Minggu, 20 April 2025

Menggugat Kerangkeng Demokrasi Ala Gubernur Ahok

Oleh : Eka Pangulimara Hutajulu

 

Berita-berita terakhir, baik di koran, media online maupun televisi, bangsa ini seperti hendak menghadapi krisis berulang. Ekspresi berdemokrasi kembali dikerangkeng. Titiwancinya adalah penandatanganan Peraturan Gubernur Nomor 228 Tahun 2015, yang diterbitkan oleh Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Pria yang kerap disapa Ahok.

 

Ahok menandaskan,  “Kamu tidak boleh terlalu keras suara, terus kamu kalau demo enggak boleh bikin macet.” Ahok melanjutkan, “Demo hanya diperbolehkan di Gambir (Parkir Timur Senayan-red), Monas dan DPR. Kalau bikin macet kita bisa tangkap,” tegas Ahok.

Barangkali Ahok lupa, 21 Mei 1998 Soeharto dipaksa mundur dari tampuk kekuasaanya, lewat jalan demonstrasi. DPR RI diduduki. Ketika itu mahasiswa jadi bintang lapangannya. Sementara di banyak daerah, kaum buruh demo di pabrik-pabrik, kaum tani, dan berbagai lapisan masyarakat turun ke jalan. Barangkali pula, Ahok merasa agak berjauhan dengan situasi 1998. Padahal dari almamater kampusnya Universitas Trisakti, banyak mahasiswa berguguran meregang nyawa. Ditembaki peluru tajam menjelang kejatuhan Soeharto, medio Mei 1998.

Kalau saja tak ada korban dan Soeharto tidak terguling, hampir bisa dipastikan tak ada konstelasi politik seperti sekarang ini. Dan Ahok belum tentu mendampingi Joko Widodo sebagai Wakil Gubernur baru-baru ini.

Ahok juga melupakan fakta, bahwa di sekitar proses pencalonannya, baru-baru menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI, tak sedikit kaum demonstran yang aktif mendukungnya ketika itu. Sebut saja, salah satunya Hilmar Farid dan Sinal Blegur dari Seknas Jokowi, Roni Rosa dari Kornas Jokowi dan masih banyak yang lainnya. Farid bersama rekan-rekannya, membentuk Relawan Penggerak Jakarta Baru (RPJB) yang bertujuan mensosialisasikan Pilkada Jakarta  2012. Ingatan kolektif pendukung Ahok, mestinya ikut terguncang. Mungkin kejadian-kejadian tersebut cuma ingatan masa lalu Ahok.

Memang benar, ada-ada saja ulah pejabat negara ini. Kalau tidak korup, seperti hendak memamerkan pemikiran yang aneh-aneh. Kebijakan yang dilahirkannya, justru menempuh jalan sepi. Seperti tak ada lagi kesibukannya, yaitu bagaimana membawa perubahan signifikan bagi kehidupan rakyat Jakarta yang lebih layak. Memiliki hunian yang lebih pantas, bisa bekerja dengan mendapatkan upah yang layak dan lebih sejahtera, mengatasi banjir Jakarta, dan kemacetan Ibukota tentunya.

Mari kita tengok kembali karya Ahok ini. Pergub Nomor 228 Tahun 2015, dibuat bertepatan pemerintahan pilihan rakyat Jokowi-JK genap berumur satu tahun. Terdapat kesan politik yang sengaja dihadirkan dari penerbitan Pergub tersebut. Demokrasi kembali dibayangi awan kegelapan.

Tujuh belas tahun silam, Indonesia telah menghirup udara agak segar. Kebebasan berdemokrasi, mendapat sedikit jaminan dalam aturan negara. Kebebasan menyatakan pendapat di muka umum diundangkan tepat pada tanggal 26 Oktober 1998, melalui Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.

Jaminan penuh atas kebebasan menyatakan pendapat di muka umum, terlindungi dari UU No. 9 Tahun 1998 tersebut. Ketimbang nuansa “gaduh” sebentar lagi, dari maha karya gubernur Ahok, yang hendak mengatur persoalan hanya mengupas kulit luarnya saja.

