PONTIANAK – Pengamat politik Universitas Tanjungpura, Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Syarif Usmulyadi Alqadrie, menilai, penyidik Polisi Republik Indonesia (Polri) menetapkan Mayjen (Purn) Kivlan Zen dan Brigjen (Purn) Adityawarman tersangka makar, Jumat (2/12), sangat mengejutkan dan memprihatinkan
“Ada sesuatu yang pasti tidak beres. Apalagi Kivlan Zen dan Adityarwan merupakan lulusan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) yang reputasinya sangat baik selama aktif di institusi Tentara Nasional Indonesia (TNI),” kata Syarif Usmulyadi Alqadrie, Sabtu (3/12).
Dikatakan Usmulyadi, dalam pandangan masyarakat awam selama ini, figur seorang jenderal TNI dan Polisi Republik Indonesia (Polri), kendatipun sudah pensiun, masih sangat dihormati dan disegani.
Kivlan Zen, lahir di Langsa, Aceh, 24 Desember 1946, dengan jabatan terakir Kepala Staf Kostrad, dan Adityawarwan Thaha, lahir di Gunung Mas, Sumatera Barat, 4 Maret 1945, dengan jabatan terakhir Staf Ahli Panglima TNI, selama ini sangat kental dengan semangat nasionalisme, baik dalam perkataan dan perbuatan di hadapan publik.
Namun tiba-tiba Kivlan Zen dan Adityawarman, malah dijemput Polda Metro Jaya dan Polisi Militer Daerah Militer (Pomdam) Metropolitan Jakarta Raya bersama 8 tersangka makar lainnya, Jumat dinihari (2/12).
“Saya bukan pada posisi menyalahkan polisi. Siapapun tidak kebal hukum, kalau memang ada bukti. Saya yakin Polri sudah memiliki bukti cukup, sehingga kelompok Kivlan Zen dan Adityawarman dijaring dengan pasal makar,” kata Usmulyadi.
Adityawarman dijaring melanggara pasal 107 jo 110 KUHP jo 87 KUHP ditangkap dirumahnya. Kivlan zein dijaring melanggar pasal 107 jo 110 KUHP jo 87 KUHP ditangkap dirumahnya Komplek Gading Griya Lestari Blok H1 -15, Jalan Pegangsaan Dua, Jakarta.
Delapan tersangka makar lainnya, Calon Wakil Bupati Bekasi, Ahmad Dani, musisi kepala plontos, dijaring pasal 207 KUHP ditangkap di Hotel San Pasific. Eko pasal 107 jo 110 kuhp jo 87 KUHP di rumahnya Perum Bekasi Selatan.
Firza Huzein pasal 107 jo 110 KUHP jo 87 ditangkap di Hotel San Pasific, jam 04.30 WIB. Racmawati (adik kandung Megawati Soekarnoputri) ditangkap di kediamannya, pukul 05.00 WIB.
Pekerja seni teater, Ratna Sarumpaet ditangkap di kediamannya, pukul 05.00 WIB. Dosen Universitas Indonesia, Sri Bintang Pamungkas, ditangkap di kediamannya di Cibubur dan digelandang ke Mako Brimob yang ditanganiKrimsus Polda Metro Jaya.
Jamran UU ITE, diamankan di Hotel Bintang Baru Kamar 128 dipimpin oleh Ajun Komisaris Besar Polisi Iman Setiawan Kasubdit Indag Polda Metro Jaya. Rizal Kobar UU ITE , ditangkap di samping Sevel Stasiun Gambir Jakarta Pusat, Jumat, 2 Desember 2016, pukul 03.30 WIB.
Praktisi hukum di Pontianak, Tamsil Sjoekoer, mengatakan, tuduhan makar tidak bisa dianggap sepele. Seseorang yang mengerti hukum, amat sangat menghindari tindakan yang berimplikasi makar. Karena di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP), ancaman hukuman makar bisa sampai hukuman mati.
“Sepertinya Polri sudah punya data dan fakta sehingga menetapkan mereka sebagai tersangka kasus makar. Karena tuduhan itu serius, maka ini tidak boleh main-main. Asal ada buktinya dan upaya makar itu hal yang serius. Polisi memang harus melakukan tindakan pencegahan,” kata Tamsil.
Tamsil menjelaskan bahwa dalam KUHP setidaknya ada 10 pasal soal tindakan makar dan semua ancamannya berat, dari hukuman mati, penjara seumur hidup atau 20 tahun penjara.
Menurut Tamsil, seseorang ditangkap sehubungan upaya menjatuhkan pemerintah dengan cara yang tidak sah dan melanggar hukum, maka itulah yang disebut makar.
“Menggelar orasi di ruang publik dengan menghasut massa menjatuhkan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebelum habis masa jabatannya, yakni tahun 2019, itu artinya memang makar. Menghina Presiden dan Wakil Presiden di ruang publik, dengan menganalogikan nama binatang, itu artinya juga makar,” kata Tamsil.
Diungkapkan Tamsil, tindakan preventif atas upaya makar, memang harus dilakukan Polri dan TNI, meskipun pihak bersangkutan belum melakukan apa-apa.
Tamsil mengharapkan, penangkapan 10 tersangka makar, dapat menjadikan pelajaran berharga bagi semua pihak. Demokrasi bukan berarti bebas melakukan apa saja, karena ada aturan main yang tidak boleh dilanggar.
“Polri diharapkan segera mengumumkan penangkapan secara transparan, kendatipun sebagian besar sudah dilepas,” kata Tamsil. (Aju)