JAKARTA -Nasib seratusan pegawai Eijkman yang dipecat dan tidak mendapatkan pesangon menuai reaksi beragam dari berbagai kalangan masyarakat.
Pasalnya, hal itu diyakini sebagai buntut dari keputusan pemerintah membubarkan sejumlah lembaga penelitian kemudian dilebur ke Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN).
“Termasuk malapetaka itu,” kata Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Azyumardi Azra kepada pers di Jakarta, Sabtu (1/1).
Azyumardi menilai, penyatuan LIPI, BPPT dan Batan ke dalam BRIN sesuai Kepres 33/2021 yang baru saja dikeluarkan Presiden Joko Widodo pada akhirnya berujung malapetaka riset di Tanah Air.
“Alih-alih akan menghasilkan riset dan inovasi berkualitas untuk memajukan negara-bangsa Indonesia, BRIN sebaliknya membawanya ke dalam pusaran politik partisan,” katanya.
Menurutnya, BRIN akan membawa pusaran kekuasaan dengan adanya Megawati Soekarnoputri, yang merupakan Ketua Umum PDIP, sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN.
Atas dasar itu, Azyumardi Azra menyesalkan adanya pembubaran lembaga-lembaga penelitian yang bersejarah seperti LIPI atau BPPT dilebur ke BRIN.
“Lembaga yang telah memberi kontribusi penting dalam riset dan inovasi dibubarkan, sangat disesalkan,” pungkasnya.
Sebanyak empat lembaga penelitian yang berada di Indonesia secara resmi dilebur menjadi satu di bawah komando Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Lembaga penelitian yang dilebur menjadi satu yakni Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Keputusan melebur empat lembaga itu telah disahkan oleh Presiden Jokowi dalam Perpres 33/2021 tentang BRIN.
Teranyar, seratusan saintis dan staf diberhentikan dari Eijkman. Bahkan, seratusan lembaga penelitian pemerintah yang bergerak di bidang biologi molekuler tersebut tidak mendapatkan pesangon setelah dipecat.
“Tahun baru, mendengar kabar sedih tentang Lembaga Eijkman. Sekitar 120 saintis dan support staf kehilangan pekerjaan dalam sehari gegara birokrasi,” kata penulis dan wartawan Ahmad Arif di akun media sosial Twitternya, Sabtu (1/1).
Ia menjelaskan, dari sekitar 160 staf, termasuk saintisnya, hanya 40-an yang berstatus PNS yang akan diterima di BRIN.
“Sisanya diberhentikan tanpa pesangon, karena mereka selama ini dianggap ‘pegawai kontrak ilegal’. Turut berbelangsukawa,” sesalnya. (Web Warouw)