“Ketika Bangsa Ini Meranyakan Hari Kemerdekaan Justru Aku Disekap Di BIA”
Oleh: Petrus H. Hariyanto *
CAHAYA matahari sudah memasuki sel kami. Sinarnya begitu cerah. Suasana sepi juga sudah berganti ramai. Di luar, terdengar sayup-sayup orang saling berbicara, pertanda jam kerja sudah mulai. Dalam hangatnya terpaan sang mentari diriku terjaga dari tidur yang begitu lelap.
Kesadaranku semakin lama semakin pulih.Teringat semalam sempat bertemu dengan Garda dan Budiman. Kami bertiga di tempatkan dalam satu areal, hanya ruang sel kami saling terpisah. Kami bisa saling melihat dan berkomunikasi. Sedangkan kawan-kawan yang lain ;Suroso, Ken Ndaru, Iwan,Pak Beny tidak tahu dimana mereka ditempatkan?
“Pak petugas. Pak petugas,” teriak Garda yang membuat lamunanku berhenti.
Tak lama kemudian, datang lelaki dengan badan tegap dan rambut cepak.
“Ada apa Garda?,” tanya lelaki itu.
“Saya sakit perut. Semalam saya tidur di lantai tanpa kasur. Mohon saya dibelikan puyer cap “kupu-kupu”,” pintanya.
Permintaan Garda kontan membuat aku tertawa. Ternyata, Garda masih memakai puyer. Aku jadi teringat akan nenekku yang masih memakai puyer untuk mengobati sakitnya, seperti puyer untuk sakit kepala. Anak-anak muda sekarang sudah meninggalkan puyer, berganti obat-obatan yang lebih praktis.
Hanya lima menit, lelaki yang bertugas menjaga kami datang kembali dengan membawa puyer permintaan Garda. Aku kaget, ternyata di tempat ini ada persedian stok puyer cap “Tai Ping San”.
“Kamu tertangkap di mana bung?,” tanyaku.
Semalam saat kami bertemu untuk pertama kalinya di sini, tidak ada pembicaraan yang serius. Kami hanya saling melambaikan tangan. Fisik kami sudah sedemikian lelah. Aku sendiri diintrograsi selama 26 jam non-stop. Bukan hanya tidak tidur selama itu, tetapi otak-ku diperas untuk menjawab pertanyaaan-pertanyaan mereka. Ditambah, tekanan, caci-maki, hinaan, terror, intimidasi. Sebuah proses intrograsi yang menguras emosi.
“Aku tertangkap Hari Senin dini hari (12 Agustus 1996) bung. Waktu itu aku bersembunyi di rumah Pak Un. Dia mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya, beberapa kali kami bertemu di kampus UI. Ketika kos-kos-an nya kudatangai dan aku ingin numpang bersembunyi, dia menyanggupi. Karena kami berempat, ia yang mengalah tidur di tempat lain,” jawabnya.
Dari cerita Garda ini, aku baru tahu ternyata ia bersembunyi bersama Ignatius Damianus Pranowo (Sekjen PPBI), Ignatius Putut Ariontoko (anggota SMID Purwokerto), Viktor Da Costa (anggota SMID Jabotabek). Proses penangkapannya berjalan dengan brutal. Tanpa mengetuk pintu, aparat langsung mendobrak pintu. Garda terkena pukulan dan tendangan, diseret dengan paksa sebelum dibawa ke dalam mobil. Rekan-rekannya, ditangkap dalam keadaan mata ditutup dan diborgol.
Kata Garda pula, sepanjang perjalanan dimobil, ia dipaksa dalam posisi tidur dan kepalanya diinjak kaki.
“Saya nggak tahu di daerah mana ini. Ketika kaki mereka sudah tidak menginjak kepalaku, dan aku bisa duduk, tahu-tahu sudah masuk komplek ini.
“Aku juga tidak tahu kabar ketiga kawan kita ini? Apakah mereka disiksa? Ditempatkan di mana? Aku sama sekali tidak tahu,” ungkapnya.
