JAKARTA – Presiden terpilih Prabowo Subianto meminta agar Badan Pengawas Keuangan (BPK) untuk lebih ketat mengawasi keuangan pemerintahnya kelak. Melihat adanya arahan dari Presiden Joko Widodo terhadap BPK.
“Insyaallah pasti, ya BPK itu yang penting, BPK andalan kita, ke depan BPK harus lebih ketat mengawasi kita,” kata Prabowo do Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (8/7/2024).
“Kita tidak menginginkan ada kebocoran, kita tidak menginginkan uang rakyat tidak dapat dipertanggungjawabkan tiap rupiah harus kita amankeun kita yakinkeun berguna untuk bangsa dan rakyat,” sambung Prabowo.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) agar memberi dukungan untuk mendukung transisi dan ekonomi berkelanjutan. Pada Oktober mendatang Jokowi mengakhiri jabatannya yang akan digantikan presiden terpilih Prabowo Subianto.
Peran BPK, menurut Jokowi sangat penting dalam menjaga keuangan negara. Diharapkan ke depannya pemerintah bisa lebih akuntabel, fleksibel, dan berorientasi pada hasil.
“Pemerintah presiden terpilih bapak Prabowo Subianto akan memberi perhatian serius rekomendasi BPK agar uang rakyat dapat dikelola dengan baik,” ujar Jokowi di acara Penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan atas LKPP TA 2023 dan IHPS II Tahun 2023, di JCC, Senayan, Senin (8/7/2024).
“Kepada menteri kepala daerah menindaklanjuti rekomendasi pemeriksaan BPK agar pengelolaan APBN dan APBD kita semakin hari semakin tahun semakin baik,” tegas Jokowi.
Anggota BPK Berasal dari Parpol
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2019-2024 kembali dikuasai oleh partai politik (parpol). Sebanyak 4 dari 5 anggota BPK yang dipilih Komisi XI DPR berasal dari parpol. Sementara satu orang lainnya merupakan pegawai BPK.
“Sudah jelas, ke depan BPK tetap dikuasai politisi partai. Ini artinya, BPK tidak akan bisa menjadi lembaga yang benar-benar serius dalam mengaudit lembaga negara,” ujar Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi saat dihubungi media, Rabu, 25 September 2019 lalu.
Uchok pun menyangsikan kerja sama dalam pencegahan tindak pidana korupsi bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya ia bilang orang yang ada dalam BPK minim persepsi korupsi. Padahal ke depan audit anti korupsi diharuskan menjadi target kerja BPK. Audit BPK tidak lagi diharapkan seputar pada audit kelebihan, atau kekurangan volume pekerjaan yang tiap tahun menjadi temuan BPK.
Rasa pesimis juga diungkapkan pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo. Ia menyayangkan hubungan antara anggota BPK terpilih periode 2019-2024 dengan DPR.
“Mereka akan kurang netral sebagai pemeriksa ketika dana yang diaudit ada hubungan dengan DPR atau parpol,” terang Agus.
Asal tahu saja, Komisi XI DPR telah memilih 5 anggota BPK dengan sistem voting. Antara lain:
- Pius Lustrilanang terpilih dengan 43 suara. Pius merupakan seorang politisi dari Partai Gerindra.
- Daniel Lumban Tobing terpilih dengan raihan 41 suara. Daniel merupakan politisi dari PDI Perjuangan.
- Hendra Susanto terpilih menjadi anggota BPK dengan raihan 41 suara. Hendra merupakan Kepala Auditoriat I.B BPK.
- Achsanul Qosasi terpilih dengan raihan 31 suara. Achsanul merupakan anggota BPK periode 2014-2019 yang sebelumnya menjadi politisi Partai Demokrat.
- Harry Azhar Azis kembali terpilih menjadi anggota BPK 2019-2024 dengan raihan 29 suara. Sebelumnya Harry juga merupakan anggota BPK 2014-2019 dan pernah menjadi politisi Partai Golkar.
Masih Jual Beli WTP
Belakangan terbukti kecurigaan di atas setelah beberapa anggota BPK terjerat kasus-kasus korupsi dibeberapa lembaga pemerintah.
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menilai, praktik jual beli opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sulit dihilangkan. Trubus beralasan lembaga audit keuangan tersebut banyak diisi oleh orang-orang yang dekat dengan partai politik sehingga audit yang dilakukan pun sarat dengan kepentingan pribadi.
“BPK itu sudah terlalu politik, semua orang-orang di dalamnya banyak dari partai politik, dari partai-partai penguasa semua. Kenapa, karena kan untuk kepentingan orang-orang kementerian/lembaga. Kebanyakan menteri ini kan orang-orang bawaan,” ujar Trubus saat dihubungi, Jumat (10/5/2024) lalu
Menurut Trubus, kondisi ini membuat banyak kementerian/lembaga mendapatkan opini wajar yang sebenarnya tak wajar. Sebab, BPK tak mau mempersoalkan permasalahan dalam laporan keuangan yang ditemukan.
“Enggak pernah kena masalah, makanya WTP melulu. Misal kayak Syahrul Yasin Limpo selama jadi Menteri Pertanian, ya ditutupi semua permasalahannya, jadi WTP dan minta duit bayaran,” ungkap Trubus.
“Jadi BPK memang harus diisi oleh orang-orang dari kalangan profesional, jadi orang-orang dari partai politik itu dibuang semua itu,” semua.
Sidang lanjutan kasus korupsi eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) pada Rabu (7/5/2024) lalu menguak masih adanya indikasi jual-beli opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dalam proses audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Sesditjen PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) Hermanto yang dihadirkan sebagai saksi mengungkapkan bahwa seorang auditor BPK bernama Victor pernah meminta uang Rp 12 miliar kepada Kementan. Hermanto menyebutkan, uang itu diminta supaya hasil audit Kementan mendapatkan status WTP dari BPK.
Status WTP Kementan terganjal karena adanya indikasi fraud dengan nilai besar dalam pelaksanaan program food estate atau lumbung pangan nasional.
“Ada. Permintaan itu disampaikan untuk disampaikan kepada pimpinan untuk nilainya kalau enggak salah diminta Rp 12 miliar untuk Kementan,” kata Hermanto, Rabu. (Web Warouw)