JAKARTA- Hak Prerogatif Presiden dalam reshuffle kabinet seharusnya tidak dilatar belakangi oleh politik opurtunis elit-elit partai yang haus kekuasaan,– yang saat ini menjual dukungan politik pada pemerintahan Joko Widodo, kemudian berharap jabatan menteri. Elit-elit partai yang tanpa malu mengkhianati rakyat pendukungnya, berpotensi akan menyalahgunakan jabatan saat berkuasa dan melakukan sabotase dari dalam pemerintahan.
“Presiden Jokowi dengan tingkat dukungan publik yang cukup tinggi, semestinya bisa mengabaikan setiap tawaran dukungan politik yang menuntut balas budi yang pasti akan melukai rakyat,” Hal ini disampaikan oleh Ketua Setara Institute, Hendardi di Jakarta, Senin (11/1)
Presiden Jokowi seharusnya tidak perlu cemas dengan dukungan parlemen, karena rasionalitas politik dan kebijakan yang berpihak pada rakyat telah terbukti dalam setahun berkuasa bisa mengalahkan kekuatan oligarki yang bercokol pada partai-partai politik.
“Apalagi menyimak PPP, PAN, PKS, dan terakhir Golkar, yang kemudian berencana mendukung pemerintah. Buruknya, dukungan itu bukan tanpa syarat, tapi dibarengi tawar menawar jabatan,” ujarnya.
Tanpa rasa malu, partai-partai yang pernah menghujat dan mencaci Joko Widodo sewaktu pencalonan Presiden dalam Pemilu lalu,– justru saat ini berlomba-lomba mengejar jabatan dalam pemerintahan Joko Widodo.
“Inilah yang membuat prosentase pengabdian partai-partai pada kepentingan elit-elit partai, jauh melampaui kepentingan mengabdi pada rakyat atau konstituennya,” ujarnya.
Hendardi mengingatkan bahwa reshuffle kabinet yang mengakomodir opurtunisme partai politik ini tidak akan bisa diharapkan dapat memberikan kemajuan dalam pembangunan bangsa dan negara apalagi memajukan kesejahteraan rakyat, karena dilatar belakangi kepentingan sekedar rebutan jabatan menteri.
Tiga Variabel Utama
Presiden Joko Widodo menurutnya seharusnya melakukan perombakan kabinet berpegang tiga variabel utama yaitu kinerja, integritas, dan kepemimpinan dalam melayani kepentingan rakyat.
“Siapapun menteri yang lemah pada tiga variabel utama itu, maka layak diganti. Sebagai contoh, Jaksa Agung misalnya, yang integritasnya tercoreng dan kinerjanya buruk maka layak diganti. Demikian juga Menkumham, dan beberapa menteri ekonomi dan pembangunan manusia,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa, opurtunisme politik adalah akibat dari sistem presidensial tidak murni yang dianut oleh Republik Indonesia yang menyebabkan setiap langkah presiden dalam menjalankan berbagai kebijakan pemerintahan menimbulkan kegaduhan, termasuk dalam soal reshuffle.
“Meskipun hak prerogatif itu melekat pada presiden, faktanya kecemasan dukungan politik dari parlemen selalu menjadi variabel utama dalam menyusun dan merombak kabinet. Hak prerogatif itu tersandera oleh sistem ketatanegaraan,” ujarnya.
Kondisi ini juga menurutnya dapat dilihat secara jelas misalnya pada perubahan istilah KIH (Koalisi Indonesia Hebat) menjadi Parpol-Parpol Pendukung pemerintah (P-4).
“P-4 telah mengafirmasi bahwa hak prerogatif dan kewenangan presiden yang melekat dalam sistem presidensial menjadi bias dan tereduksi,” ujarnya. (Web Warouw)