“Bung kita koordinasi dulu ya. Biar kita siap menghadapi intrograsi selanjutnya. Terutama naskah “Manifesto Politik PRD”, harus seragam jawabannya. Kalau ditanya tentang Roy, bilang saja nggak pernah bertemu,” kata Budiman menghentikan pembicaraan kami berdua.
Roy yang dimaksud adalah Daniel Indrakusuma. Setelah Pengurus Pusat PRD, dia juga orang yang paling dicari aparat. Aku terakhir bertemu dengannya sekitar tanggal 30 Juli. Saat itu, aparat sudah memburu kami. Dalam sebuah rapat, yang dihadiri aku, Budiman, Nezar Patria, Yokobus Eko Kurniawan, dan beberapa kawan lainnya, memutuskan untuk menemui Roy. Kawan-kawan ingin memastikan Roy tidak mempunyai kesulitan bersembunyi. Aku yang ditunjuk untuk menemuinya.
Dengan dikawal Alit (SMID Jabotabek) aku berangkat dari tempat pesembunyian utama kami(kos-kos-an Dedy Beruang) di sekitar Kampus ISIP menuju ke Depok. Untuk menyamarkan wajahku, aku memakai topi. Sebuah perlindungan diri yang minim, untuk menghindari incaran penangkapan aparat. Alit pun hanya memantau diriku. Jarak aku dan dia cukup jauh. Kami tidak saling ngobrol. Tugas utamanya bila aku tertangkap, ia yang harus melapor ke kawan-kawan.
Sesampai Terminal Depok, Alit sudah tidak boleh mengikuti aku lagi. Dia tidak boleh mendatangi tempat Roy berada.
“Kalau sampai satu jam aku tidak kembali ke sini, berarti aku tertangkap,” jelasku.
Dengan naik angkot aku menuju Perumahan Depok. Jaraknya tak jauh dari Terminal Depok.
“Aman-aman saja di sini,” tanya ku ke Roy.
Dengan tertawa kecil dia menjawab kalau di sini tidak perlu ada yang dikuatirkan. Selain dia, di rumah itu ada Weby Warouw. Mereka sedang sibuk meng-kliping berita di media cetak. Berbagai koran, majalah, dan tabloid berserakan di lantai.
Di rumah itu sudah tidak ada kawan-kawan dari Timor Leste. Biasanya aku melihat Puto dan kawan-kawannya sering kemari. Rumah ini memang markas bawah tanah PRD dan pejuang Timor Leste. Hanya aku saja yang boleh datang ke tempat ini.
Tiba-tiba terdengar dering telpon. Roy segera mengangkat telpon. “Halo Arif, kami di sini baik-baik saja. Tenang saja, kami bisa menjaga diri. Justru ini situasi yang bagus. Kedepannya, akan terjadi peningkatan eskalasi perlawanan rakyat melawan Soeharto,” jawab Roy kepada lawan bicaranya.
Ketika kutanya Arif itu siapa?, Roy menjawab itu Arif Budiman. Arif Budiman adalah intelektual dari Kota Salatiga yang sangat kritis kepada Orba. Tanggal 27 Juli dia bersama Budiman duduk dalam sebuah rapat, pada saat yang sama Kantor DPP PDI diserbu.
“Dia menyesalkan ini terlalu cepat terjadi. Aku jawab, justru kita harus yakin saatnya kini Soeharto jatuh,” ujarnya.
Aku menyampaikan hasil rapat kawan-kawan. Dia jawab bahwa itu sudah disiapkan. “Kami bisa atur sendiri. Kalian fokus dengan diri kalian sendiri, bagaimana bisa bersembunyi dengan terorganisir,” balasnya.
Kembali Diintrograsi
Hari ini, hari ketiga kami disekap. Baru hari ini kami diberi kesempatan mandi. Kamar mandinya jorok sekali. Banyak kecoak berkeliaran di setiap sudut kamar mandi itu. Bak mandinya sudah berlumut, pertanda sudah lama tidak dibersihkan.
