Senin, 4 November 2024

JANGAN RAMPAS TANAH RAKYAT..! Jadi Menko Pangan, Zulhas: Mudah-mudahan 5 Tahun ke Depan Kita Bisa Cetak 2 Juta Hektar Sawah di Papua

JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) mengatakan, pemerintah memasang target bisa mencetak 2 juta hektar sawah di Papua pada lima tahun mendatang.

Selain itu, pemerintah juga menargetkan bisa membuka lahan pertanian tebu seluas 600.000 hektar hingga 1 juta hektar di Papua.

Zulkifli menyebutkan, target tersebut dipicu lokasi lahan pertanian di Pulau Jawa yang semakin menipis. Padahal, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menargetkan bisa mencapai swasembada pangan dan energi.

“Masa depan pertanian Indonesia itu ada di mana ? Di Papua. Sekarang sudah dilakukan dengan serius. Mudah-mudahan lima tahun ke depan, kita bisa cetak lahan pertanian sawah 2 juta (hektar) di Papua,” ujar Zulkifli saat memberikan sambutan saat serah terima jabatan di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat, Senin (21/10/2024).

“Lalu perkebunan tebu 600 hingga 1 juta (hektar). Jadi masa depan kita di sana, pertanian padi, pertanian tebu, jagung itu menjadi masa depan di Papua,” lanjutnya.

Zulhas kemudian membandingkan rencana pemerintah itu dengan situasi saat bangsa-bangsa Eropa mencari lahan pertanian baru karena lahan di negara mereka semakin menipis.

Menurutnya, bangsa-bangsa Eropa mencari tanah baru sehingga ditemukanlah Benua Amerika dan Benua Australia.

“Kita punya Papua begitu luas, tapi belum dimanfaatkan,” tutur Zulkifli.

Dalam penjelasannya, Zulkifli juga menyinggung soal tugasnya yang baru sebagai Menko Bidang Pangan di Kabinet Merah Putih yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto. Zulkifli menegaskan, pihaknya harus mendukung target swasembada pangan dan energi yang sudah disampaikan Prabowo. Untuk merealisasikan hal itu, ia memberi masukan kepada Prabowo bahwa swasembada tidak akan tercapai jika hanya mengandalkan lahan pertanian di Jawa. Sehingga, Zulkifli mendorong untuk memaksimalkan lahan pertanian di daerah lain, salah satunya di Papua.

Cetak Sawah dan Krisis Pangan Lokal

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Proyek strategis nasional (PSN) menyerbu Merauke, Papua Selatan,  lewat klaim untuk atasi ancaman krisis pangan. Ada proyek tebu dan bioetanol dua juta hektar lalu menyusul pengembangan pangan skala besar (food estate) cetak sawah satu juta hektar.  Proyek serupa sudah berulang kali pemerintah bikin dan gagal. Benarkah jadi jawaban krisis pangan atau menciptakan persoalan pangan baru bagi masyarakat adat/lokal?

Dikutip dari Mongobay.co.id disebutkan, Martin Hadiwinata, Koordinator FIAN Indonesia mengatakan, sistem pertanian dengan model food estate akan memberikan dampak buruk terhadap sistem pertanian pangan lokal. Petani dan masyarakat adat akan kehilangan tugas dan fungsinya sebagai produsen pangan lokal, dan akan digantikan dengan korporasi.

Dewi Sartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, Pemerintah Indonesia sepertinya tidak kapok-kapok dalam membangun kembali sistem pertanian menggunakan model food estate yang sudah terbukti berulang kali gagal. Food estate di Merauke, katanya,  akan mengulang kesalahan sama.

Amelia Puhili, dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengatakan, bakal memicu deforestasi besar-besar di Merauke Papua Selatan. Kondisi itu akan memberikan dampak buruk terhadap pengrusakan ekosistem alami yang menjadi perlindungan lingkungan masyarakat adat dan komunitas lokal yang ada di Merauke.

Proyek strategis nasional menyerbu Merauke, Papua Selatan,  lewat klaim untuk atasi ancaman krisis pangan. Ada proyek tebu dan bioetanol dua juta hektar lalu menyusul pengembangan pangan skala besar (food estate) cetak sawah satu juta hektar.

Dalam proyek cetak sawah berada di bawah Kementerian Pertahanan. Prabowo, melalui Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengajak sejumlah pengusaha pengusaha, termasuk pengusaha asal Kalimantan Selatan,  Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam untuk membuka lahan. Akhir Juli lalu, Isam membawa 2.000 ekskavator untuk mega proyek ini.

Masyarakat adat di Papua was-was terhadap proyek di tanah mereka ini. Pada 6 Oktober lalu, masyarakat pemilik ulayat adakan pertemuan ‘munggui makan Malind sasi mayan.’  Dalam pertemuan yang berlangsung di Kampung Payum, Kota Merauke ini, para pemilik ulayat membahas pembersihan hutan yang dilakukan pelaksana proyek,  PT Jonlin Group di Ilwayab.

Pemilik ulayat dari Suku Maklew dan Kimahima dari wilayah cetak sawah khusus Ilwayab sudah menolak sejak April 2024. Mereka kaget dengan pemberitaan di media tentang rencana cetak sawah di wilayah mereka yang kemudian lanjut dengan kehadiran kapal besar dan helikopter yang mengambil sampel tanah.

Mereka aksi dengan bupati dan dinas terkait, DPRD, pejabat Gubernur sampai Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Selatan. Upaya-upaya penolakan itu tidak digubris.

Sebaliknya, perusahaan yang mendapat mandat pemerintah jalankan proyek untuk membangun infrastruktur awal cetak sawah sudah mendatangkan alat berat pada. Kini, mereka mulai membongkar hutan alam di wilayah itu. Pemerintah libatkan tentara untuk mengamankan aktivitas mereka.

“Kami sebagai masyarakat adat secara sadar dan terbuka menolak proyek berskala luas ini beroperasi di atas tanah adat kami yang dibuktikan dengan ritual adat penolakan di kampung-kampung atas kehadiran program itu.” Kata Simon  Petrus Balagaize,  Ketua Forum Masyarakat Adat Malind Kondo-Digul.

Proyek cetak sawah ini, katanya,  tak mengikuti ketentuan hukum mengenai penggunakan tanah ulayat untuk kegiatan pembangunan. Teddy Wakum, pendamping dari LBH Papua Pos Merauke membenarkan itu.

Dia bilang, penggunaan tanah tanpa persetujuan pemilik ulayat.

“Bahwa ,  penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan masyarakat adat untuk keperluan apapun, dilakukan musyawarah dan warga yang bersangkutan sepakat mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya,” kata Teddy.

Dia sebutkan, kalau ketentuan itu ada diatur dalam Pasal 43 ayat (4), UU Nomor 2/2021 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

Teddy juga mendesak,  pemerintah gunakan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) untuk melegitimasi penerimaan masyarakat atas proyek itu.

“LMA siluman dan abal-abal seolah-olah mewakili dan mengatasnamakan Masyarakat Adat Malind dan membangun narasi bahwa masyarakat adat menerima proyek itu.”

Teddy tak meyakini proyek ini akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat adat yang tidak akrab dengan pertanian sawah.

Dalam siaran pers yang diterima Mongabay, Forum Masyarakat Adat Malind Kondo-Digul mendesak,  Panglima TNI menarik mundur semua anggota militer dari proyek strategis nasional di Merauke. Mereka nyatakan,   masyarakat adat merasa terintimidasi. Mereka juga mendesak, pemerintah dan perusahaan menghentikan aktivitas PSN di wilayah-wilayah yang tak ada persetujuan dengan masyarakat adat pemilik ulayat, seperti di wilayah adat Suku Maklew.Alat berat tengah membersihkan hutan di Merauke. Foto: Asrida Elisabeth/Mongabay Indonesia

Merusak Sistem Pangan Lokal

Dewi Sartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, Pemerintah Indonesia sepertinya tidak kapok-kapok dalam membangun kembali sistem pertanian menggunakan model food estate yang sudah terbukti berulang kali gagal. Food estate di Merauke, katanya,  akan mengulang kesalahan sama.

Pada 2010, program serupa dengan nama Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pernah dibuat juga di Merauke seluas 1,2 juta hektar. Karena sebagian besar wilayah ini merupakan lahan gambut, proyek gagal.

Pada 2011, Pemerintah Indonesia pernah membuat food estate bernama Delta Kayan Food Estate (DeKaFe) di Bulungan, Kalimantan Utara. Di lahan 50.000 hektar, menanam kedelai, jagung, kopi, sawit, cabai, cokelat, kelapa, hingga karet. Akibat kerap banjir dan kondisi lahan tidak sesuai, proyek itu gagal lagi.

Pada 2020, kembali lagi membuat proyek food estate di Kalimantan Tengah yang dibangun di bekas proyek lahan gambut dengan komoditas padi seluas 30.000 hektar. Akibat pola tanam yang dipaksakan, proyek itu lagi-lagi gagal.

Ironisnya, pada 2021, Pemerintah Indonesia kembali membuat proyek food estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dengan menanam gandum dan singkong seluas 31.000 hektar. Karena tidak memiliki kajian lingkungan maksimal dan berkonflik dengan masyarakat, proyek gagal lagi.

“Model pertanian pangan ala food estate itu sudah berulang kali gagal setiap periode Pemerintah Indonesia. Nampaknya ke depan belum ada kebaruan, dan terus mengulang kesalahan sama,” kata Dewi seperti dikutip di Kompas TV

Martin Hadiwinata, Koordinator FIAN Indonesia mengatakan, sistem pertanian dengan model food estate akan memberikan dampak buruk terhadap sistem pertanian pangan lokal. Petani dan masyarakat adat akan kehilangan tugas dan fungsinya sebagai produsen pangan lokal, dan akan digantikan dengan korporasi.

Padahal, kata Martin, negara memiliki tanggung jawab dalam pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia atas pangan dan gizi. Hal itu sangat jelas diatur dalam Pasal 11 ayat (2) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) 1966.

Menurut dia, hak atas pangan dan gizi tidak hanya mewajibkan tersedianya pangan, tetapi bagaimana negara berkewajiban memastikan kemandirian produksi pangan terjaga dan dapat mencukupi secara layak untuk seluruh rakyat. Kewajiban negara adalah menghormati, melindungi, dan memfasilitasi hak atas pangan dan gizi bagi masyarakatnya.

Kewajiban negara itu, katanya, termasuk tidak melakukan perampasan lahan milik petani, dan perampasan hutan milik masyarakat adat yang dimanfaatkan sebagai sumber pangan. Negara justru wajib melakukan perlindungan terhadap sumber-sumber pangan tersebut, sekaligus memfasilitasi petani untuk meningkatkan kapasitas dalam memenuhi pangan mereka secara mandiri.Pembersihan hutan untuk PSN di Merauke. Foto: Asrida Elisabeth/Mongabay Indonesia

Sayangnya, katanya, pemerintah justru sedang mendorong korporasi menjadi produsen pangan melalui program food estate dengan menggeser peran dan fungsi petani yang sejatinya merupakan produsen pangan Indonesia. Padahal, katanya, 70% pangan dunia berasal dari petani-petani kecil.

“Artinya, krisis pangan ini sebenarnya terjadi akibat ada keberpihakan negara terhadap korporasi. Sedangkan petani memarginalkan oleh negara,” kata kata Martin, dalam diskusi yang digelar oleh FWI awal Oktober lalu.

Menurut dia, pemerintah hanya melihat food estate sebagai solusi menyediakan pangan saja, tidak melihat ploblem struktural, seperti: penguasaan sumber daya yang timpang; dan petani gurem meningkat. Adapun agenda reforma agraria juga tidak dijalankan oleh pemerintah.

Dia bilang, logika pemerintah mengatasi krisis pangan dengan membuat food estate sangat keliru, dan tidak akan memberikan dampak positif dalam perlindungan hak atas pangan oleh masyarakat. Sebaliknya, food estate di Papua Selatan hanya akan alat menghancurkan sistem pangan lokal petani dan masyarakat adat di Papua.

Apalagi, katanya, proyek itu mengabaikan prinsip yang memberikan hak kepada masyarakat adat untuk memberikan atau menolak persetujuan atas tindakan yang akan memengaruhi tanah, wilayah, atau hak mereka. Ia bilang, proyek besutan Jokowi dan Prabowo ini menambah masalah tenurial di Papua.

“Hadirnya food estate merupakan bentuk kesengajaan negara dalam menghancurkan sistem pangan lokal khususnya masyarakat adat. Hal itu adalah pelanggaran kewajiban dalam menghormati system pangan yang dimiliki masyarakat.”

Food estate juga, katanya, akan membuka jalan korporasi atau oligarki untuk menjadi penyedia pangan dengan cara “merampas tanah” dan sumber-sumber agraria miliki petani dan Masyarakat adat. Katanya, itu adalah pelanggaran terhadap kewajiban yang melindungi hak atas pangan Masyarakat.

