JAKARTA- Pemerintah pusat tidak memiliki rencana yang jelas terhadap perbaikan kondisi kesehatan rakyat di Papua. Sehingga berbagai persoalan kesehatan rakyat di Papua kembali meningkat drastis. Tugas ini seharusnya menjadi perhatian Kementerian Kesehatan.
“Saya pernah sampaikan hal ini kepada menteri kesehatan sewaktu bertemu di Amerika beberapa waktu lalu, namun sepertinya tidak memiliki program yang jelas dan tidak menjadi perhatiannya. Padahal masalah kesehatan rakyat Papua berkaitan erat dengan keutuhan NKRI,” demikian mantan duta besar Argentina, Nurmala Kartini Pandjaitan Sjahrir disela lauching buku “Siti Fadilah Dimataku” di Jakarta, Minggu (8/11).
Padahal menurut Kartini Sjahrir, pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah menetapkan bahwa perbaikan dan peningkatan kesehatan rakyat Papua merupakan prioritas yang harus ditangani oleh Kementerian Kesehatan.
“Kayaknya dia (Menkes) tidak mampu mengurus Papua,” ujar adik Menkopolhukam ini.
Dalam sambutannya, Kartini Sjahrir menyampaikan flashback perjuangan Siti Fadilah Supari sebagai Menteri Kesehatan yang gigih mengurus dan melindungi rakyat Indonesia sampai ke daerah-daerah pedalaman.
“Kita semua sudah mengetahui perjuangan Siti Fadilah dalam menegakkan kedaulatan rakyat dan bangsa ini. Dan belum ada seperti bu Fadilah yang membawa Indonesia memimpin perubahan sistim kesehatan ditingkat internasional,” ujarnya.
Launching buku “Siti Fadilah Dimataku” di Jakarta, Minggu (8/11) selain dihadiri Kartini Sjahrir; tokoh LSM, Zoemrotin dan pengamat pertambangan, Marwan Batubara,–juga dihadiri oleh beberapa penulisnya seperti, Guru Besar Fakultas Ekonomi, Sri Edi Swasono; mantan Duta Besar Indonesia untuk Argentina, Kartini Sjahrir; putri Proklamator, Meutia Farida Hatta; budayawan, Arswendo Atmowiloto; dokter jantung Lily Riliantono; dokter jantung, Budhi Setianto Purwowiyoto; pengusaha dan anggota Presidium Komite Kedaulatan Rakyat (KKR), Poppy Darsono; Ketua Mer-C, Jose Rizal; pengamat ekonomi, Salamuddin Daeng; budayawan, Saut Poltak Tambunan; seniman Sudibyanto; Ketua Petisi 28, Haris Rusli; Direktur Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta, Hatta Taliwang; Pimpinan Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KASBI), Ketua Forum Bidan PTT, Lilik Dian Ekasari dan Pengurus Nasional Dewan Kesehatan Rakyat (DKR), Roy Pangharapan.
Mamae Wamenahe
Dalam buku “Siti Fadilah Dimataku” yang disunting oleh Tia Nastiti Purwitasari itu,–penulis novel, Lintang Sugianto memaparkan penanganan kesehatan rakyat Papua dimasa Menkes Siti Fadilah Supari. Ia mengutip kesaksian dari kepala-kepala suku dari Papua.
“Saya masih ingat, program Save Papua itu. Di dalam program itu, Mamae berkeinginan menyelamatkan rakyat Papua dari pemusnahan sistimatis oleh kapitalisme internasional dengan menggunakan berbagai penyakit menular. Mamae memerintahkan, barangkali ratusan dokter dari luar Papua untuk mendidik relawan dan mengunjungi rumah dan honai di berbagai pelosok hutan Papua. Dokter dan relawan bertugas memeriksa dan mengobati rakyat Papua dari berbagai penyakit menular.”
Kepala suku itu melanjutkan, “Kami masih ingat Mamae berkata kepada kami, ‘Kalian Rakyat Papua adalah saudara-saudaraku, anak-anakku juga. Tidak boleh ada pembiaran kesehatan yang akhirnya membunuh Rakyat Papua!”. Tidak pernah ada pejabat setingkat menteri yang punya komitmen, pikiran dan kerja seperti Mamae itu. Sebanyak dua juta lebih rakyat Papua dibebaskan pembiayaan kesehatan dan dibayar oleh negara. Mamae pernah berkata, bahwa tidak boleh ada pungutan biaya kesehatan apapun kepada Rakyat Papua. Kami gembira dengan kebijakan Mamae itu. Selama ini, kami kesulitan mendapatkan obat jika jatuh sakit,”
“Perlu kalian tahu,” katanya menambahkan penjelasannya, “Pada tahun 2008, terjadi kematian puluhan orang akibat diare, di Nabire, Dogiyai, dan Paniai, karena racun yang dibuat perusahaan asing yang hendak merampas tanah adat kami. Mamae segera datang ke Nabire untuk memastikan semua orang di daerah kami harus selamat dari kejahatan itu! Entah bagaimana caranya, pelaku-pelaku pencemar mata air rakyat itu ditangkap dan diproses secara hukum,” katanya dengan logat Papua.
“Mamae juga memastikan adanya obat-obatan di puskesmas pembantu di pelosok-pelosok Papua. Bagi saya, Mamae adalah seorang perempuan yang berani. Mamae berjuang menutup Laboratorium Marinir Amerika Namru-2 yang beroperasi di Papua, dan Mamae berhasil. Itulah yang kami sebut, “Mamae Wamenahe”. Yang artinya, “Ibu menyusui”. Menyusui, adalah makna yang luas bagi masyarakat Papua. Karena ia menyusui kami dengan perjuangannya, dengan kepeduliannya, dengan cintanya. Sekarang kami telah disapih (berhenti disusui),” kata Kepala Suku yang memakai baju adat Papua itu mengakhiri penjelasannya yang panjang lebar, sambil menyeka air matanya.
Mamae Wamenahe adalah sebutan rakyat Papua pada Siti Fadilah Supari (Web Warouw/ Eka Pangulimara Hutajulu)