Oleh: Adie Marzuki *
RAKYAT Indonesia akan menghadapi pesta demokrasinya yang kesekian kalinya. Pesta yang dipercaya sebagai pelaksanaan suatu model demokrasi dari negara yang tidak mau tertinggal dari bangsa manapun di dunia ini. Demokrasi yang dijalankan ini merupakan kontestasi dari Partai Politik dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan bersamaan dengan Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD di seluruh Indonesia.
Sampai dengan saat ini, antisipasi yang dilaksanakan oleh berbagai organ maupun lapisan masyarakat adalah potensi kerawanan. Kontestasi politik ini tidak pernah lepas dari potensi kerawanan. Bahkan Bawaslu menyusun Indeks Kerawanan Pemilu sebagai upaya pemetaan kerawanan pesta demokrasi di negara ini. Tapi belum ada antisipasi maupun sekedar kajian tentang pelaksanaan pesta demokrasi tersebut. Benarkah demokrasi sudah dijalankan? Benarkah demokrasi yang dijalankan di Indonesia adalah satu-satunya model demokrasi yang ada? Apakah sudah tepat demokrasi tersebut?
Hampir semua pihak atau kalangan sepakat mengenai pentingnya demokrasi diperjuangkan. Namun tidak pernah didapat kesepakatan dari semua pihak atau kalangan mengenai definisi demokrasi secara spesifik. Umumnya orang lebih nyaman dengan definisi demokrasi secara ideal atau juga disebut sebagai definisi populistik tentang demokrasi, yakni sebuah sistem pemerintahan ”dari, oleh, dan untuk rakyat”, walaupun dalam sejarah manusia, bisa dikatakan pengertian demokrasi demikian tidak akan pernah ada. Tidak pernah ada pemerintahan dijalankan secara langsung oleh semua rakyat, dan tidak pernah ada pemerintahan sepenuhnya untuk semua rakyat.
Dalam praktiknya, yang menjalankan pemerintahan tidak pernah rakyat secara langsung, tapi elite yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Juga tidak pernah ada, hasil dari pemerintahan itu untuk rakyat semuanya secara merata, tapi selalu ada perbedaan proporsional antara yang mendapat jauh lebih banyak dan yang mendapat jauh lebih sedikit.
Jika mempertimbangkan rangkaian fakta empiris tersebut, definisi demokrasi dapat disederhanakan menjadi: sistem pemerintahan yang ditandai antara lain oleh adanya kebebasan yang diatur dalam undang-undang yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Untuk memahami upaya membangun demokrasi di Indonesia, diperlukan kilas balik ke tanggal 18 Agustus 1945, ketika sekelompok elite terbaik bangsa ini berusaha menyepakati pondasi yang pas bagi republik yang baru lahir. Pemahaman kelompok elite tersebut akan konsep negara demokrasi sangat mendalam. Mereka paham akan pentingnya menjaga cita-cita dalam membangun negara ini dengan suatu sistem yang berkedaulatan rakyat, dimana kepentingan rakyat banyak lah yang menjadi satu-satunya prioritas utama. Pemahaman ini antara lain banyak dipengaruhi oleh literatur tentang kondisi dunia pada saat itu, yang umumnya terinspirasi revolusi Perancis dan Rusia, yang gencar mengumandangkan ide-ide sosialisme serta demokrasi. Namun demikian, para pemikir elite tersebut juga paham bahwa bangsa ini berbeda dari negara-negara tempat ide-ide tersebut berasal. Oleh sebab itu, acuan nilai-nilai sosialistis demokratis yang dituangkan kedalam pasal demi pasal konstitusi, disesuaikan serta ditekankan kepada sosio diversifikasi bangsa yang sangat majemuk ini.
Penyesuaian tersebut termasuk mengkonsiderasi kondisi bangsa pada saat itu, dimana dari total 73,3 juta populasi rakyat hanya 7% yang mampu baca tulis. Di jaman itu, jangankan memahami konsep berdemokrasi dan mendapatkan hak suara, ide bernegarapun masih sulit diterima oleh rakyat umum, yang notabene belum benar-benar paham akan makna negara yang berdaulat dan merdeka.
