JAKARTA- International People’s Tribunal (IPT) 1965 atau Pengadilan Masyarakat Internasional terhadap peristiwa 1965 merupakan teater peradilan yang ditujukan untuk mengungkap kebenaran peristiwa 1965 dan rangkaian kekerasan yang mengikutinya. Sebagai bentuk moot court (peradilan semu), maka produk pengadilan ini tidaklah mengikat secara hukum. Tetapi IPT 1965 bisa mengungkap kebenaran peristiwa dari perspektif warga internasional. Hal ini disampaikan oleh Ketua Setara Institute, Hendardi kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (12/11).
“IPT merupakan kerja politik yang ditujukan untuk menggugah pemerintah Indonesia yang sampai saat ini belum juga melakukan pengungkapan kebenaran peristiwa pelanggaran HAM dan pemulihan hak terhadap jutaan warga negara yang menjadi korban,” ujarnya.
Menurutnya, reaksi berlebihan dari para pejabat negara Indonesia pada IPT merupakan indikator keberhasilan dari IPT ini karena dengan reaksi ini, selanjutnya pemerintah dapat bergegas menyusun langkah nyata melakukan pengungkapan kebenaran dan pemulihan.
“Skema rekonsiliasi yang sudah dirancang Menkopolhukam, Jaksa Agung dan lainnya bukanlah cara menyelesaikan kasus masa lalu, karena tidak ada proses pengungkapan kebenaran,” ujarnya.
Jadi menurutnya, daripada mencaci-maki para pegiat HAM dengan jargon anti-nasionalis, sebaiknya para pejabat tunjukkan komitmennya dengan mengungkap kebenaran dan pemulihan, sesuai mandat Konstitusi RI dan skema Undang-undang No 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Sebelumnya Hendardi mengatakan bahwa pernyataan Jaksa Agung dan Menhan RI terkait IPT 1965 di Belanda menunjukkan secara nyata kualitas kepemimpinan keduanya yang anti pengungkapan kebenaran.
“Keduanya adalah musuh humanisme, karena tidak memiliki keberpihakan sama sekali pada pengungkapan kebenaran,” tegasnya.
Menkopolhukam juga tidak mampu mengendalikan keduanya untuk bekerja sesuai janji dengan janji Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan kasus pelanggaran berat HAM.
“Ketika Pemerintah enggan menyelesaikan hutang penyelesaian masa lalu maka berbagai inisiatif dari manapun termasuk dari luar negeri akan terus bermunculan menagih hutang itu,” jelasnya.
Ia mengingatkan bahwa, pelanggaran HAM berat pada tahun 1965 lebih parah dari yang dilakukan oleh Hitler di Jerman, Polpot di Kamboja dan Slobodan Milosevic di Serbia, sehingga telah menjadi kepedulian masyarakat internasional.
“Jangan bersikap picik, tidak mau menyelesaikan masalah tapi sewot ketika pihak lain berupaya mengungkap kebenaran,” ujarnya.
Ia meminta pada Presiden Joko Widodo agar, momentum reshuffle kabinet kedua dalam waktu dekat ini harus juga mengarah pada mereka yang nyata-nyata menghambat realisasi janji politik Presiden Joko Widodo pada penegakan keadilan dan penuntasan kasus-kasus HAM Berat seperti kasus 1965.
“Selama menjabat, Jaksa Agung, selain diduga terkait dengan kasus Rio Patrice Capella, tidak memiliki prestasi dan terobosan nyata. Demikian juga Menhan yang sama sekali tidak berpihak pada reformasi militer. Banyak gagasan Menhan yang justru berlawanan dengan aspirasi reformasi,” tegasnya.
Special Rapporteur
Salah satu dasar dari IPT 1965 di Den Haag adalah Laporan penyidikan Komnasham pada kasus pembantaian massal 1965 yang telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung. Komnasham berhasil mengumpulkan bukti-bukti primer kejahatan melawan kemanusiaan pada ikutan peristiwa 1965 sesuai dengan Pasal 9 Undang-undang No 26/2000 tentang Pengadilan HAM berupa pembunuhan, pemusnahan (pembunuhan massal), perbudakan, pengusiran dan deportasi, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik, penyiksaan, pemerkosaan, penganiayaan terhadap kelompok tertentu dan penghilangan orang secara paksa.
Koordinator IPT 1965, Nursjahbani Katjasungkana menjelaskan kepada Bergelora.com sebelumnya bahwa tujuan dari pengadilan internasional ini adalah untuk mendesak pengakuan nasional dan internasional terhadap genosida dan kejahatan melawan kemanusiaan yang terjadi pada tahun 1965 dan setelahnya oleh negara Republik Indonesia dan keterlibatan beberapa negara barat yang mendukung militer Indonesia dalam peristiwa tersebut.
“IPT juga mendorong perhatian internasional agar membentuk “Special Rapporteur” untuk membuka pelanggaran HAM di Indonesia,” jelasnya.
Dalam jangka panjang menurutnya IPT bertujuan untuk mendorong proses pemulihan para korban dan keluarga korban. IPT juga mendorong terciptanya ikilm politik Indonesia yang mengakui dan menghormati hak asazi manusia.
“Kami juga berupaya melindungi korban dan memastikan pengadilan yang adil terhadap semua kekerasan yang terjadi pada korban,” tegasnya. (Web Warouw)