Masih untung, air mengucur lancar tanpa henti. Kamar mandi itu letaknya tepat di sebelah kiri selku, lebih luas ruangannya. Untuk masuk ke dalamnya, harus membuka pintu yang terbuat dari jeruji besi. Persis seperti bentuk sel kami, hanya di dalamnya ada bak mandi dan WC.
Ketika namaku di panggil, sirna seketika kenyaman yang baru kunikmati. Dengan langkah ogah-ogah-an aku berjalan mengikuti petugas yang memanggilku. Seorang Marinir yang menenteng M16 ikut mengawal aku. Aku dengar, atasan mereka memerintahkan tembak di tempat bila aku melarikan diri.
Baru saja aku duduk di kursi, di sebuah ruangan yang persis seperti kemarin, tiba-tiba masuk pria berpakain safari. Usianya kira-kira 50-an. Tampak tergesa-gesa menemui aku.
“Siapa ini?,” bentak orang itu.
“Aku nggak tahu pak,” jawabku.
“Lihat dulu baik-baik, pelan-pelan jangan tergesa-gesa melihatnya,” .
Aku pura-pura melihat dengan cermat. Kuperhatikan foto itu adalah Roy yang sedang berdiri di dekat kursi dengan motif ukiran Jepara. Ruangan di mana Roy berdiri tidak kukenali. Seperti biasanya, dia tidak tersenyum dan sorot matanya tajam. Aku yakin, dia sedang tidak dalam pose untuk difoto. Gambarnya diambil dari jarak jauh.
“Saya nggak kenal orang ini pak,”
Orang itu langsung membentakku. “Kamu ini mau keluar dengan selamat atau tidak! Nggak ada yang bisa menolongmu di sini! Tempat ini sangat rahasia, tidak banyak pihak yang tahu,” teriaknya dengan kasar.
Sementara temannya yang satu lagi, memakai kacamata dan berkulit hitam, ikut berbicara. Ngomong lebih pelan, tapi bagiku dia lebih intimidatif.
“Kamu nggak sayang sama Ibu dan adikmu. Nama ibumu Lidya Sri Hartuti kan? Rumahmu belakang Toko Roti Pauline kan?,”
Lamunanku langsung melayang ke Ibuku. Sungguh aku mengkuatirkan nasib Ibu dan adik-adiku. Di Ambarawa, sebuah kota Kecamatan, yang jauh dari Jakarta. Siapa yang akan mau menolong mereka? Apakah mereka akan tahan mendapat kecaman dari masyarakat? Dengan tuduhan sebagai keluarga komunis. Belum lagi aparat militer di daerah, lebih kejam daripada di Jakarta. Semua bayangan buruk itu berkecamuk dalam pikiranku.
Aku teringat betapa murka dan geramnya Budiman, ketika kedua orang-tuanya dipaksa untuk berbicara di Televisi. Mereka dipaksa berbicara agar Budiman menyerahkan diri.
Bahkan, keluaraga Garda mendapat perlakuan lebih keji lagi. Tadi, dia didatangi salah satu introgrator yang menanyakan peluru senapan di rumahnya. Garda marah, karena peluru itu membuat ibundanya ditahan.
“Bangsat, mereka menyandera ibuku selama dua minggu ini karena aku belum tertangkap. Mereka berdalih di rumahku ada peluru. Mereka menuduh aku akan menggunakan senjata untuk melawan pemerintah,” teriaknya sambil tangannya memukul jeruji besi selnya.
Veronika, berusia 60 tahun, ibunda Garda ditahan di Polwil Bogor. Peluru yang ditemukan adalah peninggalan mendiang ayahnya, Mayor (Purn) K. Sembiring, atase militer yang pernah bertugas di Burma. Beliau meninggal tahun 1983.