Ahok Gagal Paham

Pada pasal 4 Pergub tersebut, Ahok hanya membolehkan lokasi penyampaian pendapat di muka umum, hanya di tiga titik. Yaitu Parkir Timur Senayan, Alun-Alun Demokrasi DPR RI dan Silang Selatan Monas. Bunyi dipasal 9-nya, Ahok terang benderang menyatakan larangan, jika unjuk rasa, dan lain sebagainya, dilakukan di luar tiga titik yang ditentukan. Lanjut pada pasal 13, Ahok akan membubarkan kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum, dengan mengerahkan SatPol PP, POLRI dan TNI.

Enam produk undang-undang dijadikan Ahok sebagai dasar pengingat diterbitkannya Pergub Ahok, kecuali UUD 1945. Ini jelas berpotensi mengkerangkeng kembali kebebasan berdemokrasi. Padahal jika ditelusuri, “Pergub Ahok” ini jauh di bawah Undang-undang No.  9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Dalam undang-undang tersebut, semua aturan main sudah jelas. Pergub yang satu ini terkesan hanya mencari sensasi belaka. Belum berumur sebulan, sebuah pernyataan diluncurkan Kepala Badan dan Kesatuan Bangsa (Kesbangpol) DKI, Ratiyono, akan merevisi  soal lokasi berunjuk rasa. Untuk tak menyebutkan secara spesifik sebagai keharusan tempat berdemonstrasi. Melainkan, Pemprov DKI menyediakan tempat di tiga lokasi itu.

Pergub DKI bernomor 228 tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat Di Muka Umum Pada Ruang Terbuka, sebetulnya berangkat pada persoalan sepele. Kegusaran Ahok atas berbagai peristiwa demonstrasi belakangan di DKI Jakarta ini, tidak lebih dari sekedar keluh kesahnya di media massa, jika sehabis pelaksanaan demonstrasi. Mungkin Ahok pernah meninjau lokasi-lokasi demonstrasi dan menemukan jejak-jejak demonstran yang meremukkan rumput-rumput di taman kota. Keras betul etos kerjanya!

Yang lebih menggelikan lagi, jika hampir semua kalangan pejabat di negeri ini bersetuju dengan pemikiran Ahok, mengambinghitamkan kemacetan DKI Jakarta lantaran ribuan demonstran bergerak ke sasaran pusat-pusat kekuasaan misalnya. Istilahnya sekarang, Ahok gagal paham.

Sebelum Ahok berkantor di Balaikota DKI, demonstrasi jelas sudah ada. Sejak ia masih menjabat sebagai Bupati Belitung Timur, kemacetan DKI tak pernah diungkap jujur, faktor-faktor seperti apa penyebab biang keladinya.

Sedikitnya terdapat tiga masalah, mengapa setiap kelompok masyarakat menggunakan haknya menyampaikan pendapat di muka umum. Pertama, ruang dialogis mulai menemui kebuntuan. Dari situasi lokal yang bersifat bipartit/relasi dua pihak diperluas dan ditingkatkan agar mendapatkan perhatian negara.

Semisal persoalan buruh di pabrik. Buruh berhak mendatangi DPR RI, dan buruh tentu saja berhak mengadukan persoalannya ke Istana Negara. Apabila institusi perburuhannya pada upaya penyelesaian yang hendak ditempuh dirasa kurang memedulikan, apalagi dianggap tidak pro, dan berlarut-larut.

Kedua, sebagai ekspresi protes tertinggi. Maka kelompok masyarakat dapat terjamin hak kemerdekaannya dengan turun ke jalan. Bahkan salah satu Menko dari empat Menko Kabinet Jokowi-JK sekarang, Menko Rizal Ramli dikenal publik paling santer bersuara keras atas kenaikan harga BBM. Tidak hanya sekali, Rizal Ramli bahkan mendatangi Istana Negara, dalam suatu pergerakan massa.

Persoalan kenaikan harga BBM, dan Tarif Dasar Listrik (TDL) semisal, sebagai ekspresi ungkapan kekecewaan berjamaah, kelompok masyarakat berhak menunut agar pemerintah dapat membela rakyatnya yang tertindas akibat kebijakan yang keliru.

