Senin, 2 Desember 2024

Hendardi: Ingat! Terorisme Adalah Puncak Intoleransi

JAKARTA- Di Indonesia, Polri berhasil mencegah teror bom yang direncanakan diledakkan oleh jaringan ISIS di Indonesia. Sementara itu terorisme jaringan ISIS berhasil melakukan teror bom di 6 negara mayoritas Islam lainnya seperti, Istambul (Turki) dengan menewaskan 39 orang, Kairo (Mesir) dengan menewaskan 28 orang, Aden (Yaman) dengan menewaskan 60 orang, Mogadishu (Somalia) dengan menewaskan 29 orang, Maidiguri (Kenya) dengan menewaskan 40 orang,  dan Adamawa (Nigeria) dengan menewaskan 160 orang,  dalam waktu hampir bersamaan 24 jam terakhir. Penangkapan terhadap sejumlah orang yang berencana melakukan tindak pidana terorisme pada hari Sabtu (10/12) di Bekasi, merupakan bentuk implementasi doktrin preventive justice yang efektif dalam penanganan terorisme. Demikian, Hendardi, Ketua Setara Institute kepada Bergelora.com di Jakarta Senin (12/12) 

Sementara, untuk mengatasi meluasnya radikalisme, menurutnya Polri harus juga bekerja ekstra menangani setiap aksi intoleransi.

“Karena sekali lagi terorisme adalah puncak dari intoleransi. Artinya, pencegahan dan penanganan terorisme yang genuine harus dimulai dengan tidak kompromi pada aksi-aksi intoleransi sebagai bibit dari terorisme,” ujarnya.

Saat ini menurutnya, Polri berhasil meyakinkan publik, bahwa aparatnya mampu mencegah terjadinya tindakan teror dan menciptakan rasa aman warga.

“Meski dengan landasan hukum yang terbatas dalam Undang-Undang Antiterorisme. Tindakan pencegahan ini adalah prestasi yang pantas diapresiasi,” katanya.

Penangkapan ini menurutnya sekaligus membuktikan dua hal yaitu bahwa ancaman radikalisme dan terorisme terus terjadi dengan eskalasi yg meningkat.

“Juga membuktikan bahwa Polri telah menjalankan perannya sebagai aparat keamanan mampu mencegah terjadinya kekerasan yang lebih luas,” jelasnya.

Sebagai aparat hukum menurutnya Polri mampu bekerja dalam kerangka sistem peradilan pidana, yang memandang bahwa terorisme adalah kejahatan dan ancaman keamanan bukan sebagai ancaman pertahanan negara, yang harus diatasi dengan doktrin perang yang represif.

Ia mengakui preventif justice memang rentan menimbulkan penanganan yang represif dan berpotensi menimbulkan unfair trial dalam proses peradilan pidana.

“Karena itu, sekalipun dalam revisi Undang-Undang Antiterorisme konsep ini akan diadopsi, implementasinya tetap dalam kerangka sistem peradilan pidana dengan rumusan batasan yang ketat sebagai kompromi antara pengutamaan kebutuhan keamanan dan pengutamaan perlindungan HAM.

“Kompromi inilah yg dikenal sebagai margin of appreciation dalam mengatasi rights on dispute,” jelasnya.

JAKDN/ISIS

Sebelumnya, pada hari Sabtu (10/12) Tim Densus Anti Teror 88 Polri mengamankan tiga terduga teroris dari Bintara Jaya Kota Bekasi, Jawa Barat. Menurut Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Boy Rafli Amar, ketiganya adalah S (laki-laki), A (laki-laki), dan DYN (perempuan). Ketiganya disinyalir berhubungan dengan Jamaah Anshar Daulah Khilafah Nusantara (JAKDN), yang berafiliasi kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

“Kita bersyukur, ini merupakan langkah-langkah pencegahan agar rencana-rencana teror ini bisa digagalkan,” kata Irjen Pol Boy Rafli Amar

Selain itu, sampai saat ini, Polisi masih melakukan pemeriksaan terhadap bahan peledak yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP). Bahan peledak yang ditemukan cukup besar, berbobot sekitar 3 kg.

Polisi masih mempertimbangkan cara terbaik mengevakuasi bahan peledak tersebut. Apakah akan dibawa ke tempat lain atau diledakkan di tempat. “Konsentrasinya, bagaimana ini dijinakkan dulu,” ungkap Irjen Pol Boy Rafli Amar.

Rencana yang berhasil dideteksi Polisi, terduga teroris ini akan melakukan pengeboman pada obyek vital nasional dalam waktu dekat. Adapun yang bertindak sebagai eksekutor (“pengantin”) adalah terduga pelaku perempuan. (Web Warouw)

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru