Akhirnya pandemic Covid-19 belum juga berhenti di tahun 2021. Penanganannya sudah bukan hanya soal wabah, tapi soal pemulihan ekonomi yang terdampak. Nirmal Ilham, Tenaga Ahli di DPR-RI mengulas grand design dibalik wabah Covid-19 ini kepada pembaca. (Redaksi)
Oleh: Nirmal Ilham
BANYAK orang menyadari bahwa covid 19 tidak terjadi secara alamiah. Tapi sulit untuk menjelaskannya. Hal itu sebenarnya tidak sulit jika mengetahui bahwa ada tiga level yang harus terpenuhi dalam sebuah operasi yang berdampak besar yaitu; Grand Design, Operator dan Eksekutor. Covid 19 yang melumpuhkan dunia pasti merupakan operasi yang memiliki ketiga tingkatan tersebut.
Sehingga dalam covid 19 ada Grand Design. Dipastikan pembuatnya adalah para globalis penguasa dunia. Untuk tujuan yang banyak, baik dalam waktu jangka pendek, menengah dan panjang. Sebagian orang coba menerka tujuan covid 19 ini, tapi pasti tidak komplit. Sebab ada yang tidak terdeteksi karena kompleks. Ironisnya ada juga yang tidak disadari meskipun sederhana.
Sedikit tujuan yang dapat diketahui untuk jangka pendek; Menghancurkan ekonomi. Terjadinya depopulasi. Terciptanya perubahan pola konsumsi, bisnis, pendidikan, dan dunia kerja menjadi digital. Menjadikan perusahaan farmasi dan perusahaan berbasis internet berjaya. Serta membuat setiap negara menjaga ketat pintu masuk dan perbatasannya dari pendatang.
Untuk jangka menengah, Membuat setiap negara mulai melindungi pasokan pangannya. Seperti Rusia sebagai eksportir gandum terbesar dunia yang telah membatasi ekspor gandumnya dan berencana untuk menghentikannya jika covid 19 berkepanjangan. Langkah itu diikuti Thailand dan Vietnam sebagai eksportir beras dunia. Ini akan menyulut setiap negara melindungi kepentingan nasionalnya dan mengambil langkah proteksi dalam ekonomi.
Sedangkan untuk jangka panjang, akan tercipta rasa nasionalisme yang tinggi atau ultranasionalisme di tiap negara. Itu akan berujung pada konflik atau dalam skala besar perang dunia. Dalam ilmu intelijen, apabila ada operasi berskala nasional atau global maka tujuan terakhirnya adalah konflik berdarah atau perang. Bila tidak menemukan alasan untuk terjadinya konflik berdarah atau perang, maka tidak paham arti dari sebuah operasi.
Dalam covid 19 ini ada Operator. Dipastikan itu adalah WHO, organisasi kesehatan dunia di bawah PBB. Karena dia yang memberi nama virusnya. Dia yang mengidentifikasi bahaya virusnya. Dan dia yang mengkampanyekan protokol kesehatan pencegahan virusnya. Serta dia juga yang memberikan penilaian kepada setiap negara dalam menanggulangi pandemi virusnya.
Ada satu kasus yang menunjukkan WHO memainkan peran operator covid 19. Yaitu ketika pemerintah Taiwan mengirim surat resmi tertanggal 31 Desember 2019 ke WHO yang memberikan peringatan ada beberapa orang diisolasi akibat penyakit menular di Wuhan, China. Dan meminta WHO untuk segera menyelidikinya karena otoritas China tidak mau menginformasikan masalah tersebut. Namun WHO tidak menanggapinya.
Baru pada tanggal 20 Januari 2020 pemerintah China resmi mengumumkan ada virus flu yang menular dari manusia ke manusia dan berdampak mematikan di Wuhan. WHO kemudian langsung merespon laporan tersebut. Tapi Taiwan menyatakan itu sudah sangat terlambat. Jika WHO turun tangan sejak menerima laporannya maka dampak covid 19 tidak akan separah ini.
Taiwan lalu memprotes WHO yang dengan sengaja tidak menindaklanjuti laporannya. Sayangnya Taiwan bukan anggota WHO, akibat tekanan dari China. Protes keras terhadap tindakan WHO menangani covid 19 justru datang dari Amerika Serikat. Presiden Trump menahan pendanaan dari Amerika ke WHO dan menyatakan WHO gagal menghentikan pandemi karena lebih mengutamakan politik dari pada kesehatan publik.
Dalam covid 19 ini ada Eksekutor, level terendah yang menjalankan perintah. Dipastikan itu adalah pejabat pemerintahan di setiap negara. Di tangan merekalah covid 19 ini dikemas menjadi hantu pembunuh yang haus darah. Berkolaborasi dengan media mainstream, biasanya mereka berusaha secara terus menerus memberitakan sisi yang menyeramkan dari covid 19. Untuk Indonesia orang itu adalah Gubernur Anies Baswedan.
Ingat saat covid 19 masuk ke Indonesia pada awal Maret 2020. Konferensi pers Presiden Jokowi yang berusaha tampil ceria didampingi menteri kesehatan, mencoba menenangkan rakyat untuk tidak takut dan tidak panik. Karena ketakutan akan melemahkan daya tahan tubuh, dan kepanikan akan mengganggu perekonomian. Sebaliknya kebijakkan Anies justru langsung membuat ketakutan dan kepanikan dengan rencana membuat lockdown Jakarta.
Sekarang disadari bahwa kebijakan PSBB untuk mencegah penyebaran virus hanyalah cover belaka. Padahal yang sebenarnya untuk membuat background keheningan kota yang mencekam hingga orang menjadi ketakutan. Kemudian panik. Akibatnya langsung pada kegiatan ekonomi. Sehingga pertumbuhan ekonomi negara minus, ekonomi rakyat kecil “mampus”.
Ada peribahasa mengatakan, “gajah sama gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah.” Tafsir kekiniannya menjadi, pemimpin daerah arogan melawan pemimpin negara, rakyat yang dijadikan korban. Inilah Era Reformasi dengan Otonomi Daerah dan Pilkada-Pilkada-annya. Hanya menghasilkan kepala daerah di level eksekutor.