JAKARTA- Terorisme adalah hasil pembibitan intoleransi atas nama Suku, Agama dan Ras yang meluas dimasyarakat dalam kurun waktu tertentu. Semangat sosial anti terorisme pasca ledakan bom di Sarinah harus segera dikembangkan ke masyarakat untuk menetralisir intoleransi yang masih terus dihembuskan hingga saat ini.
“Energi sosial anti-terorisme yang menguat pascaledakan di Jalan MH. Thamrin merupakan modal sosial yang tidak boleh berhenti sebagai reaksi spontan dan tidak berkelanjutan. Setara Institute menghimbau bahwa tindakan reaktif harus didukung meski belum cukup. Demikian Ketua Setara Institute, Hendardi kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (18/1)
Para budayawan, tokoh masyarakat, tokoh agama dan pendidik menurutnya punya tugas dan tanggung jawab untuk menangkal pembibitan intoleransi yang dikembangkan di masyarakat dan potensial menjadi terorisme.
“Para tokoh masyarakat dan publik perlu terlibat lebih jauh dan berkelanjutan memerangi terorisme dengan memastikan bahwa tindakan intoleransi yang menjadi titik awal terorisme bisa dimoderasi menjadi toleran. Dengan begitu energi sosial itu berlipat manfaat,” ujarnya.
Hendardi mengingatkan bahwa insitusi negara jangan menggunakan teror di Sarinah belakangan ini menjadi kesempatan untuk meminta kewenangan lebih atau merancang proyek baru yang akan mengancam demokrasi dan hak-hak sipil.
“Peristiwa teror bukan momentum bagi institusi negara meminta kewenangan lebih atau merancang proyek baru, tapi yang utama adalah memastikan bahwa masyarakat harus terus menerus sadar dan waspada untuk menolak segala bentuk bibit terorisme, yakni intoleransi,” tegasnya.
Setara Institute di Jakarta, Senin (1`8/1) siang ini akan memperbaharui data pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam peluncuran laporan pemantauan 2015.
“Persoalan ini penting, karena intoleransi dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah titik mula dari terorisme. Terorisme adalah puncak intoleransi. Hayoo kita mulai melawan terorisme dengan secara berkelanjutan kita tolak praktik intoleran dan kekerasan atas nama agama!
Kelemahan Koordinasi
Sebelumnya Setara Institute menolak rencana Badan Intelejen Negara (BIN) yang meminta kewenangan baru untuk menangkap setiap orang yang dicurigai sebagai teroris.
“Usulan ini tidak kontekstual dan berpotensi merusak sistem penegakan hukum di Indonesia. Ketidakmampuan BIN mendeteksi potensi teror bukan karena keterbatasan kewenangan tetapi karena kinerja institusi ini yang belum optimal,” ujarnya.
Persoalan utama dalam menghadapi terorisme menurut Hendardi adalah soal lemahnya koordinasi antara institusi penegak hukum dan intelejen
“Jadi jangan setiap ada peristiwa teror minta kewenangan. Agenda utamanya adalah koordinasi antar institusi penegak hukum dan intelijen. Tugas BIN itu mengumpulkan informasi dan berkoordinasi dengan aparat hukum untuk menindak. Jadi elan vitalnya ada pada koordinasi,” tegasnya.
Ia mengingatkan, kalau BIN jalan sendiri, maka sulit bagi BIN untuk bisa berkontribusi dalam penanganan kasus-kasus seperti ini.
“Gejala BIN jalan sendiri tampak jelas dalam penanganan kelompok Din Minimi di Aceh. Sehingga menimbulkan kegaduhan dari pihak keamanan dan penegak hukum,” jelasnya. (Web Warouw)