Oleh: Dr. Anil Dawan*
RASA kemanusiaan kita terkoyak, saat tersentak oleh peristiwa pembunuhan yang dilakukan seorang ayah dengan inisial P di Jagakarsa, Jakarta Selatan yang tega membunuh keempat orang anaknya (2/12/2023).
Kejadian itu sudah di luar nalar manusia. Tak hanya dengan kejam dan tega membinasakan keempat anaknya, sebelumnya P juga juga sudah melakukan kekerasan terhadap istrinya.
Yang lebih diluar nalar kemanusiaan adalah tindakannya merekam kejadian dan peristiwa tersebut.
Belum usai kekagetan kita, kekerasan anak juga terjadi selang beberapa waktu pada hari Rabu, 13 Desember 2023. Seorang ayah bernama Usmanto (44Th) tega menganiaya anak laki-lakinya bernama Awan usia 10 th hingga meninggal.
Gejala apa ini? Ayah yang harus jadi pelindung bagi anak-anaknya malah menjadi pembunuh bagi buah hatinya. Perlu ditelusuri kondisi kejiwaan dan mental pelaku.
Kita sedih dan berduka karena kekerasan terhadap anak dan perempuan terus terjadi. Tak hanya luka fisik dan psikis, namun juga hingga kehilangan nyawa. Tindakan responsif dan pencegahan memang selayaknya dilakukan oleh semua pihak untuk melindungi perempuan dan anak.
Sebagaimana kita tahu perlindungan anak harus dilakukan sebagai upaya untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, pengabaian, pelecehan dan eksploitasi. Demikian juga kekerasan terhadap perempuan harus dihentikan apapun alasan dan dalihnya.
Kekerasan Berulang
Anak adalah anugerah dan amanah. Mereka adalah pribadi yang berharga dan buah cinta dari orang tua yang harus disayangi, dilindungi dan dipenuhi hak-hak dasarnya yaitu hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan dan hak berpartisipasi wajib dipenuhi oleh orang tua dan orang dewasa kepada anak-anak. Namun mengapa kekerasan muncul juga?
Rendahnya pemahaman mengenai UU Perlindungan Anak dan KHA (Konvensi Hak Anak) membuat kerap kali orang dewasa bahkan orang tua tak tahu tanggung jawab dan kewajibannya. Demikian juga rendahnya pemahaman mengenai konsekuensi hukum dari UU TPKS. Payung hukum perlindungan anak dan perempuan harus terus disosialisasikan kepada masyarakat.
Kekerasan dalam keluarga juga muncul karena manusia dalam hal ini orang tua tak mampunyai kemampuan mengelola emosi dan kemarahannya. Kemarahan yang tidak terkendali cenderung bersifat destruktif.
Sistem kendali emosi dan nalar selalu berkaitan dengan moralitas. Namun ketika emosi meledak, biasanya nalar menjadi lemah, akal sehat menjadi hilang.
Sikap temperamental dan posesif bisa juga menjadi pemicu kekerasan dalam rumah tangga. Lemahnya fondasi spiritualitas agama juga membuat kurang pekanya terhadap rasa kemanusiaan, untuk melibatkan diri dalam panggilan untuk melindungi kehidupan dan kemanusiaan. Termasuk kehidupan anak-anak.
Penelusuran tabiat dan karakter seseorang dalam mengelola kemarahan seharusnya juga dapat ditemukan pada saat sebelum pernikahan. Pasangan suami-isteri yang hendak menikah sepatutnya dipersiapkan dan mempersiapkan diri dengan pengetahuan dan keterampilan mengenai tujuan pernikahan, dasar hukum pernikahan, pengelolaan ekonomi rumah tangga, kemampuan mengasuh anak hingga memahami kesehatan termasuk kesehatan mentalnya. Dengan demikian deteksi dini pasangan yang mau menikah dapat digambarkan untuk menuju kesiapan yang matang demi mencegah segala bentuk kekerasan dalam keluarga.
Keluarga Bahagia?
Lazimnya setiap keluarga dimulai dari cinta antara suami isteri, laki-laki dan perempuan. Mereka membangun keluarga atas dasar cinta dengan sejuta mimpi dan harapan. Mimpi dan harapan ini terus diperjuangkan menjadi kenyataan sepanjang perjalanan pernikahan tersebut.
Namun dalam perjalanan pernikahan keluarga bisa jadi dipenuhi dengan luka-luka masa lalu, dan kurangnya kemampuan mendukung dan memaafkan pasangan dan anak-anak ketika mereka mereka melakukan kesalahan.
Sementara masing-masing pribadi, suami atau isteri di masa lalu juga dipenuhi dengan luka-luka pengasuhan orang tua yang bisa jadi dipenuhi dengan kekerasan dan pengasuhan otoriter.
Kegagalan untuk mengidentifikasi tanda keutuhan dan kehancuran keluarga bisa menjadi embrio terjadinya keretakan dalam keluarga, maka luka-luka ini harus disembuhkan dan diselesaikan.
Maka keluarga harus berjuang terus membahasakan bahasa cinta melalui kata-kata afirmasi, sentuhan fisik, pemberian hadiah, waktu berkualitas dan pelayanan praktis.
Krisis dalam keluarga harus dihadapi bersama sebagai bagian dari batu ujian keluarga untuk untuk tumbuh sambil terus menerapkan pengasuhan positif kepada anak-anak. Karena sebagai generasi masa kini dan masa depan mereka harus diasuh dengan cinta dan dilindungi dari segala bentuk kekerasan, apapun kondisinya.
Jadi jangan bunuh anak-anak yang merupakan buah cinta kedua orang tua dan sekaligus mereka adalah anugerah dan amanah dari Tuhan yang harus dilindungi, disayangi dan dipenuhi hak-haknya.
*Penulis Dr. Anil Dawam, Faith and Development Manager, Wahana Visi Indonesia