JAKARTA- Pada peringatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2018, pelaku kekerasan seksual masih menempati urutan kejahatan tertinggi terhadap kaum perempuan di Indonesia. Bahkan seorang calon petahana gubernur Pilkada Lampung, Ridho Ficardo yang pernah melakukan kekerasan seksualpun masih berani mencalonkan diri kembali dalam Pilkada Lampung 2018.
“Dia harus mundur dan tidak ada toleransi!” demikian Damairia Pakpahan perintis gerakan Perempuan dalam Kelompok Gerakan Perempuan Cut Nyak Dien Kamis(8/3) ketika ditanyakan apa yang harus dilakukan pada pejabat publiki seperti di atas.
Damairia Pakpahan menggambarkan masyarakat yang mendiamkan bahkan menerima pejabat publik yang melakukan kekerasan seksual terhadap kaum perempuan sebagai masyarakat yang apatis.
“Sebagian masyarakat kita apatis dan menerima kenormalan yang busuk menjadi kebiasaan dan ditoleransi. Apalagi dengan politik uang. Para politisi patriakh yang busuk bisa diterima. Mereka ini kemungkinan melakukan korupsi juga besar karena u membiayai kehidupan seksual mereka butuh biaya besar. Dan sebagaian masyarakat berpartisipasi dalam kekerasan seksual itu. Bila kita diam, kita pun berpartisipasi,” ujarnya
Ia menyesali dan mempertanyakan lolosnya petahana gubernur yang pernah berkasus kekerasan seksual tetap lolos untuk ikut serta dalam Pilkada 2018 kali ini.
“Karenanya kita harus berani menentang dan memperjuangkan agar pelaku kekerasan tidak dapat dipilih bahkan untuk jadi calon sekalipun, KPU harus berani menentang ini seharusnya,” ujarnya.
Damairia menegaskan agar masyarakat bertanggung jawab dengan cara melawan semua politisi yang terpilih menjadi pejabat publik. Semua masyarakat yang sadar menurutnya tidak boleh mendiamkan perilaku kekerasan seksual pada kaum perempuan yang saat masih terus ditutupi dan tidak tersentuh hukum.
“Sebagaian masyarakat menurutnya masih menerima kekerasan seksual sebagai hal normal,– dan ini bahaya. Kita yang sadar dan kritis mesti melawan ini dan menantang kenormalan yang merusak kaum perempuan dan juga laki-laki. Kita mesti menantang para patriakh yang melakukan kekerasan seksual. Mereka adalah politisi busuk yang harus dilawan!” tegasnya.
Menurutnya, pelaku kekerasan tidak tersentuh hukum karena aparat penegak hukum selain masih bias gender karena pendidikan yang juga bias gender dan budaya patriarki yg masih dan makin menguat dengan tafsir agama yg patriarkis bahkan misoginis/anti perempuan.
“Juga reformasi hukum kita masih belum bertransformasi menjadi lebih adil dan setara pada perempuan. Pelaku kekerasan mesti dididik dibuat jera, bukan dengan hukum kebiri, karena bertentangan dengan hak asasi manusia. Melainkan dengan pendidikan dalam arti luas termasuk konseling dan terapi dalam lembaga pemasyarakatan,” ujarnya.
Selain itu ia mengingatkan masyarakat mesti dididik bahwa kekerasan seksual tidak dapat ditoleransi. Pandangan bahwa laki-laki biasa atau boleh melakukan kekerasan adalah cara pandang racun maskulinitas dan ini harus dirubah dari saat mendidik anak-anak.
“Selain itu pasti menimbulkan persoalan baru, dimana negara akan masuk pada ruang pribadi dan menjadi polisi moral bagi rakyat,” jelasnya.
Menurutnya bias gender yaitu patriarki dalam masyarakat masih berurat berakar, hirarkis,– kelas atas kaum kaya raya dengan bawah atau kaum miskin, laki dan perempuan dan feodal dalam bentuk kaya, miskin.
“Itu semua masih ada dalam alam bawah sadar disebagian kita dan tentu ini juga ada dikalangan DPR RI dan aparatur negara kita,” katanya.
Selain itu menurutnya, masalah kekerasan seksual dianggap hal privat, dalam rumah, antar laki dan perempuan, tidak perlu di bawa ke ranah hukum. Pembentukan negara nasional dengan konstitusi dan Undang-Undang Nasional maupun Konvensi internasional seperti CEDAW tidak serta Merta mentransformasikan perilaku dan budaya kita.
“Jadi political will kita masih lemah untuk mewujudkan ini,” tegasnya.
Untuk itu menurutnya, pemerintah mesti konsisten dan terus memastikan memenuhi Konvensi CEDAW (penghapusan diskriminasi terhadap perempuan).
“Tahun ini fokus hari perempuan internasional adalah perempuan pedesaan. Waktunya sekarang, aktivis desa dan kota melakukan perubahan kehidupan perempuan,” ujarnya.
Kasus Mengendap
Sebelumnya kepada Bergelora.com dilaporkan, Komisi III DPR-RI pernah menangani kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang pejabat daerah yang saat ini mencalonkan diri kembali dalam Pilkada Serentak 2018.
dilaporkan pejabat tersebut tidak datang saat dipanggil oleh Komisi III DPR-RI. Setelah itu kasus mengendap, sampai Pilkada Serentak 2018 seperti yang diberitakan dalam http://lampung.tribunnews.com/2017/04/03/dugaan-pelecehaan-seksual-ridho-ficardo-anti-kimaks-komisi-iii-dpr-hentikan-kasus
Walaupun kasus pelecehan seksual bisa ditutupi, sebelumnya Damairia Pakpahan mengingatkan agar masyarakat selalu berhati-hati dalam memilih para calon kepala daerah yang akan memimpinnya.
“Pilihlah pimpinan yang berintegritas bukan hanya jujur bersih dan tidak korupsi, tetapi yang tidak ada kasus pelecehan pada kaum perempuan. Karena mayoritas pemilih adalah kaum perempuan,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan agar Komnas HAM dan Komnas Perempuan sebagai lembaga negara tidak diam dan aktif dalam mendesak agenda-agenda perlindungan pada kaum perempuan dan anak.
“Kalau para pelaku pelecehan seksual lolos menjadi kepala daerah, bagaimana nasib perlindungan pada perempuan dan anak di daerah itu,–pasti gak akan beres,” tegasnya. (Web Warouw/Salimah)