Lamunanku berhenti seketika karena bapak itu mengebrak meja. Dia membuka laci mejanya dengan kasar sekali, wajahnya tampak marah. Seketika pandanganku beralih kepadanya. Ternyata di laci itu ada pistol. Sengaja dia memperlihatkannya ke aku. Tanpa kata-kata, tapi telah membuat denyut jantung bergerak lebih cepat lagi.
Karena aku lama terdiam, orang itu berteriak memanggil temannya yang lain. “Bawa ke sini saja alat deteksi kebohongan. Kita periksa Sekjen PRD ini. Kalau dia bohong, pistol ini yang akan berbicara,” teriaknya dengan nada marah.
Aku semakin ketakutan. Aku tidak berani melihat wajah orang itu. Kutundukan mukaku. Lama orang itu tidak bersuara. Aku berusaha menenangkan diri. Tiba-tiba suasana yang menegangkan itu, terselamatkan oleh kedatangan introgrator yang lain. Wajahnya putih, khas orang Menado. Masih muda, sekitar 30-an tahun.
“Begini Petrus. PRD dan juga SMID sering aksi. Pasti memerlukan dana tidak sedikit. Coba kau hitung aksi kalian di Jakarta waktu lompat pagar Kedubes Belanda dan Rusia? Berapa itu biayanya? Ada yang datang dari Surabaya, Semarang Yogya, belum kota lainnya. Dua hari kemudian sudah aksi ke Sritex, Solo. Mana mungkin nggak pakai dana? Saya mau tanya siapa donator kalian?,” tanyanya dengan mata melotot.
“Kami tidak punya donatur. Kalau teman-teman mahasiswa aksi memakai uang sendiri. Kalau buruh biasanya nabung dulu. Kami menghidupi organisasi dengan menjual Koran Independen yang diterbitkan oleh Aliansi Jurnalis Indepen dan buku-buku politik. Kami mandiri tidak tergantung donatur,” jelasku.
“Ini kartu apa? Ngaku saja, Hariman Siregar donatur kalian kan? Siapa lagi? Pasti ada yang dari luar negeri. Dari Australia kan?,” tanya lagi dengan muka marah.
Orang itu ternyata memperlihatkan kartu berobat Klinik Baruna. Klinik itu milik Hariman Siregar. Aku memang pernah berobat ke sana, bahkan pernah melakukan tindakan operasi di klinik itu.
“Saya pernah berobat di sana pak. Saya tidak pernah menerima dana dari Hariman Siregar,” jawabku dengan pelan.
Orang itu marah dengan jawabanku. Kali ini dia menepuk kepalaku. Caci maki dan sumpah serapah dilontarakan orang itu kepadaku. Aku tetap diam dan tidak menanggapi kemarahannya.
Tiba datang lagi introgrator lain, yang belum pernah kujumpai juga. Dengan menenteng handycam dia memperlihatkan gambar rekaman. Ya Tuhan, ternyata gambar Mbak Ning (Ribak Tjiptaning) sedang diintrograsi. Wajahnya begitu tertekan. Aku geram melihat rekaman itu. Ternyata, mereka juga menyekap Mbak Ning di sini.
“Itu Mbak mu kan Petrus? Mbak Ning, kalian memanggilnya. Katanya, kamu sering ke sana untuk berobat. Dia suka kasi dana kan? Kamu dan dia, serta salah satu orang anggota DPR RI dari PDI, pernah membicarakan people power kan? Ayo ngaku aja,” bentaknya.
Mbak Ning adalah seorang dokter. Dia aktif di PDI Cabang Tangerang. Dia termasuk pendukung Mega yang loyal. Bisa dikatakan juga faksi radikal di tubuh PDI Mega. Aku sering kesana untuk berobat gratis. Dia membuka klinik di Jalan Haji Mencong, Cileduk. Mbak Ning sangat mendukung gerakan kami.
Dia sering membantu aktivitas organisasi kami. Bantuan terbesar dia adalah menyediakan bus gratis. Nama bus yang sering kami tumpangi menuju kota di Jateng adalah Bus Sedya Mulya. Berkali-kali aku ke Semarang dan Solo menggunakan Bus itu.
Ternyata, bukan hanya PRD yang disekap di sini. Banyak pihak yang pernah berhubungan dengan PRD juga dibawa ke sini untuk diintrogarasi. Mereka memburu lawan-lawan politik Soeharto.
HUT RI
Terdengar alunan musik militer. Seperti yang kukenal selama ini, lagu yang dimainkan itu untuk mengiring upacara bendera. Terdengar begitu keras. Dan ketika Naskah Proklamasi dibacakan, aku jadi tersadar kalau hari ini adalah Hari Kemerdekaan Negara RI. Sungguh, aku lupa akan hal itu.
Proses intrograsi yang melelahkan dan menekan pikiran serta psikologiku, membuat aku tidak mengetahui tanggal dan hari yang sedang kulalui.Hari ini, di mana seluruh rakyat Indonesia sedang bersukacita karena memperingati kebebasannya dari alam penjajahan, tetapi diriku dan kawan-kawan ku di sini meringkuk dalam sel, dan kebebasan kami dirampas.
Dua hari yang lalu aku baru mengetahui kalau tempat ini adalah markas BIA (Badan Intelejen ABRI). Aku mengetahuinya, setelah menemukan meja-meja yang ada dalam ruangan itu tertulis BIA. Bahkan, Garda mendapat bocoran dari para Jaksa yang memeriksanya kalau ini Markas BIA bagian penyelidikan, tepatnya SATLID BIA (Satuan Penyelidik BIA). Semakin kuat ini markas BIA, karena di hari pertama aku melihat Zaki Anwar Makarim.
Aku juga sempat mencuri Koran Kompas. Mereka memberitakan kalau pimpinan PRD masih ditahan dalam lingkungan Kejagung. Yang mengatakan Humas Kejagung, Pontas Pasaribu dihadapan wartawan yang mendatangi Gedung Bundar.
Budiman, di sini bertemu dengan temannya semasa di Yogyakarta, aku juga kaget ternyata teman ku di desa juga ada yang menjadi intel BIA. Syok juga, kalau orang yang dekat dengan kita ternyata intel.
Sudah lama aku selesai mandi, tapi tidak ada panggilan untuk intrograsi. Bagiku, hari ini benar-benar menjadi hari yang menyenangkan. Aku sendiri yang tidak dibon, atau diperiksa. Garda dan Budiman sudah dijemput dan dibawa keluar dari selnya. Ketika sedang melamun, tiba-tiba datang seorang pria tinggi, wajahnya brewokan dan berkacamata, dan berambut kriting.
“Selamat siang Petrus,” sapanya.
Aku langsung mengenalinya sebagai Yorys Raweyai, Sekjen Pemuda Pancasila (PP). Aku hanya terdiam dan terkejut atas kedatangannya. Dalam hati aku bertanya siapa dia kok bisa masuk ke tempat yang sangat dirahasiakan ini. Begitu pentingnya dia sehingga orang sipil bisa masuk ke markas intelejen ABRI?.
“Sudahlah, kamu jangan melawan. Teman-temanmu sudah tertangkap. Sebaiknya kamu bekerjasama dengan pemerintah untuk menyerahkan semua rahasia PRD,” ucapnya dengan dingin.
Aku muak dengan ajakannya. “Aku akan menghadapi semua resiko yang akan terjadi. Bung jangan coba-coba mengancam saya. Percuma saja bung datang kemari,” jawabku dengan nada ketus.
Dan bung yang brewokan ini terus memberi nasehat. Aku pura-pura mendengar. Orang ini adalah tangan kanan Soeharto. Bersama Ketuanya, Yapto, Pemuda Pancasila adalah organisasi kaum preman. Banyak aksi kekerasan yang dilakukannya kepada komponen masyarakat lain. Dan PP sangat setia dan memuja kepempinan Soeharto.
