JAKARTA- Anggota Komisi X DPR Noor Achmad menegaskan, Fakultas Kedokteran (FK) di Perguruan Tinggi yang telah menjalankan Program Studi Dokter Layanan Primer (Prodi DLP) harus dihentikan. Pasalnya, belum ada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menjadi landasan hukum pelaksanannya.
Demikian dikatakannya saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum antara Panja Prodi DLP dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perhimpunan Dokter Umum Indonesia, Konsil Kedokteran Indonesia, dan Ikatan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (2/2).
āProdi DLP masih banyak bertentangan dengan peraturan. Maka Perguruan Tinggi yang telah melaksanakan Prodi DLP harus dihentikan terlebih dahulu. Sambil menunggu RPP-nya, nanti seperti apa,ā tegas Achmad.
Politisi F-PG itu mengatakan, selain soal belum adanya RPP, juga pembahasan saat ini yang bisa jadi nanti ada revisi tentang UU Pendidikan Dokter, termasuk di dalamnya revisi Prodi DLP. Belum lagi, masih banyak unsur organisasi kedokteran yang menolak adanya Prodi DLP.
āSemua komponen itu sudah menolak adanya DLP. Yang saya tangkap dari apa yang sudah disampaikan, seperti IDI, Ikatan Sarjana Kesehatan Masyarakat, Perhimpunan Dokter Umum Indonesia, mereka menolak terhadap pelaksanaan DLP. Bahkan mereka mengusulkan konsep di layanan primer diadakan tapi bukan dokter dari hasil Prodi DLP,ā paparnya.
Achmad mengatakan, untuk para dokter yang saat ini ada di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, tidak harus dengan pendidikan khusus melalui Prodi DLP. Para dokter itu cukup diberi kemampuan teknis, tapi bukan kemampuan teknis yang meragukan kemampuan dokter yang sudah ada.
āIni kenapa para dokter marah, karena dokter yang ada saat ini diragukan kemampuannya. Padahal mereka ini juga melakukan pendidikan dokter yang baik. Mereka juga lulusan prodi kedokteran yang terakteditasi A, bahkan lulusan dari FK yang akreditasi institusinya A juga,ā imbuh Achmad.
Politisi asal dapil Jawa Tengah itu kembali menegaskan, kepada FK yang telah menjalankan Prodi DLP untuk dihentikan, sembari menunggu RPP dari Pemerintah.
Sebelumnya,Ā Ketua PB IDI Ilham Oetama Marsis mengatakan prodi DLP (setara spesialis) sebagai pendidikan profesi, 80 persennya sama dengan pendidikan profesi spesialis dokter keluarga. Kemiripan ini menyebabkan kolegium DLP tidak bisa dibentuk dan lulusan Prodi DLP tidak bisa praktik sebagai dokter DLP karena Surat Tanda Registrasi (STR) sebagai syarat menjalankan praktik kedokteran tidak mungkin dikeluarkan.
āProdi DLP dari aspek efisiensi, tidak efisien dari segi biaya, waktu dan pemanfaatan sumber daya, serta tidak ada bentuknya dalam sistem pendidikan dokter baik di Indonesia, maupun dunia internasional,ā jelas Ilham.
Terkait pelaksanaan Prodi DLP di Universitas Padjajaran, pihaknya pun tidakĀ pernah ikut dalam penyusunan standar pendidikan profesi Prodi DLP. IDI menegaskan, Prodi DLP tidak dikenal di UU Praktik Kedokteran dan UU Tenaga Kesehatan.
Kepada Bergelora.com dilaporkan, perwakilan Konsil Kedokteran Indonesia menyatakan, saat ini yang menjadi permasalahan adalah penyebaran dokter yang belum merata, dan 80 persen penyakit dapat dilayani di pelayanan primer, atau dokter umum. Bahkan, dengan adanya Prodi DLP, menyebabkan pemborosan APBN sebesar 500 miliar per tahun. (Calvin G. Eben-Haezer)
Ā