JAKARTA- Beberapa Pejuang Maluku dalam perlawanan tahun 1817, Kapitan Paulus Tiahahu, Philip Latumahina, Anthony Rhebok dan Said Perintah belum ditetapkan menjadi pahlawan nasional. Padahal, para pejuang itu divonis hukuman mati bersama-sama dengan Thomas Matulessy.
“Mereka semua itu menjalani hukuman mati karena melawan ketidakadilan. Jadi, sangat wajar untuk diperjuangkan agar ditetapkan menjadi pahlawan nasional,” jelas Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina dalam webinar nasional “Refleksi Perjuangan Thomas Matulessy dan Kawan-Kawan” yang diprakarsai Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM), Archipelago Solidarity Foundation dan Sinar Harapan.Net, Rabu (17/11/2021).
Webinar yang diawali Rektor UKIM, Dr. Hengky Herson Hetharia M.Th ini menghadirkan Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid,PhD sebagai pembicara utama, sekaligus membuka kegiatan webinar. Narasumber lain yakni, Dr. Jeff Malaiholo (Founder Bahasa Basudara); Prof. Dr (HC). Johanes Titaley Th.D (Dosen Prodi S3 Agama dan Kebangsaan UKIMdan UKSW); Dr. Restu Gunawan, M.Hum (Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbudristek); Johan Pattiasina, S.Pd. M.A. (Dosen Sejarah Universitas Pattimura); dan Dr. Johan Robert Saimima, M.A. (Dosen Sejarah UKIM).
Selain itu, kata Engelina, sejarawan dan arkeolog perlu berkolaborasi untuk mencari makam Thomas Matulessy yang diperkirakan dimakamkan di Gudang Arang, arah Amahusu di Ambon. Menurutnya, keberadaan makam ini penting karena senantiasa menjadi pengingat perjuangan Thomas Matulessy.
Mengenai harapan untuk usulan pahlawan nasional ini, Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbudristek, Dr. Restu Gunawan, M.Hum, mengatakan, sebenarnya setiap tahun Kemensos RI memiliki agenda penyematan gelar pahlawan nasional. Untuk itu, sebenarnya sangat terbuka kemungkinan untuk merealisasikan hal seperti itu.
Menurut Restu Gunawan, usulan itu harus berproses dari daerah, kemudian diseminarkan di DPRD dan secara resmi diusulkan daerah melalui Dinas Sosial ke Kemensos RI. Jadi, kalau semua prosedur itu diikuti, maka sangat terbuka kemungkinan untuk merealisasikan usulan itu.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, dalam paparannya, Engelina menjelaskan, kekayaan alam Maluku akan rempah-rempah telah menjadikan Maluku sebagai korban kolonialisme. Praktek ketidakadilan ini memicu perlawanan rakyat yang dipimpin Thomas Matulessy dan kawan-kawan pada tahun 1817. Hal ini tidak boleh terulang di masa kini dan masa datang, dimana kekayaan alam mengorbankan rakyat setempat.
Engelina juga menyampaikan sejumlah informasi mengenai perjuangan Thomas Matulessy dan kawan-kawan yang bersumber dari referensi primer, karena merupakan karya tulis dari para pelaku sejarah dan catatan pada periode masa perjuangan tahun 1817. Dia juga menunjukkan rujukan kalau Thomas matulessy dideklarasikan sebagai Kapitan Poelo (Pulau) dalam perjuangan tahun 1817.
Engelina yang memprakarsai webinar ini mengatakan, kegiatan ini sebagai upaya memperkuat jati diri sebagai orang Maluku, sehingga menjadi modal untuk bangkit keluar dari kemiskinan yang masih terjadi saat ini.
Menurutnya, kekayaan alam di Maluku baik berupa hasil rempah, laut, minyak, gas dan emas tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan yang terjadi. Dia menegaskan, kekayaan alam tidak boleh menjadi kutukan, tapi menjadi berkat bagi orang Maluku.
Ketika merespon adanya praktek kolonialisme gaya baru, engelina tidak menampik hal seperti itu, karena kolonialisme bisa terjadi dalam cara yang berbeda tetapi secara substansi tetap merupakan praktek kolonialisme.
Sedangkan, Restu Gunawan melihat kolonialisme baru dalam wujud dampak negatif dari digitalisasi dan algoritma. Teknologi itu tak terhindarkan tetapi bisa menjadi kolonialisme baru kalau tidak mampu mengatasi dampak negatif yang muncul. (Inggrid Matulessy)