JAKARTA- Kunjungan Ketua DPR-RI Setya Novanto beserta istri bertemu dengan Kaisar Jepang adalah salah satu contoh tentang upaya berbagai poros kapitalisme global membangun pengaruh memanfaatkan bandit-bandit politik yang rusak secara moral dan mental, rakus harta, haus jabatan, doyan disogok dan bangga jadi kacung kepentingan asing. Hal ini ditegaskan oleh Ketua Presidium Petisi 28, Haris Rusly kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (26/11).
“Kunjungan di luar kebiasaan yang disertai janji Setya Novanto selaku pimpinan legislatif untuk membeli alustista dari Jepang tersebut pasti atas inisiatif pemerintah Jepang sebagai upaya membangun dan mempertahankan pengaruhnya setelah Jepang kalah dari China dalam perebutan projek kereta cepat jarak pendek Jakarta-Bandung,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa Jepang adalah salah satu negara industri maju yang bergabung dalam poros kapitalisme global Trans Pacific Patnership (TPP) bersama Amerika yang telah puluhan tahun menancapkan dominasinya di Indonesia dalam pasar manufaktur dan pasar infrastruktur serta eksploitasi SDA.
“Setelah gagal dalam perebutan pengaruh di lingkaran teras istana negara, Jepang berusaha membangun pengaruh melalui sejumlah bandit politik yang bergabung di dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yang menguasai parlemen, terutama melalui Setya Novanto,” jelasnya.
Sementara itu menurutnya, China yang bergabung di dalam poros BRICS bersama Rusia adalah poros baru dari kapitalisme global yang telah berhasil menancapkan pengaruhnya melalui sejumlah bandit politik di lingkaran teras pemerintahan Joko-Kalla dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), khususnya melalui Presiden Joko, Rini Soemarno, Surya Paloh, serta melalui sejumlah taipan dan saudagar pendukung pemerintahan Joko-Kalla.
Ia mengatakan rusaknya sistem negara pasca amandemen UUD yang disertai oleh lemahnya kepemimpinan Presiden Joko Widodo telah menempatkan bangsa Indonesia bagaikan layangan di tengah badai perebutan pengaruh dari berbagai kepentingan asing untuk menguasai Indonesia.
Ia menegaskan bahwa negara yang tak berdiri di atas landasan sistem yang kuat (UUD 1945) dan tidak dibangun di atas konsepsi (GBHN) menyebabkan setiap kebijakan yang dibuat tidak berdasarkan landasan dan panduan yang baku, dan tragisnya kebijakan tersebut dibuat berdasarkan keinginan subjektif dari Presiden dan para Menterinya.
Kacung Asing
Akibatnya katanya, para bandit politik leluasa beroperasi untuk berebut menjadi kacung kepentingan asing untuk mengubah kebijakan pemerintah agar menguntungkan kepentingan majikannya, seperti terungkap dalam rekaman percakapan Ketua DPR Setya Novanto meminta saham dan projek Freeport.
“Situasi bangsa kita hari ini mengingatkan kita pada sejarah perebutan pengaruh antara berbagai bangsa penjajah untuk menyuap, memecah belah dan menguasai kerajaan-kerajaan di nusantara yang kaya sumber daya alam,” ujarnya.
Ia mencontohkan, ketika bangsa Portugis datang dan bersekutu dengan Kerajaan Ternate (1512). Di saat yang sama bangsa Spanyol juga datang dan bersekutu dengan Kerajaan Tidore (1512).
Dengan berkuasanya kedua bangsa Eropa tersebut di Tidore dan Ternate, maka mulai terjadi pertikaian terus-menerus antar kedua kerajaan yang sebelumnya hidup berdampingan secara damai. Hal itu terjadi karena kedua bangsa Eropa itu sama-sama berambisi memonopoli hasil bumi dari kedua kerajaan tersebut.
“Politik suap dan devide et impera adalah cara efektif yang selalu digunakan dalam melemhkan sebuah bangsa agar mudah dikuasai dan diperintah,” jelasnya.
Ia mengingatkan, kata “devide et impera” tersebut adalah sebuah kata kerja, yang berarti, “pecah dan kuasai”. Kata se-sinonim juga ada di dalam kebiasaan orang-orang Inggris yang biasa mengatakan “devine and rule”, atau bisa diartikan, “pecah dan perintahlah”. Maksudnya, setelah terpecah menjadi kekuatan-kekuatan kecil, maka harus segera di kuasai dan diperintah karena telah lemah.
“Menghadapi keadaan bangsa Indonesia yang bagaikan layangan di tengah badai tersebut, kita harus bekerja keras melahirkan Generasi Baru dengan Kekuatan Baru yang menjadikan Pancasila sebagai landasan untuk menyatukan dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari ancaman nyata dominasi berbagai poros kepentingan kapitalisme global memanfaatkan rusaknya moral elite politik tua yang saling sandera satu dengan yang lain,” tegasnya. (Aan Rus)