Rabu, 22 Januari 2025

Hendardi: Kontra-Terorisme Melibatkan TNI Pasti Rusak Hukum Pidana

JAKARTA- DPR harus menangkap aspirasi publik yang tidak menghendaki TNI diberi kewenangan penindakan dalam pemberantasan terorisme. TNI dan Polri bekerja di area dan dengan pendekatan yg berbeda. DPR harus menolak aspirasi pelibatan TNI dalam penindakan terorisme. Usulan ini merusak sistem penegakan hukum pidana. Demikian Ketua Setara Institute, Hendardi kepada Bergelora.com di Jakarta, Rabu (27/7)

“Doktrin TNI adalah kill or to be killed dalam menghadapi musuh. TNI akan bekerja dalam kerangka perang yang dipastikan mengabaikan prinsip-prinsip fair trial dan penghormatan HAM. Sedangkan Polri bekerja pada area penegakan hukum, sehingga patuh pada prinsip fair trial dan memungkinkan pengutamaan penghormatan terhadap HAM,” jelasnya.

Ia mengingatkan bahwa, pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP) hanya dibenarkan melalui perintah presiden dan atau dengan membentuk Undang-Undang Perbantuan Militer, yang hingga kini belum juga dirancang baik oleh DPR maupun pemerintah.

“Penundaan pembentukan Undang-Undang Perbantuan Militer adalah cara untuk membiarkan TNI bekerja di wilayah abu-abu sehingga bisa masuk ke sektor manapun, bukan hanya terorisme tetapi termasuk berbagai urusan sipil,” ujarnya.

Menurutnya, perluasan wewenang TNI dengan cara menyisipkan peran-peran baru dalam berbagai penanganan kejahatan dan memberi dukungan terhadap pelaksanaan pembangunan berpotensi mengembalikan supremasi militer pada ruang sipil.

“Jadi DPR mestinya menolak aspirasi pelibatan TNI dalam penindakan terorisme. Usulan ini merusak sistem penegakan hukum pidana,” tegasnya.

Pelibatan TNI dimuat dalam draf RUU Terorisme Pasal 43B ayat 1 dan 2. Isu ini kembali mengemuka kala Tim Operasi Tinombala yang terdiri atas TNI dan Polri berhasil membunuh Abu Wardah alias Santoso, pemimpin Mujahidin Indonesia Timur di Poso.

Kewenangan TNI dalam menghadapi aksi terorisme dalam skala tertentu sudah diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

Draf revisi UU Terorisme yang diusulkan pemerintah Indonesia mendapatkan sejumlah kritik karena dinilai ‘rentan pelanggaran HAM’ dan ‘berpotensi merampas kebebasan sipil’. Sejumlah pasal dalam draf revisi UU yang dianggap rentan di antaranya adalah perpanjangan masa penangkapan dari semula tujuh hari menjadi 30 hari. Padahal masa 30 hari ini sangat bertentangan dengan konvensi internasional tentang hak sipil dan politik. Standar internasional seseorang boleh ditangkap dan dimintai keterangan itu 1×24 jam. (Web Warouw)

 

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru