan ini ditingkatkan sampelnya menjadi 34 provinsi, 514 kabupaten/kota, 34.500 blok sensus, serta 345 ribu rumah tangga balita.

“Survei prevalensi stunting sudah dimulai dan dengan adanya penambahan sampel ini maka error untuk hasilnya akan diminimalisasi,” kata dr. Nida. n (KIS)

Tentang BKKBN

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) adalah lembaga yang mendapat tugas untuk mengendalikan jumlah penduduk melalui penyelenggaraan program kependudukan dan Keluarga Berencana, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia melalui pembangunanan keluarga berdasarkan Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.

BKKBN ditunjuk sebagai Ketua Koordinator Percepatan Penurunan Stunting berdasarkan Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. (Web Warouw)

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru