Oleh: Erizeli Jely Bandaro*
TADI pagi ada Inbox masuk. Dia bertanya “sejauh mana sih, babo suramnya keadaan Indonesia ketika diserahkan ke Pak Dhe ?”
Saya tersenyum membaca inbox dengan nada lugu.
Kalau saya jawab lewat inbox, akan panjang dan tentu akan terjadi dialog panjang. Makanya saya pilih menjawabnya lewat postingan ini agar members bisa membacanya.
Tahukah kamu …
Ketika kali pertama Jokowi masuk Istana, dia mendapati kas belanja kosong, bahkan minus. Untuk bayar hutang dan bunga saja harus cari utangan.
Kalau Jokowi cetak uang dengan menjaminkan devisa yang ada, maka hanya hitungan minggu, mata uang akan jatuh dan hiper inflasi akan terjadi tanpa bisa di kendalikan lagi. Apalagi devisa hanya cukup untuk belanja 4 bulan.
Kalau Jokowi menarik hutang untuk belanja, maka itu akan semakin dalam masalah yang ada dan semakin sulit upaya memperbaiki keadaan.
Kondisi indonesia saat itu secara makro dalam kondisi genting sekali. Kalau terlambat mengatasi maka akan lebih buruk keadaannya dibandingkan pasca kejatuhan Soeharto.
Mengapa ?
Sejak tahun 2012 indonesia mengalami defisit primer APBN. Dimana kalau dihitung dari pendapatan dikurangi belanja diluar pembayaran bunga utang terjadi defisit sebesar Rp 45.5 triliun dan menjadi Rp 96 triliun di tahun 2013, pada APBN Perubahan 2014 menjadi Rp 111 triliun.
Artinya APBN sudah tidak sehat atau sudah tekor. Pemerintah sudah tidak mampu membayar cicilan bunga utang dengan pendapatan yg dimiliki, sehingga akhirnya gali lubang tutup lubang, dimana untuk membayar cicilan bunga utang, pemerintah sepenuhnya harus menarik utang baru.
Disamping itu ketimpangan yang makin lebar. Rasio gini selama 10 tahun terakhir turun menjadi 0,5.
Indeks Gini ini biasanya digunakan untuk mengukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan suatu negara.
Dengan indeks gini di atas 0.4, ketimpangan di Indonesia tergolong tinggi.
Ini bisa mengancam stabilitas politik, karena bisa digunakan oleh petualang politik untuk terjadinya chaos.
Juga tidak ada perluasan industri. Kontribusi industri terhadap PDB menurun.
Neraca perdagangan melorot.
Pada 2004, neraca perdagangan surplus 25.06 miliar dollar AS, menjadi defisit 4.06 miliar dollar AS pada 2014.
Memang pertumbuhan ekonomi kita tinggi diatas 5-6% di era SBY. Tetapi tidak menciptakan lapangan kerja yang luas.
Elastisitas 1 persen growth dalam membuka lapangan kerja turun dari 436.000 menjadi 164.000.
Itu karena bisnis rente lebih banyak dari pada yg tradeble.
Efisiensi ekonomi semakin memburuk, ditandai dengan semakin tingginya indeks ICOR, dari 4.17, menjadi 4.5. Nilai tukar petani selama 10 tahun terakhir turun 0.92. Itu karena inefisiensi birokrasi, korupsi dan keterbatasan infrastruktur.
Sementara itu sepanjang pemerintahan era SBY, tax ratio turun 1.4 persen. Padahal 90% lebih penerimaan dari Pajak.
Sumber pembiayaan dari hutang semakin sulit dan kalau dipaksa akan mencemaskan fundamental ekonomi kita.
Bayangkan disituasi seperti itulah Jokowi memimpin negara ini …
Selama 10 tahun SBY berkuasa, kita membakar uang kurang lebih 3 ribu triliun hanya untuk memanipulasi harga melalui subsidi BBM agar rakyat tetap bisa dimanjakan dengan harga kebutuhan pokok rendah. Kekuasaan yang menipu lewat harga …
Dan ketika Jokowi berkuasa, Indonesia tidak ada duit berlebih untuk memanjakan dan menipu rakyat lewat subsidi bego.
Utang tidak mudah lagi didapat karena harga minyak jatuh.
“Kalaulah ekonomi yg diwariskan SBY sangat bagus, Jokowi yang tukang kayu itu, yang bukan elite politik, tidak akan mungkin jadi Presiden. Tetapi karena semua elite takut menghadang masalah, maka si krempeng itu dicemplungkan jadi Presiden,” kata teman aktivis.
Sementara, untuk membuat kebijakan yang reformis berkaitan dengan APBN, tidaklah mudah. Karena DPR dikuasai oleh koalisi Merah Putih.
Tentu mereka tidak ingin ada kebijakan yang akan merugikan kepentingan oligarki bisnis dibalik koalisi itu.
Terdengar kabar bahwa KMP harus mengamankan bisnis kartel dibidang migas, pangan dan distribusi sembilan bahan pokok. Karena oligarki bisnis yang ada dibalik KMP berjasa menjadikan mereka duduk di DPR.
Tetapi itulah kehebatan Jokowi …
Dengan nyali yang besar, dia berhasil meyakinkan TNI dan Polri atas langkah yang harus dilakukannya dalam rangka mengamankan stabilitas ekonomi.
Langkah besar dan berani itu adalah mengalihkan subsidi BBM ke sektor yang produksi dan memangkas belanja pegawai.
Dengan restruktur APBN ini, maka Pemerintah punya ruang untuk menggerakan mesin ekonomi negara yang terancam bangkrut.
Agar APBN kredibel, maka sektor yang mengakibatkan biaya ekonomi tinggi seperti impor BBM, Pangan dan lain sebagainya di hapus dari kegiatan ekonomi.
Pada waktu bersamaan, Jokowi melakukan reformasi pajak dengan program pengampunan pajak.
Dengan demikian daftar wajib pajak semakin tersasar secara akurat dan ke depan potensi pajak akan menjadi potensi ekonomi demi tegaknya keadilan bagi semua.
Setelah APBN kredible, maka dampaknya kepercayaan investor institusi kembali bangkit dan Indonesia menjadi radar investasi bagi investor dalam dan luar negeri.
Saat itulah Jokowi memanggil pulang SMI agar terlibat menjaga momentum perbaikan APBN dan membuat APBN semakin kredible dihadapan publik.
Dengan semakin krediblenya APBN, maka pemerintah tidak lagi bekerja atas dasar uang yang ada tetapi money follow program. “Tidak lagi money follow function, jadi yang betul mestinya money follow program, ya program kita apa, kita fokus kesitu.“ demikian kata Jokowi setahun setelah dia berkuasa.
Saat itu indonesia sudah menjadi kekuatan sistem yang menjadi magnet financial resource untuk mempercepat pembangunan dan kemakmuran.
Ternyata setelah 3 tahun Jokowi jadi Presiden, justru dia bisa menyelesaikan masalah negara yg dijurang kebangkrutan. Setidaknya walau belum bisa mensejahterakan rakyat semua, namun proses perbaikan dan pemulihan terus terjadi dan menuai hasil.
Inilah hasilnya 3 tahun Jokowi berkuasa. Jika tahun 2014 pangsa pasar industri mencapai 1.74 persen secara global. Kini pangsa pasar meningkat menjadi 1.83 persen.
Dan ini berdampak dengan naiknya peringkat daya saing industri kita, bila tahun 2014 peringkat 12 dan sekarang peringkat 9. Artinya kalau tidak ada pasar, tidak mungkin industri tumbuh.
Indonesia merupakan salah satu negara yang kontribusi industri manufakturnya terhadap PDB lebih dari 20 persen. Ini peringkat keempat setelah Korea Selatan dengan sumbangan 29%, Tiongkok 27% dan Jerman 23%.
Jadi pasar melihat bahwa kebijakan ekonomi Jokowi yang berorientasi produksi telah berada dijalur yang benar.
Untuk mengetahui kinerja Pemerintah, maka lihatlah trend bursa. Karena penilaian bursa itu objektif dibandingkan pengamat atau ekonomi apalagi politisi.
Tahun 2017 pencapaian target perusahaan yang listing di pasar modal atau IPO melesat melebihi target yang ditetapkan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) sebanyak 35 perusahaan.
Bahkan pihak BEI menyebut jumlah perusahaan yang menggelar penawaran perdana tahun ini tercatat paling banyak selama lebih dari 20 tahun terakhir. Index Bursa tembus 6,000 dipenghujung tahun 2017. Prestasi ini tidak pernah terjadi selama negeri ini merdeka…
*Cobalah bayangkan, kalau Jokowi mengikuti rencana yang sebelumnya di era SBY yaitu tetap memberikan subsidi BBM, tetap berhutang untuk konsumsi, tetap mengabaikan pajak, tetap membiarkan bisnis mafia migas dan lain-lainnya, maka APBN akan kehilangan trust terhadap publik dan akhirnya mendorong pemerintah mencetak uang seperti Arab dan Venezuela sehingga berdampak hiper inflasi.
Kini di Venezuala orang kehilangan segala-galanya dari kemelimpahan subsidi harga yang diberikan pemerintah berpuluh tahun. Tidak ada kemakmuran … yang ada adalah luka parah yang hanya melahirkan pemimpin populis oportunis … menipu dan merampok rakyat.
Anda tidak perlu memuji Jokowi, tidak perlu membantunya, kalau tidak ingin mendukungnya, tetapi cobalah jadi orang beriman dan berahlak. Pandai-pandailah bersyukur atas karunia Tuhan yg telah melahirkan pemimpin yg tepat disaat yg tepat.
Nikmat apalagi yang kamu dustakan, wahai saudaraku ? Jadi berhentilah buat opini yg merendahkan prestasi nyata. Kalau tidak bisa berterimakasih, lebih baik diam!
*Penulis Erizeli Jely Bandaro pengamat ekonomi politik