Penerimaan rakyat terhadap ide mendirikan Republik Indonesia yang membawa cita-cita kesejahteraan bersama tersebut, lebih banyak dipengaruhi kepercayaan mereka yang kental feudalismenya, terhadap figur-figur pimpinan dari kalangan elitenya, yang mengerucut kepada figur Dwi Tunggal. Dalam kondisi ini, konsep negara demokrasi sangat sulit terwujud. Rakyat yang masih gamang dengan peralihan sistem kemasyarakatan belum siap berdaulat. Rakyat butuh waktu untuk benar-benar memahami bagaimana mereka dapat membentuk pemerintahan yang mampu melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Namun karena elite meyakini bahwa demokrasi adalah mutlak, ide negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat tetap dianggap sebagai patron. Segala kondisi yang menjadi prasyarat terlaksananya demokrasi diprogramkan. Semua upaya yang diperlukan untuk memangkas kesenjangan wawasan dan pengetahuan dicanangkan dengan intensif. Suprastruktur seperti UU No 27 tahun 1948, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu, dan UU Pendidikan Tahun 1950 yang memuat misi ”membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”, diterbitkan, sejalan dengan pendirian partai-partai politik, pembangunan sekolah-sekolah secara masif.
Program pembangunan demokrasi di bidang ekonomi juga tidak ketinggalan dikejar secara sistematis. Dengan program benteng yang dimulai pada tahun 1950, pemerintah membina pembentukan suatu kelas pengusaha “pribumi”, yang notabene pada masa itu tidak mendapat akses yang sama dengan yang non pribumi.
Upaya-upaya tersebut mengantar bangsa ini kepada pemilihan umumnya yang pertama pada tahun 1955, sepuluh tahun sejak negara ini didirikan. Pada awalnya, UU tentang pemilu mengamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat, tidak langsung, dengan mengkonsiderasi mayoritas warganegara Indonesia yang pada waktu itu masih buta huruf, buta politik dan rendah tingkat kesadaran bernegaranya, walaupun umumnya nasionalis. Namun pada akhirnya pemilu pertama tahun 1955 tersebut diselenggarakan secara langsung dengan merevisi UU Pemilu Tahun 1949 dengan UU No. 7 Tahun 1953.
Pemilu ternyata berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Kesuksesan pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Peserta pemilu mencapai lebih dari 30-an partai politik serta lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan. Pemilu diikuti oleh lebih dari 37,8 juta warga, dari total 85,4 juta populasi pada saat itu, kira-kira hampir sesuai dengan jumlah 50% warga yang telah melek huruf.
Namun walaupun telah berhasil melewati satu tahapan menuju negara demokratis, pemilu 1955 membawa dampak lain. Pelaksanaan pemilu yang sukses adalah satu hal, namun hasil dari pemilu sukses tersebut adalah hal yang lain lagi. Dalam prosesnya, masa persiapan serta kampanye yang terlalu bebas telah mengundang emosi politik yang amat tinggi.
Waktu kampanye yang terlalu lama (2,5 tahun) bahkan menimbulkan kecintaan dan fanatisme yang berlebihan terhadap partai. Akibatnya, pemilu tahun 1955 tidak mampu menciptakan stabilitas politik seperti yang diharapkan.
Berbagai konflik muncul ke permukaan, seperti konflik ideologis, konflik antar kelompok dan daerah, konflik kepentingan antarpartai politik, bahkan yang paling krusial adalah munculnya perpecahan antara pemerintahan pusat dengan beberapa daerah. Kondisi tersebut diperparah dengan ketidakmampuan anggota Konstituante yang terpilih dari hasil Pemilu 1955 untuk mencapai titik temu dalam menyusun UUD baru demi mengatasi kondisi negara yang kritis.
Pekatnya kepentingan partai atau golongan memicu sering pertentangan yang berujung perselisihan. Namun terlepas dari segala hal tersebut, upaya penegakkan demokrasi telah dilakukan dalam periode demokrasi parlementer (1945 -1959) pasca proklamasi.
Demokrasi Terpimpin
Periode berikutnya, yaitu periode demokrasi terpimpin dimulai tahun 1959 dengan diiringi masalah-masalah seperti tingginya inflasi, kekurangan infrastruktur, meningkatnya hutang negara, defisit anggaran, rendahnya investasi, dan lain sebagainya.
Periode ini dimulai dengan pidato manifesto politik yang mencakup kembalinya UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (Manipol USDEK) pada 17 Agustus 1959.
Dalam periode ini kestabilan politik menguat, konflik-konflik berhasil diredam, namun terjadi otoriterisme yang membuat banyak potensi konflik baru bermunculan. Terlihat bahwa konsep demokrasi terpimpin yang mempunyai tujuan baik, memiliki cara-cara dan langkah-langkah yang justru menjauhkan dari tujuan baik tersebut.
Pada masa ini, militer, presiden, dan lembaga-lembaga tinggi negara memiliki kekuasaan absolut yang sangat besar, yang pada sisi lainnya malah menjauhkan kepentingan rakyat secara sistemik.
Pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-16 pemerintah menerbitkan kebijakan yang intinya adalah bahwa seluruh unsur kehidupan berbangsa dan bernegara harus dicapai melalui revolusi, dijiwai oleh sosialisme, dan dikendalikan oleh satu pimpinan nasional (Resopim) yang disebut Panglima Besar Revolusi, yaitu Presiden Sukarno.
Dampak dari sosialisasi Resopim ini maka kedudukan lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara ditetapkan dibawah presiden. Walaupun kebijakan politik luar negeri yang muncul pada masa tersebut terbilang fenomenal, namun ujungnya adalah jatuhnya pemerintahan lewat kudeta militer dan aksi intelejen pada tahun 1966.
Demokrasi Orde Baru
Masa berikutnya adalah periode panjang kekuasaan rezim yang pada lapis luarnya terlihat seperti meneruskan pola demokrasi terpimpin, dengan penekanan pada pembangunan ekonomi terpimpin, yang disebut Orde Baru.
Pada substansinya, Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer, namun dengan mengaplikasikan opini ekonom didikan Amerika.
Pada era ini DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif, dan aspirasi rakyat sering tidak terdengar oleh pusat. Pembagian PAD juga menjadi bahan keluhan, karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor ke pusat, sehingga semakin mendorong lebarnya jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Rezim Orde Baru merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan tujuan ganda, yaitu bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, rezim ini mampu menciptakan sistem dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi, seperti umumnya pola fasisme.
Pada periode sepanjang 32 tahun ini, elite yang dulu membentuk republik ini telah hilang dan digantikan oleh kelompok elite yang lain. Korupsi, kolusi dan nepotisme yang diluar kewajaran terjadi di masa ini. Rezim ini terhambat oleh krisis ekonomi pada tahun 1997, dan digantikan oleh rezim berikutnya pada 1998, yang walaupun disebut dengan nama Orde Reformasi, namun masih senada seirama dengan Orde Baru, dengan tingkat kerusakan yang malah lebih berat lagi.
Era Reformasi
Pada era Reformasi yang sejatinya diinisiasi oleh sekelompok besar intelektual organik namun kemudian berhasil ditunggangi oleh kepentingan “masa lalu” ini, terjadi kombinasi dari apa yang disebut William Case Semi Democracy dan Pseudo-Democracy.
Pada era reformasi ini perilaku politik lebih berorientasi pada kekuasaan ketimbang kepentingan golongan. Memang benar pada era ini, keterbukaan, kemerdekaan informasi, kebebasan berekspresi, serta akses publik ke bidang-bidang ekonomi semakin terbuka. Namun di sisi lain berkembang budaya korupsi yang semakin terbuka, meroketnya biaya politik, melebarnya kesenjangan eknomi dan pengetahuan. Ditambah dengan peningkatan biaya hidup yang tidak terkejar oleh pertumbuhan ekonomi, ketidak-pastian hukum, pemimpin yang tidak membawa aspirasi masyarakat, korupsi di pemerintahan, membawa kekecewaan rakyat terhadap pemilu meningkat, dan pada akhirnya membawa ketidak-percayaan kepada demokrasi itu sendiri.
Pada titik ini, maka konsep demokrasi yang oleh para pendiri bangsa disesuaikan dengan terminologi “kerakyatan”, yang lebih menekankan kepada “kepentingan rakyat” ketimbang “suara rakyat” dengan sistem perwakilan untuk permusyawaratan, harus lebih dipahami lagi. Kesimpulan yang didapat dari demokrasi empiris yang berlangsung di Indonesia selama ini adalah: belajar demokrasi harus diawali dengan kesepahaman mengenai pengertian model demokrasi yang ideal bagi suatu bangsa terlebih dahulu. Sehingga tidak menempatkan demokrasi seperti mata pisau yang harus dicermati lagi efeknya terhadap kemaslahatan rakyat.
Ketersediaan prasyarat bagi terlaksananya demokrasi seperti kesetaraan wawasan bermasyarakat, akses-akses ekonomi, kesamaan visi bernegara dan lainnya, harus menjadi fokus perhatian utama, jika menghendaki terciptanya bangsa yang benar-benar merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
*Penulis, Adie Marzuki, Researcher
Pusat Inovasi & Kemandirian Indonesia Raya www.pikir.org. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Sosialis Indonesia