Selain itu, katanya, food estate akan memperpanjang cerita pelanggaran HAM di Papua karena pemerintah kerap menggunakan aparat keamanan dalam menjalankan proyek itu. Sikap pemerintah itu, katanya, sudah melanggar kewajiban memenuhi dengan memfasilitasi produksi pangan lokal kepada produsen pangan skala kecil dan masyarakat adat setempat.

“Melalui food estate, sistem pangan di Indonesia dibajak oleh korporasi-korporasi rakus lahan.”

Padahal, katanya, petani dan masyarakat adat yang menjadi produsen pangan lokal sudah kondisi yang tidak baik-baik saja. Dalam catatan FIAN Indonesia, banyak petani di Indonesia sudah tidak lagi mengkonsumsi pangan yang tidak sehat karena situasi kemiskinan dalam 10 tahun terakhir. Kondisi ini karena ada perampasan lahan sangat masif.

Data KPA,  dalam 10 tahun terakhir menyebut, terjadi perampasan sumber-sumber agraria sebanyak 2.939 konflik agraria dengan luas mencapai 6,3 juta hektar yang berdampak kepada 1,75 juta rumah tangga. Konflik agraria itu mendorong lebih dari setengah penduduk Indonesia tidak bisa mengakses makanan yang bergizi.

Dampak lanjutan, kata Martin, terjadi tren pergeseran penduduk miskin di indonesia yang memburuk. Golongan miskin menjadi makin miskin, dan golongan rentan miskin menjadi miskin. Disisi lain, katanya, masyarakat Indonesia terpaksa mengeluarkan lebih dari 50% pendapatan untuk mendapatkan makanan.

Dia bilang, potret itu menggambarkan mayoritas dari masyarakat Indonesia memiliki kerentanan pangan sangat tinggi. Menurut dia, temuan itu seharusnya menjadi rujukan pemerintah dalam membangun pangan lokal agar bisa kokoh, bukan membangun lumbung pangan yang dikendalikan oleh korporasi.

“Saat ini, para petani sulit untuk mengakses keuangan untuk menjaga sistem pangan lokal mereka karena tidak dipedulikan pemerintah. Korporasi justru diberikan karpet merah melalui food estate yang merampas lahan petani dan masyarakat adat.”Peta PSN Merauke, Papua Selatan

Ancam Hutan Tersisa  

Tak hanya pangan lokal, hadirnya food estate di Merauke Papua Selatan juga akan merusak ekosistem alami di Tanah Papua. Pasalnya, Tanah Papua merupakan benteng terakhir hutan hujan tropis di Indonesia, karena 40% hutan primer tersisa di Indonesia berada tanah cendrawasih ini.

Franky Samparante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menyatakan,  kebijakan PSN Merauke dan pemberian izin skala besar kepada perusahaan dalam proyek itu sedang dan akan menghancurkan hutan alam tersisa dan gambut bernilai konservasi tinggi dan kaya keanekaragaman hayati.

“Ini memperburuk krisis lingkungan, kekeringan, kesulitan pangan, banjir dan bencana ekologi lainnya,”  katanya.

Data luasan PSN  sawah dan tebu mencapai 2,289,255. Pemerintah menetapkan dalam lima kluster tersebar di 14 Distrik yaitu Kimaam, Tabonji, Ilwayab, Tubang, Animha, Kurik, Malind,  Tanah Miring, Jagebob, Ngguti, Okaba, Kaptel, Muting, dan Ulilin.

Dalam bahan paparan Sucofindo mengenai Studi Kelayakan Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) di Merauke, Provinsi Selatan Juli 2024 menunjukkan,  KSPP juga berada dalam kawasan hutan baik hutan produksi dikonversi (HPK), hutan produksi terbatas (HT) maupun hutan produksi. Ada juga di areal penggunaan lain (APL).

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah menerbitkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor 835/2024 12 Juli 2024. SK ini mengatur tentang persetujuan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan sarana dan prasarana ketahanan pangan dalam rangka pertahanan dan keamanan,  atas nama Kementerian Pertahanan seluas 13.540 hektar. Ia berada di kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi tetap dan kawasan hutan produksi dikonversi di Merauke.

Yayasan Pusaka tumpang tindih antara SK KLHK 835 itu dengan peta kawasan hutan, peta administrasi dan peta tempat penting masyarakat adat di Merauke. Mereka juga mengkonfirmasi lampiran peta dalam SK ini dengan masyarakat pemilik ulayat.

“Hasilnya, lokasi pembangunan dimaksud berada pada kawasan hutan adat dan terdapat tempat-tempat penting yang bernilai konservasi tinggi, seperti tempat keramat dan jalur leluhur, dusun pangan, tempat berburu dan areal konservasi tradisional, yang berada di Distrik Ilwayab, Ngguti, Kaptel dan Muting, Kabupaten Merauke.” katanya.

Ada juga hutan di Distrik Kimaam dan Tabonji dalam RTRW provinsi dan kabupaten sebagai kawasan hutan lindung.

Data Auriga Nusantara menyebut, kurung waktu 2 dekade (2000-2022) tanah Papua telah kehilangan hutan alam mencapai 688.438 hektar. Pada tahun 2023 lalu, tanah Papua telah kehilangan 55.981 hektare hutan alam.

Adapun Papua Selatan menjadi provinsi yang menyumbang angka deforestasi terbesar di Tanah Papua yang mencapai 12.640 hektar. Hadirnya proyek lumbung pangan ini disinyalir akan menjadi driver deforestasi baru, setelah perkebunan sawit, kebun energi, dan tambang yang ada di Tanah Papua.

Amelia Puhili, dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengatakan, food estate bakal memicu deforestasi besar-besar di Merauke Papua Selatan. Kondisi itu akan memberikan dampak buruk terhadap pengrusakan ekosistem alami yang menjadi perlindungan lingkungan masyarakat adat dan komunitas lokal yang ada di Merauke.

“Ekosistem alami merupakan kesinambungan dari lingkungan biotik dan abiotik. Jika itu terganggu dengan adanya Food Estate, pasti berdampak pada bencana ekologis hingga memperburuk dampak perubahan iklim,” kata Amelia Puhili.

Apalagi, kata Amelia, di beberapa titik di lokasi proyek food estate menjadi daerah resapan air. Jika deforestasi terjadi, pasti daerah resapan air akan terganggu yang bisa memicu banjir hingga kekeringan. Belum lagi bicara soal ancaman keanekaragaman hayati di wilayah itu yang menjadi kunci dari ekosistem alami.

Papua merupakan pulau terbesar di Indonesia yang dikaruniai kekayaan alam dan keragaman ekosistem yang sangat luar biasa. Jurnal Nature tahun 2020 berhasil mengungkapkan Tanah Papua memiliki jumlah spesies flora tertinggi di dunia, yaitu 13.634 spesies (68% endemik), mengalahkan Madagaskar yang sebelumnya meraih rekor tertinggi dunia.

Penelitian yang dilakukan oleh 99 peneliti dari 19 negara membuktikan bahwa hutan-hutan di Tanah Papua menaungi ratusan ribu spesies flora dan fauna. Sebagian besar adalah endemik yang tak dapat dijumpai di tempat lain, termasuk cenderawasih, burung ikonik yang keindahannya terkenal hingga dunia internasional.

Bahkan para peneliti memprediksi, dalam 50 tahun ke depan terdapat 3.000-4.000 tumbuhan jenis baru (spesies baru) di Tanah Papua. Salah satu jenis baru tersebut adalah Dendrobium sagin Saputra & Schuit, seperti yang dipublikasi di Jurnal Phytotaxa pada September 2020 lalu. Jenis baru anggrek tersebut menambah angka kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia.

Dalam buku “Ekologi Papua” yang ditulis oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan Conservation International pun menemukan, pulau terbesar kedua (setelah Greenland) ini merupakan salah satu gudang flora dan fauna endemik di dunia karena memiliki hutan rimba tropis tua terluas yang di Asia Pasifik. Dengan begitu, Tanah Papua adalah “surga bagi keanekaragaman hayati”.

Menurut Amelia, jika food estate akan merusakan ekosistem dan habitat yang ada, maka flora dan fauna yang ada di Tanah Papua bisa ikut terancam, bahkan bisa mempercepat kepunahan sejumlah satwa endemik yang berstatus “terancam punah”, termasuk burung cendrawasih.

Selain itu, katanya, pengetahuan lokal masyarakat adat yang tersimpan dalam ekosistem alami itu juga bisa hilang akibat adanya proyek tersebut. Pasalnya, menurut analisis Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), terdampak 24 wilayah adat di Papua Selatan dengan luas 3,3 juta hektar yang makin terancam proyek itu.

“Pengetahuan lokal masyarakat adat papua itu tersimpan di dalam ekosistem, seperti hutan, tumbuhan-tumbuhan tertentu, dan satwa-satwa tertentu. Jika ini semua hilang, maka pengetahuan lokal mereka pun akan hilang.” (Web Warouw)

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru