Oleh: Dr. Kurtubi *
SAYA berpendapat dan menyarankan ke Pemerintah agar sebaiknya jangan dulu menaikkan harga BBM Bersubsidi pada saat inflasi berhasil dikendalikan sangat rendah, hanya 4,9%, lebih rendah dari inflasi di negara-negara maju !!!
Bahkan data terakhir dari BPS nenunjukkan terjadinya DEFLASI hingga Inflasi turun dari 4,9% menjadi 4,6% !!! Harus diakui ini ‘prestasi’ Pemerintah berhasil mengendalikan inflasi rendah sehingga ekonomi rakyat bisa mulai tumbuh.
Sebaiknya kondisi yang sangat positif ini tetap dijaga dulu, jangan buru-buru menaikkan harga BBM Bersubsidi.
Pandemi covid-19 masih menular meskipun sudah berkurang tapi dampak negatif dari Invasi/Perang Rusia – Ukraina masih sangat besar mempengaruhi supply dan harga pangan dan energi dunia. Pemerintah mengalami kesulitan dengan APBN yang sangat terbebani dimana jumlah subsidi BBM dan LPG yang menjadi sangat besar hingga menembus Rp500 T. Saya sarankan sebaiknya dicarikan solusi yang tidak memberatkan rakyat dan solusinya ini juga harus sesuai dengan Konstitusi.
Solusi yang saya usulkan adalan naikkan penerimaan APBN dari kegiatan usaha penambangan batubara dengan jalan pemerintah menaikkan prosentase Pajak dan Royalti/PNBP yang harus dibayar oleh Penambang/Investor Batubara. Sehingga Pajak dan Royalti/PNBP yang disetor ke Negara/APBN menjadi lebih besar dari keuntungan bersih yang diperoleh oleh penambang batubara.
Kebijakan seperti ini mengikuti praktek yang berlaku di industri Migas Nasional, dengan Sistim Kontrak Bagi Hasil di Sektor Migas, NegaraAPBN dijamin memperoleh bagian yang lebih besar, sebesar 65% dan penambang/investor migas memperoleh keuntungan bersih 35%.
Sistem yang berlaku di industri migas ini sudah berjalan dengan baik lebih dari 50 tahun. Sehingga sangatlah wajar jika penambang/investor batubara juga harus setor Pajak dan PNBP ke negara lebih besar dari keuntungan bersih yang diperoleh setiap tahun oleh penambang batubara. Sebab batubara dan migas sama-sama merupakan kekayaan Sumber Daya Energi yang ada diperut bumi yang harus dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sesuai pasal 33 UUD’ 45.
Sedangkan mengenai sangat rendahnya PRODUKSI Migas yang telah terjadi selama DUA PULUH tahun sejak berlakunya UU Migas No.22/2001 yang sudah terbukti melanggar Konstitusi dan tidak disukai oleh investor,—saya usulkan agar UU Migas No.22/2001 ini harus dicabut.
Produksi migas saat ini sangat rendah, hanya sekitar 600 ribu barrel perhari /bph, selama dua dekade produksi turun dari sekitar 1,5 juta bph. Akibatnya saat ini negara harus import migas dalam jumlah besar dan dengan harga ninyak dunia yang tinggi. Akibatnya Penerimaan APBN dari Sektor migas menjadi sangat rendah, lebih rendah dari subsidi BBM dan LPG yang bisa tembus menjadi Rp700 triliun akhir tahun ini.
Fakta produksi migas yang sangat rendah inilah yang sebenarnya merupakan persoalan utama yang dihadapi oleh pemerintah, bukan subsidi. Saya usulkan agar Pemerintah mengambil Kebijakan yang efektif efisien dan Konstitusional mencabut UU Migas No.22/2001 dengan menggunakan PERPPU. Kembali ke Undang-Undang yang sesuai Konstitusi dan telah terbukti berhasil menaikkan produksi minyak hingga mencapai 1,7 juta bph. Indonesia menjadi Anggota OPEC, menjadi eksportir LNG terbesar di dunia dan Sektor Migas menjadi sumber utama Perolehan devisa dan Penerimaan APBN.
Solusi yang, efektif, efisien dan Konstitusional dengan menggunakan PERPPU untuk mencabut UU Migas No 22/2001 dan memberlakukan kembali UU No.44/Prp/1960 dan UU No.8/1971 sangat tepat mengingat keberadaan Industri Migas yang sudah sangat darurat. DPR-RI sudah dua periode gagal melahirkan UU Migas yang baru. Berlakunya UU Migas No.22/2001 merupakan kehendak IMF ketika Indonesua meminjan uang dari IMF sewaktu Krisis Moneter tahun 1998.
Jakarta, 2 September 2022
* Penulis, Dr. Kurtubi, pakar energi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019. Alumnus Colorado School of Mines, Institut Francaise du Petrole, Universitas Indonesia