Dibebaskan
Sore hari itu, aku dan Garda, sungguh merdeka. Kami tetap berada di sel, tidak diintrograsi lagi. Sungguh, sebuah situasi yang sangat menyenangkan. Tak ada lagi sport jantung menghadapi para introgrator BIA. Kegembiraan ini kami tumpahkan dengan bernyanyi sekeras mungkin. Bahkan sang penjaga kami, anggota Brimob Kelapa Dua, bernama Edy, turut serta bergembira dan bernyanyi.
“Sudah sejak tanggal 27 Juli sampai hari ini, aku belum istrahat. Tidur hanya satu – dua jam. Kadang berhari-hari tak mandi dan berganti seragam. Stres rasanya. Apalagi pas tanggal 27 Juli, takut juga menghadapai kalian yang jumlahnya begitu banyak dan bersenjata batu,” keluhnya ke aku dan Garda.
Dengan meneteng M16, yang dia jadikan seolah-olah gitar, bernyanyilah dia bersama kami. Lagu “Isabela” kami nyanyikan berulang-ulang penuh penghanyatan. Batin kami yang sama-sama tertekan seketika itu lepas, lari dan menghilang. Plong, lega rasanya. Suara kami yang begitu keras, ternyata tidak ada yang terusik. Dan kemana para cecunguk BIA itu ? Sepi, sepertinya mereka menghilang entah kemana.
Ketika hari mulai gelap, Budiman datang dari ruang intrograsi. Mukanya lelah, badannya tak bertenaga. Setelah para penjaga menghilang, dia meminta diskusi sebentar.
“Kita harus mogok makan. Kalau tidak segera dibebaskan dari tempat jahanam ini, kita mogok makan. Entah sampai kapan kita dapat menjaga rahasia organisasi? Rasanya, setiap detik adalah teror bagiku,” ujarnya.
Kami berdua setuju. Kami berdua juga merasa sangat tertekan di sini. Semua pertanyaan mereka, tidak ada yang mengarah kepada proses penyidikan pro justicia. Seenaknya mereka bertanya. Apa saja ditanyakan, terutama yang menyangkut rahasia organisasi. Dan harus mendapat jawaban. Intimidasi, cacian, hinaan,teror, mereka lakukan bila kita menolak menjawab atau tidak tahu. Kami bertiga juga menyakini, kalau kawan-kawan yang lain, yang sampai hari ini belum pernah kita jumpai, mendapat siksaan fisik. Mereka akan menggunakan berbagai cara untuk mendapat jawaban dari kami.
Sebelum ancaman mogok makan kita nyatakan, terdengar suara orang ramai sekali orang mendatangi sel kami. Bahkan, deru suara beberapa mobil terdengar jelas. Salah satu dari mereka membuka sel ku. Dibawanya aku keluar sel. Di luar, kulihat ada beberapa mobil, dan lebih dari sepuluh orang aparat.
“Mata kamu saya tutup ya,” ujar salah satu perutagas BIA.
Kain hitam itu menutupi kedua mataku. Sempat terbesit di kepalaku apakah ini yang namanya akan dieksekusi. Aku dibawa masuk ke dalam mobil. Entah berapa orang yang mengawal. Sekitar 10 menit mobil berjalan, terdengar keramaian mobil-mobil di jalanan. Aku menduga itu sudah di luar komplek BIA.
Dan sekitar 30 menit, suara keramaian itu semakin jelas kudengar. Tutup mataku kemudian dibuka. Dan terlihat jelas kalau itu di daerah Blok M. Seketika itu juga aku merasa lega. Pasti aku akan diserahkan ke Kejagung. Rombongan mobil langsung memasuki komplek Kejagung. Di sana (dini hari Pukul 01.00 tanggal 18 Agustus 1996), kami diserahkan kepada Kepala Rutan Salemba Cabang Kejagung. Seketika itu juga, beban yang menghimpit diriku menghilang. Begitu lega, keluar dari tempat yang seperti neraka itu.
oleh : Petrus Hariyanto
tulisan ini pernah dimuat di bergelora pada tgl 19 Agustus 2018