Unjuk rasa buruh baru-baru ini soal Peraturan Pemerintah No. 78 Tentang Pengupahan yang ditolak beramai-ramai misalnya. Begitu juga kebijakan menaikan harga BBM yang paling sering terjadi di Indonesia dewasa ini, memang keputusan pemerintah pusat. Gubernur dan DPRD selalu berargumen demikian untuk menunjukkan ketidakberdayaan pemerintah di Ibukota berikut daerah. Kita mengamini hal tersebut.

Namun seyogyanya pernyataan tersebut tak mengindikasi lepas tangannya sosok gubernur dari persoalan yang dihadapi masyarakat. Sebab entah dari mana sebuah kebijakan turun, deretan kemiskinan warga Ibukota, tak selalu lebih baik dari masyarakat daerah.

Ketiga, setiap unjuk rasa harus menyampaikan pendapatnya di muka umum, agar publik mengetahui, bahwa ada persoalan rakyat dalam kehidupan bernegara kekinian. Sebetulnya alasan-alasan picisan yang diungkap Ahok terkadang mirip pejabat “cengeng” yang menggerutu. Kalau tak mau disebut ingin mengembalikan watak “Orbais”. Sebab bukan merespon akar persoalannya. Akan tetapi hanya berkisar pada soal-soal teknis semata-mata.

Namun tetap saja, sebagai gubernur DKI pengganti Presiden Joko Widodo, Ahok telah mengecilkan makna kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum. Penulis sebagai salah satu dari jutaan demonstran di Indonesia saat ini, menilai bahwa Ahok telah memaksakan kehendak, dan mengadakan makar terhadap konstitusi.

Tak Perlu Cari Muka

Penulis di sini perlu mengingatkan kembali, bahwa metode berpikir sebagai pejabat negara, ala Ahok, ataupun pejabat negara lainnya, dengan mengeluarkan aturan mengendalikan, membatasi kemerdekaan menyatakan pendapat, hanyalah semacam bentuk kepanikan menghadapi situasi  kematangan berdemokrasi belakangan ini. Era transisi demokrasi nyaris usai. Rakyat sudah cerdas dan kritis, kemana harus menempuh jalan berpolitiknya.

Maka diperlukan langkah-langkah yang tepat sebagai seorang gubernur, di mana barometer politik nasional, berada di wilayah kewenangannya. Pertama,  Ahok tak perlu mencari muka kepada Presiden Jokowi, melakukan upaya pelarangan hak berdemokrasi berbentuk apapun. Yang kini berwujud Pergub bernomor 228 tahun 2015. Mencabut Pergub tersebut, sebab hanya akan menambah nuansa kegaduhan di sekitaran Istana Negara.

Kedua, Ahok perlu memberi tempat kebebasan berdemokrasi sebagai standar pemerintahan yang tak perlu merasa takut, jika semua janji-janji politik kepada rakyat di masa kampanye, benar-benar dapat direalisasi.

Dan yang terakhir, oleh karena itu, gubernur Ahok mesti berpikir keras, menghitung-hitung kemampuan dan kinerja diri saat ini, mencari usulan dari sana-sini. Yang seluruhnya digunakan demi memperkuat ketahanan ekonomi dan kesejahteraan warga Ibukota. Tentu saja tugas ini adalah hal rutin dan inheren sebagai kerja gubernur terpilih berikut lima Pemkotnya.

Berniat memasung kemerdekaan berdemokrasi di tengah situasi-situasi tak memerdekaan saat ini. Resiko yang dihadapi cukup besar. Untuk kota Jakarta, terdapat karakteristik tercetusnya luapan masyarakat yang tidak puas dengan keadaan melalui jalan kekerasan. Di tahun 1998 kemarin, kota ini mengalami prahara hebat berupa kerusuhan massa yang meluluhlantakkan hampir seluruh persendian ekonomi kota. Belum lagi sikap sebagian besar warga Ibukota yang sudah terlanjur abai dengan elit dan partai politik, pengumbar janji. Lebih baik, Ahok sesegera berpikiran teduh, dan melempar kerangkeng demokrasi, agar jalanan Ibukota benar-benar jadi tempat mengadu, dan tak sampai gaduh!

 

“Penulis, pemerhati masalah sosial dan politik, juga aktif berjuang di Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru